"Apa yang kau ketahui tentangku?" tanya Miabella yang pada akhirnya merasa penasaran, meski dalam hati dia tak memercayai kekonyolan itu.
Sementara Luciella tak segera menjawab. Dia menatap Miabella dengan lekat. Gadis yang sepertinya berusia sama dengan Miabella tersebut kemudian merentangkan tangan. "Bolehkah aku memegang tanganmu, Nona?" tanyanya.
"Untuk apa?" tanya Miabella ragu.
"Aku hanya ingin merasakan hawa panas dari tubuh Anda, Nona," jawab Luciella pelan.
"Apakah seperti itu caramu meramal?" Miabella masih menunjukkan raut penuh keraguan.
"Aku bisa meramal dengan berbagai cara. Namun, sebelum melakukannya, aku terbiasa untuk merasakan emosi dari orang yang akan kuramal. Jika diriku sudah bisa memasuki pikiran Anda, maka aku bisa dengan mudah melihat gambaran-gambaran masa depan itu," terang Luciella terdengar sangat meyakinkan.
"Begitukah?" Miabella menyunggingkan sebuah senyuman kecil yang bahkan terkesan sinis. Namun, dia pun tak sungkan untuk mengulurkan tangannya kepada Luciella.
Gadis muda tadi segera menyambut dengan senyuman lebar. Luciella meletakkan tangan Miabella dengan posisi menghadap ke atas pada telapak sebelah kiri. Setelah itu, dia menutup dengan tangan kanan dalam posisi menyilang. Gadis manis tersebut tampak memejamkan mata untuk beberapa saat. Sedangkan Miabella memperhatikannya dengan saksama.
Tak berselang lama, tersungging sebuah senyuman kecil di bibir Luciella. Tanpa membuka kedua mata yang sejak tadi terpejam, gadis muda berambut lurus tersebut kemudian berkata, "Mata biru."
Seketika, raut wajah Miabella mulai terlihat sedikit gelisah saat mendengar Luciella menyebutkan kata itu. Rupanya si pelayan muda mengetahui bahwa dia tengah memikirkan sosok Carlo. Namun, putri sulung Mia tersebut kemudian menautkan alisnya, ketika Luciella melanjutkan ucapan yang masih merupakan bagian dari penerawangannya. "Rambut pirang."
"Tidak!" Seketika Miabella menarik tangan yang masih berada dalam genggaman Luciella. "Rambutnya hitam, bukan pirang!" bantah gadis itu dengan tegas.
Luciella segera membuka mata dan menatap sang nona muda. Dia tak segera menanggapi penolakan dari Miabella. Beberapa saat kemudian, Luciella pun akhirnya berkata, "Aku melihat seorang pria berambut pirang. Dia berjalan mendekati Anda, Nona," ucap gadis itu dengan yakin. "Pria berambut pirang itu juga akan selalu mengikuti langkah Anda, bahkan lebih setia jika dibandingkan dengan bayangan sendiri."
"Tidak! Ini omong-kosong!" cibir Miabella. "Aku akan memecatmu tanpa upah sedikit pun, andai bualan ini tak terbukti!" ancamnya dengan tegas. Tanpa banyak bicara lagi, gadis itu segera berlalu meninggalkan Luciella yang masih terpaku seorang diri. Miabella tak habis pikir, bahwa pelayan muda tadi berani mengatakan hal yang mengada-ada kepada dirinya.
Miabella bergegas menuju kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat, kemudian bersandar beberapa saat di sana. "Carlo," desah gadis itu pelan. "Kau di mana?" Setetes air mata terjatuh di sudut bibir Miabella. Namun, gadis itu sepertinya tak bisa menangis ataupun meratap. Kepedihan yang dia rasakan teramat besar, hingga memenuhi dada dan membuatnya kesulitan untuk meluapkan segala emosi yang berkecamuk tersebut.
......................
Beberapa hari lagi, musim panas akan segera berakhir. Panen anggur pun telah dimulai pada sebagian perkebunan. Seperti biasa, Miabella pasti akan memantau setiap hal yang berlangsung di perkebunan itu. Tentu saja bersama kuda kesayangannya Uva.
Sementara Mia dan Adriana mulai berkemas. Rencananya, mereka akan menghabiskan waktu selama tiga hari di Palermo. Setelah itu, barulah mereka akan bertolak ke Monaco.
Tak seperti hari-hari kemarin, siang itu Miabella ikut bergabung di meja makan. Biasanya, gadis cantik tersebut hanya sekadar lewat dan tak menghiraukan mereka yang tengah bersantap siang.
"Makan yang banyak, Sayang," ucap Mia seraya menyodorkan piring beserta menu makan siang hari itu. "Aku tak ingin jika kau sampai terlihat kurus," ucap wanita paruh baya tadi. Akan tetapi, Miabella tak menanggapi. Gadis cantik tersebut hanya menoleh tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, hal itu tak menjadi masalah yang berarti bagi Mia. Dengan melihat putri sulungnya ada di meja makan saja, sudah jauh lebih dari cukup.
"Selamat siang semua," sapa Adriano yang segera duduk pada salah satu kursi. Perhatian pria yang masih terlihat gagah di usia tuanya itu, langsung saja tertuju kepada Miabella. “Selamat siang, Bella. Aku tidak melihatmu seharian ini.”
“Aku memang sengaja tidak ingin menampakkan diri,” sahut Miabella asal.
Adriano yang bersiap mengambil hidangan di atas meja, seketika berhenti dan memandang putri sambungnya dengan tatapan sendu. “Sampai kapan kau akan mengurung diri, Principessa?” tanya Adriano hati-hati.
“Mungkin selamanya,” balas Miabella tak acuh. “Lagi pula, aku tak mendapatkan sesuatu yang penting saat bertemu dan bersosialisasi dengan banyak orang.”
“Kau salah, Kak. Makin kita bertemu banyak orang, semaikin banyak ilmu yang kita dapatkan,” sela Adriana ikut menimpali.
“Itu menurutmu, Adriana. Jika kau sudah dewasa dan jatuh cinta, maka pola pikirmu akan menjadi berbeda,” sanggah Miabella. “Ah, tapi jika untuk Adriana jelas berbeda. Dia boleh melakukan apapun yang dia mau. Daddy zio tak akan tega meyakiti perasaannya,” sindir Miabella seraya menyendok makanan, lalu memasukkan ke dalam mulut.
Apa yang Miabella katakan, membuat Adriano kehilangan selera makan. Dia mendorong piringnya menjauh, kemudian bersandar. Adriano lalu menggeser kursi dan menghadapkan diri seluruhnya pada sang putri kesayangan. “Apakah seburuk itukah aku dalam pikiranmu, Principessa?” tanyanya dengan nada kecewa.
“Adriana adalah anak kandungmu. Sedangkan aku hanyalah ….”
“Hentikan, Bella!” potong Mia. “Kali ini kau sangat keterlaluan!” sergah wanita cantik itu dengan suara bergetar. “Kuakui, diriku dulu sempat lupa diri. Setelah kematian Matteo, aku meninggalkanmu yang masih balita. Waktu itu aku tak sanggup melihat wajahmu yang sangat mirip dengan mendiang suamiku. Di satu sisi, aku sangat merindukanmu darah dagingku, separuh jiwaku. Akan tetapi, di sisi lain, aku tersiksa. Di wajahmu aku selalu dapat melihat dengan jelas wajah Theo yang bersimbah darah.”
“Siang itu di atas tebing aku hampir bunuh diri, andai saja Adriano tidak mencegahku. Aku pasti sudah mati saat ini,” ucap Mia sembari menahan tangis. Dia mengangkat tangan ketika melihat Adriano hendak mengucapkan sesuatu. Sedangkan Adriana memilih untuk diam.
“Jujur saja, Nak. Saat itu aku berada dalam kondisi depresi. Dokter sempat mengatakan bahwa aku mengalami gangguan jiwa. Beruntung aku masih bisa disembuhkan. Namun, kondisiku masih belum stabil, hingga terpikirkan untuk melempar diriku sendiri ke dalam lautan,” beber Mia.
“Lalu, di sanalah Adriano berada. Dia mencegah dan menyelamatkanku. Dia bahkan menyadarkanku dengan kata-katanya. Masih teringat jelas dalam benakku, Adriano bertanya apakah aku tidak kasihan pada Miabella? Miabella pastilah sangat membutuhkanku. Dia juga sama kehilangannya denganku. Dia sama terlukanya.” Sesak dada Mia, sehingga wanita itu harus menjeda kalimatnya.
“Apakah limpahan kasih sayang dan seluruh cinta Adriano yang dia persembahkan untukmu selama puluhan tahun harus sirna tak berbekas dari dalam hatimu, hanya karena satu kesalahannya di matamu, Bella? Apakah tak ada artinya perjuangan dia selama ini untuk membahagiakanmu? Tidak adakah setitik kebaikan dari ayahmu ini yang tersisa, Bella? Haruskah kau musnahkan semuanya?” Nada bicara Mia makin lama semakin meninggi.
Mau tak mau Adriano berdiri dan menengahi. Dia mendekati sang istri, lalu mengusap punggungnya perlahan. “Tenangkan dirimu, Sayang,” bujuk Adriano lembut.
“Bukankah sudah berkali-kali kukatakan. Aku tak akan pernah membenci Miabella sekalipun dia menghunuskan pedang untuk membunuhku. Aku menyayanginya lebih dari apapun di dunia ini. Semua yang kulakukan, hanya demi melindungi dia.” Adriano berkata secara tidak langsung kepada putri sambungnya.
“Aku jadi tidak berselera makan. Padahal, biasanya aku suka sekali makan,” celetuk Adriana sambil menunduk dalam-dalam. Tanpa bersuara, gadis itu langsung berdiri dan meninggalkan meja makan.
Begitu pula dengan Mia yang masih terlihat gelisah. Sudah bertahun-tahun dia tidak mengalami gangguan kecemasan. Namun, entah kenapa penyakit tersebut tiba-tiba kambuh saat Miabella memperlihatkan ketidaksukaannya secara terang-terangan kepada Adriano.
“Apa kau ingin beristirahat, Sayang?” tawar Adriano, masih dengan sikapnya yang teramat lembut.
“Bawa aku ke kamar,” pinta Mia. Gerakannya begitu lemah saat bangkit dari kursi. Adriano bahkan harus memapah ibunda Miabella tersebut hingga ke kamar.
Kini, tinggallah Miabella yang terpekur sendirian. Matanya menerawang menatap permukaan meja. Setitik air mata kembali menetes di pipi. Perasaan bersalah kian besar menyeruak dari lubuk hati. Dia tak menyangka bahwa sikapnya telah menyakiti banyak orang, terutama Mia dan Adriano.
“Ini semua salahmu, Carlo!” geram Miabella.
“Kau meninggalkan aku begitu saja dan tidak memperbolehkanku untuk menghubungimu. Ini semua salahmu!” Miabella memekik nyaring, seolah ingin mengeluarkan segala beban dalam diri. Sebuah gelas kristal pun dia lemparkan ke dinding hingga hancur berkeping-keping.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Diana Lubis
lanjut Thor... siapa mata biru.. rambutnya pirang...
2023-01-13
3
Yuyun Yuningsih Yuni
egois ya bella,,persis theo saat hatus berpisah sama mia
2023-01-13
1
Esther Nelwan
aduuuh dgrnya jd sesek dah...
2023-01-12
1