Miabella tak segera menanggapi apa yang sang ibu ucapkan. Gadis cantik bermata abu-abu tersebut hanya tertunduk, lalu kembali memandangi potret sang ayah.
"Dengarkan aku, Sayang," ucap Mia dengan suara serta nada bicara yang teramat lembut. "Adriano teramat menyayangimu. Semua itu tak harus kujabarkan lagi dengan detail. Kau pun pasti sudah sangat mengetahuinya. Dia hanya ingin agar kau bisa mendapatkan segala yang terbaik," jelas wanita yang masih terlihat awet muda tersebut.
"Seperti apa?" tanya Miabella datar dan dingin.
"Seperti segala hal yang telah dilakukannya selama ini untukmu, untukku, untuk hidup kita berdua. Dia berjuang keras mencari keadilan bagi ayahmu, Sayang. Kuharap jatuh cinta tidaklah membuat dirimu buta, hingga melupakan hal itu," ucap Mia lagi masih dengan tutur katanya yang penuh kasih.
"Terus saja membelanya, Bu. Kau jatuh cinta dan begitu tergila-gila kepada daddy zio. Apapun yang dia lakukan adalah sebuah kebenaran bagimu. Lalu, apakah salah jika kuanggap rasa cintaku dan Carlo juga merupakan sebuah kebenaran?" Miabella menoleh sejenak kepada Mia, kemudian segera memalingkan wajah ketika wanita paruh baya itu balas menoleh ke arahnya.
"Tentu saja tidak begitu, Sayang. Aku pun belum sepenuhnya memahami maksud dari Adriano bersikap demikian terhadap Carlo. Namun, aku yakin jika dia melakukan hal seperti itu bukan tanpa alasan yang jelas. Kau tahu seberapa besar rasa sayang Adriano terhadap Carlo. Pria itu sudah seperti putranya sendiri. Sama halnya denganku. Carlo adalah anak laki-laki yang tak pernah kumiliki."
Mia berusaha untuk memberikan penjelasan ringan kepada anak gadisnya, meskipun Miabella tak menyahut dan menanggapi ucapan yang dia lontarkan. Gadis muda berambut cokelat tersebut hanya mendengus pelan.
"Suatu saat kau pasti akan memahaminya, Sayang. Adriano hanya ingin memberikan seseorang yang layak bagimu. Kau adalah putri de Luca. Betapa bangganya dapat menyandang nama besar itu. Jika memang Carlo menginginkan dirimu dalam hidupnya, maka pria itu harus berjuang dan membuktikan bahwa dia memang layak," ucap Mia lagi.
"Aku tidak memahami peraturan-peraturan seperti itu. Satu hal yang kutahu adalah aku merasa nyaman berada di dekatnya, dan dia mengatakan bahwa dirinya mencintaiku. Itu semua sudah cukup, dan aku tak ingin memikirkan hal lain yang terlalu rumit. Aku mencintainya, Bu. Ini pertama kali bagiku." Miabella seakan ingin mengeluarkan segala kekesalan yang selama beberapa hari dia pendam sendiri. "Andai saja ayah masih ada, aku yakin dia tak akan melakukan hal seperti ini padaku," sesalnya.
"Andai ayahmu masih ada, maka aku tak akan pernah menikahi Adriano D'Angelo. Kau pun belum tentu mengenal Carlo," bantah Mia yang seketika membuat putrinya kembali terdiam dan berpikir. Sesaat kemudian, Miabella lalu membalikkan badan. Entah akan ke mana lagi gadis itu.
"Ikutlah ke Palermo, Bella. Di sana kau akan bertemu dengan Romeo dan juga Tobia. Kau juga bisa sedikit menjernihkan pikiranmu," pinta Mia penuh harap. "Sudah lama kita tidak pergi bersama. Sebenarnya aku sangat sedih ketika kami pergi ke Yunani tanpa dirimu. Karena itulah, untuk kali ini kumohon agar kau bisa kembali bersama kami. Sedikit bersenang-senang lagi seperti dulu."
Miabella tak segera menjawab. Gadis itu terdiam untuk beberapa saat. Dia tak bicara apapun, bahkan ketika Mia menghampiri dan telah berdiri di dekatnya. "Aku ataupun Adriano sangat menyanyangimu, Bella. Kau dan Adriana adalah putri-putri kebanggaan kami berdua. Tak ada bedanya sama sekali. Kalian terlahir dari rahim yang sama, meskipun dengan ayah yang berlainan. Namun, daddy ziomu tak pernah membeda-bedakan kalian berdua."
"Aku tahu itu. Akan tetapi, entah untuk hal lain. Ah sudahlah. Aku tak ingin membahas ini. Kenyataannya sekarang, aku tak tahu Carlo berada di mana. Dia bahkan tak bisa kuhubungi lagi. Baiklah, aku menerimanya." Setelah berkata demikian, Miabella pun meninggalkan sang ibu dengan begitu saja. Niatnya saat itu adalah hendak mengambil minum dari dapur.
Sementara Mia hanya berdiri menatap nanar kepergian sang putri tercinta. Sebuah hempasan napas pendek meluncur begitu saja dari bibirnya. Namun, perasaan wanita cantik tersebut menjadi sedikit tenang, ketika dia merasakan ada sebuah sentuhan halus di pundak. Mia pun menoleh, kemudian tersenyum.
"Sudah malam. Ayo kita tidur," ajak seseorang yang tiada lain adalah Adriano. Sedangkan Mia kembali mengempaskan napas pelan. "Jangan terlalu dipikirkan. Semua pasti akan segera membaik," ucapnya kemudian.
"Aku tidak suka melihat sikap Miabella terhadapmu, Sayang." Mia mendekat, kemudian masuk ke dalam rangkulan sang suami tercinta.
"Tak apa, Mia. Aku baik-baik saja. Miabella masih menyayangiku. Sama seperti dulu," sahut Adriano mencoba menenangkan keresahan sang istri. "Mari kita tidur. Besok kau harus berkemas untuk persiapan ke Palermo," ajak pria itu lagi sambil merengkuh pundak sang istri, kemudian membawanya menuju kamar yang mereka tempati.
Sementara Miabella yang ternyata belum kembali ke kamar, menyaksikan adegan tersebut dari balik dinding penyekat ruangan. Perasaannya berkecamuk saat melihat raut wajah Adriano meskipun dalam keremangan. Namun, dari nada bicara pria yang selalu menjadi kesayangannya tersebut, tersirat sebuah kesedihan mendalam.
"Nona," sapa seseorang yang seketika mengejutkan Miabella. Gadis itu pun segera menoleh. Di belakangnya, telah berdiri seorang pelayan yang dia ingat bernama Luciella.
"Kau lagi." Miabella mengeluh pelan. "Kenapa kau selalu berkeliaran malam-malam? Apa kau sedang mencari sesuatu?" tanyanya dengan raut penuh curiga.
Luciella tersenyum, kemudian menunduk dengan sopan. "Aku sudah terbiasa bangun tengah malam. Dulu, keluargaku bekerja untuk seorang tuan tanah. Dia memiliki perkebunan anggur yang sangat luas. Aku rasa, mungkin sama luasnya dengan perkebunan milik keluarga de Luca," tutur gadis muda bermata cokelat itu.
"Dari mana asalmu?" tanya Miabella masih dengan nada bicaranya yang dingin.
"Piacenza, Nona. Kedua orang tuaku berasal dari sana. Namun, aku ikut merantau bersama yang lainnya kemari. Ke Brescia. Kami berharap mendapat pengalaman dan tentu saja penghasilan yang berbeda," terang Luciella seraya tersenyum manis. "Kami dengar, perkebunan de Luca menawarkan upah yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkebunan lainnya."
Miabella tak segera menanggapi. Sepasang mata abu-abunya mengarah tajam, seakan tengah menyelidiki gadis muda tadi. Dia merasakan ada sesuatu yang lain pada diri Luciella. Namun, Miabella belum dapat menafsirkan secara jelas. "Siapa yang merekrutmu kemari?" tanyanya kemudian.
"Aku tidak terlalu mengetahui hal itu, Nona. Ketika kami datang ke Brescia, aku hanya mengikuti ke manapun rekan-rekanku pergi," ujar Luciella sembari tertawa pelan. Perlahan, gadis itu mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Miabella. "Apa Anda ingin mengetahui sesuatu, Nona?" tawarnya.
"Tentang apa?" tanya Miabella tanpa mengubah mimik serta nada bicara.
Luciella tersenyum lembut. Gadis muda itu kemudian melangkah maju, sehingga jaraknya menjadi cukup dekat dengan Miabella. Dia lalu memiringkan kepalanya tanpa melepas tatapan dari gadis cantik, sang pewaris setiap sudut yang ada di Casa de Luca. "Keluargaku bisa meramalkan masa depan. Kami mendapatkan keistimewaan itu secara turun-temurun dari para leluhur. Dulu, ibuku yang mendapatkannya. Kini, keahlian tersebut dia wariskan kepadaku," tutur Luciella membuat Miabella memicingkan matanya.
"Aku hidup di zaman modern. Aku tidak percaya dengan hal-hal semacam itu," bantah Miabella.
"Sayang sekali. Padahal aku bisa meramalkan masa depan Anda."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Enneng Kartini
sok ath Bep buruan uP ny....🤣🤣🤣🙏🙏🙏
2023-01-12
1
Diana Lubis
Thor tetap semangat y..aku menunggu up selanjutnya y Thor...
2023-01-12
2