“Igor?” ulang Carlo sambil memicingkan mata. Namun, pria itu memilih tak banyak bicara dulu karena ingin mendengarkan penuturan dari Grigori.
“Ya, Igor." Grigori menegaskan. "Tak ada seorang pun yang mengetahui apa nama belakangnya. Sejak dulu, pria itu selalu menyembunyikan agar semua orang tak mengetahui asal-usul dia. Sampai-sampai ada selentingan yang menyebutkan bahwa Igor merupakan salah satu dari keturunan atau kerabat dekat kaisar Rusia yang terakhir,” papar Grigori dengan nada yang terdengar semakin serius. Sementara Carlo mendengarkan dengan saksama.
“Saat ini, Igor menghabiskan masa tuanya di Moskow. Aku akan memberikan alamat yang dia tempati kepada Anda. Jika sudah tiba di sana, Anda bisa langsung menemuinya," ucap Grigori lagi.
“Aku mulai tak sabar untuk memulai petualangan ini. Baiklah, aku akan berangkat sekarang juga,” ujar Carlo dengan yakin.
“Sekarang juga?” ulang Grigori setengah tak percaya.
“Kalau bisa sekarang, kenapa harus menunggu sampai nanti atau besok?” jawab Carlo dengan santainya.
“Apakah Anda sudah mematangkan rencana?” Grigori masih ragu untuk melepas sang pewaris tahta Klan Serigala Merah tersebut.
“Rencana akan kususun sesampainya nanti tiba di Moskow, sekaligus mengamati suasana di sana. Namun, setelah aku bertemu dengan Igor tentunya,” balas Carlo sambil berlalu dari hadapan Grigori. Dia memakai jaket biker yang sempat dirinya lepas dan letakkan begitu saja pada pegangan sofa. “Kutitipkan motor kesayanganku di basement gedung ini. Tolong jagalah ia dengan baik. Motor itu adalah harta pertama yang kumiliki," pesan Carlo.
"Oh tentu saja, Tuan. Kami akan menjaga motor Anda sebaik mungkin," jawab Grigori.
"Sekarang, cepatlah berikan alamat Igor padaku,” pinta Carlo membalikkan badan pada Grigori, sebelum dia membuka pintu.
“Iya, Tuan!” Grigori kemudian mengambil alat tulis, dan mencantumkan alamat yang dimaksud pada secarik kertas. Setelah itu, dengan segera dia berikan kepada Carlo yang langsung memasukkannya ke dalam saku jaket.
Sedangkan Grigori semakin mendekat kepada pria tiga puluh empat tahun tadi. “Ingatlah apa yang kukatakan ini, Tuan. Tunjukkan liontin yang Anda kenakan saat pertama kali bertemu dengan Igor, sebab dia termasuk tipe orang yang tidak mudah percaya kepada siapa pun. Apalagi seseorang yang baru ditemuinya,” pesan sang pemilik perusahaan berkedok investasi itu.
“Baiklah, akan kucatat dalam ingatanku.” Carlo tersenyum lebar. Semangatnya membara ketika dia membayangkan iming-iming menjadi ketua Klan, yang akan membawa dirinya berada di puncak dunia. Carlo yang selama ini selalu merasa tersisihkan, pada akhirnya dapat melepas perasaan tak nyaman tersebut.
“Tuan!” seru Grigori lagi saat Carlo sudah mencapai pintu lift. “Berhati-hatilah," pesannya lagi.
Carlo mengangguk sambil mengangkat tangannya. Dia lalu masuk, kemudian bersandar pada dinding lift beberapa saat setelah pintunya tertutup. “Tunggu aku kembali, nona,” ucap pria itu lirih seraya memejamkan mata. Dalam benaknya sudah dipenuhi bayangan dan sosok Miabella, sampai-sampai dia tak sadar bahwa dirinya sudah tiba di area parkir basement. Carlo ke sana hanya untuk mengambil tas ransel yang sempat dia letakkan di atas motor kesayangan. Harta tidak seberapa jika dibandingkan dengan kekuasaan yang sebentar lagi akan dia raih.
Pria itu lalu menggendong ransel yang berisi paspor serta kartu identitas lainnya di punggung. Ransel tadi juga berisi beberapa potong pakaian yang dikirimkan dari Monaco. Dia lalu berjalan kaki menuju stasiun kereta api di pusat kota Milan yang terletak tak jauh dari kantor milik Grigori.
Carlo memesan tiket dengan tujuan ke Moskow, Rusia. Dia menghela napas panjang, ketika menyadari bahwa perjalanannya kali ini akan memakan waktu cukup lama. Carlo harus mempersiapkan fisik, karena dia akan berada di atas kereta api antar negara selama hampir dua hari. "Astaga," decaknya pelan.
Setelah siap dengan segala perbekalan dan tiket, Carlo pun menunggu untuk beberapa saat di stasiun Milano Centrale. Dia memilih datang lebih awal daripada harus terlambat, karena rata-rata kereta api di Eropa berangkat tepat waktu. Setidaknya, para penumpang sudah harus berada di stasiun sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit sebelum waktu keberangkatan.
Setelah kereta yang akan dia naiki siap untuk berangkat, Carlo pun bergegas masuk dan mencari gerbong serta nomor kursinya. Dia harus memastikan diri senyaman mungkin, karena akan melewati perjalanan panjang. Kereta yang ditumpanginya kali ini biasa melewati enam negara, dengan jarak sekitar 2344 km dalam waktu tempuh kurang lebih satu hari tujuh belas jam.
Sebelum kereta itu benar-benar berangkat, pria tampan bermata biru tadi menyempatkan diri untuk memeriksa ponselnya. Sebuah pesan masuk dari Miabella tertera di urutan paling atas. Carlo pun segera menghubungi gadis itu. Tanpa harus menunggu terlalu lama, panggilannya segera terjawab.
"Pronto." Suara parau Miabella terdengar di ujung telepon.
"Apa kau menangis?" tanya Carlo setelah mendengar isakan pelan gadis itu.
"Kau di mana? Kenapa kau pergi tanpa memberitahu terlebih dulu? Apakah ucapan daddy Zio jauh lebih berarti dibandingkan dengan diriku?" Miabella seakan ingin meluapkan segala unek-uneknya terhadap Carlo.
"Jangan salah paham. Kau adalah segalanya, karena kepergianku kali ini juga demi dirimu. Lihat saja, tak lama lagi aku akan datang dan menjemputmu untuk bisa bersamaku lagi. Aku berjanji," ucap Carlo dengan sungguh-sungguh.
"Memangnya kau hendak ke mana? Kau bisa membawaku saat ini juga," isak Miabella pelan.
"Aku akan menjemput kehidupan seorang Carlo yang sebenarnya. Bukan aku tak ingin membawamu untuk ikut, tapi kau juga memiliki tanggung jawab yang sama, agar dapat menjadi Miabella yang seharusnya. Suatu hari nanti ketika aku sudah benar-benar siap, maka aku pasti akan kembali. Kuharap kau bersabar menunggu hingga saat itu tiba," pesan mendalam dari Carlo untuk gadis yang teramat dia cintai.
"Apa kau akan pergi jauh? Jangan katakan jika kau hendak berangkat ke Rusia dan ... tidak Carlo! Kumohon jangan!" cegah Miabella di antara isak tangisnya. Keteguhan serta watak keras yang selama ini melekat dalam diri gadis itu, seakan lenyap seketika oleh perasaan yang menyakitkan. Ini adalah pertama kalinya Miabella benar-benar jatuh cinta. Namun, semuanya tak seperti yang dia duga.
"Apapun akan kulakukan demi mencapai tujuanku, nona," sahut Carlo. "Aku tak suka dan sama sekali tak ingin mendengarmu menangis. Kau adalah gadis kuat. Aku lebih tertarik kepada Miabella yang keras kepala dan senang memberontak. Jangan menangisi kepergianku kali ini. Simpan air matamu untuk mengungkapkan keharuan di hari pertemuan kita nanti." Carlo terdiam sejenak, ketika kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun.
"Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik dan jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku mencintaimu, nona." Tanpa menunggu jawaban dari Miabella, Carlo pun menutup sambungan teleponnya. Dia lalu merogoh ke dalam saku jaket, kemudian mengambil secarik kertas bertuliskan alamat tempat tinggal Igor. Carlo segera menyalin alamat yang tertera di sana ke dalam ponsel.
Sebelum dia menutup layar telepon genggamnya tadi, Carlo menyempatkan diri untuk membuka satu pesan terakhir dari Miabella yang berbunyi : Ti amo, Carlo (Aku mencintaimu, Carlo).
Sebuah senyuman kecil, muncul di sudut bibir berhiaskan kumis tipis itu. Carlo tak berniat untuk membalasnya. Dia tak ingin merasa semakin berat meninggalkan gadis cantik tersebut di Italia. Untuk beberapa waktu ke depan, dia harus fokus pada langkah pertamanya di kota Moskow.
Sebuah helaan napas berat meluncur dari bibir si pemilik mata biru tersebut. Carlo mengarahkan pandangan ke luar jendela. Inilah menariknya bepergian dengan menggunakan kereta api. Selama perjalanan, matanya disuguhi oleh bentangan pemandangan alam yang sangat indah. Sementara otak pria rupawan itu terus berputar.
Carlo sama sekali tak menguasai bahasa Rusia. Bagaimana jika orang yang akan dia temui nanti tak fasih berbahasa Inggris? "Astaga," decak pria tiga puluh empat tahun tersebut sambil menyandarkan kepalanya. Dia pun mulai memejamkan mata, dan berharap dapat melupakan sejenak tentang segala kemungkinan yang akan dirinya temui di Rusia. Satu yang pasti, Carlo berangkat ke negara Beruang Merah itu dengan tujuan yang sangat besar.
Rasanya teramat lelah dan juga membosankan, saat harus menempuh perjalanan panjang tadi. Namun, semuanya terbayar ketika kereta api yang dia tumpangi akhirnya tiba di stasiun Metro Moskwa, kota Moskow. Untuk pertama kali, Carlo menjejakkan kaki di negara kelahirannya.
Setelah keluar dari stasiun, dia lalu berdiri beberapa saat dengan ransel besar yang berada di punggung. Carlo mengempaskan napas pelan sembari mengedarkan pandangan. Tak lama lagi musim panas akan berakhir. Entah seperti apa cuaca di Rusia saat memasuki musim gugur. Satu yang pasti, Carlo harus bergerak cepat dalam mencari alamat tempat tinggal Igor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Esther Nelwan
semangat carlo untuk menjemput masa depan biar.cpt bs jemput miabella...
2023-01-07
2