Miabella terbangun tiba-tiba, ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Gadis itu mende•sah pelan, lalu mengubah posisi tidur. Dari telentang kini menjadi miring ke kiri, lalu berbalik ke sebelah kanan. Dia terus berusaha untuk kembali tidur. Namun, sepertinya sia-sia. Mata indah gadis itu justru semakin terbuka lebar.
“Astaga.” Miabella pun memilih untuk meraih ponsel yang tergeletak di dekat bantal.
Miabella kemudian membuka aplikasi pesan, dan melihat kembali riwayat percakapan antara dirinya dengan Carlo. Pria itu sudah membaca pesan darinya, tapi Carlo sama sekali tak membalas. Miabella juga terus berusaha menghubungi pria rupawan tersebut, bahkan mungkin hingga ratusan kali. Akan tetapi, tak satu pun dari panggilannya yang tersambung.
“Hhh.” Gadis cantik itu mende•sah pelan. Dia lalu menarik napas panjang sambil berusaha menahan air mata agar tidak menetes. Sayangnya, buliran bening itu tetap terjatuh dan membasahi pipi mulus Miabella. “Perché (kenapa), Carlo?” bisiknya lirih.
Tiga hari sudah berlalu. Namun, Miabella tak mendapat kabar dari Carlo. Dia juga sama sekali tak bisa menghubungi pria bertato itu. Tiga hari pula Miabella seakan tak bersemangat melakukan apapun. Untuk menyuap sesendok makanan saja dia tak bahkan seperti sanggup melakukannya. “Aku terbiasa disuapi olehmu,” desis Miabella lagi dengan suara yang semakin lirih.
Merasa semakin tersiksa, gadis cantik tadi segera bangkit dari ranjang lalu berjalan gontai keluar kamar. Tujuannya saat itu adalah dapur. Miabella berpikir jika segelas air mungkin bisa mendinginkan kepala dan hatinya. Pelan-pelan, dia membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air mineral dari sana. Gadis itu meneguknya dalam sekali tarikan napas, hingga airnya tersisa separuh. Akan tetapi, hal itu juga tak dapat menghilangkan segala keresahannya.
Sesaat kemudian, Miabella menoleh ke arah jendela dapur berukuran besar yang langsung berbatasan dengan taman belakang. Dia melangkah pelan, lalu berdiri di dekat jendela. Dilihatnya suasana sekitar Casa de Luca yang masih sepi. Seluruh penghuni rumah masih terlelap, dan hanya temaram lampu-lampu taman yang tertempel di sepanjang dinding bangunan yang masih setia berjaga, menjadi sumber cahaya.
Mata abu-abu gadis itu kemudian menerawang jauh menembus taman, lalu melintasi perkebunan. Di antara pepohonan anggur itulah dia menyerahkan sesuatu yang berharga dan selalu dirinya jaga dengan baik untuk Carlo.
“Carlo.” Entah sudah berapa kali Miabella menyebut nama itu. Karena nama itu pula, gadis itu nekat membuka pintu dapur dan keluar menuju taman. Dia berjalan sepelan mungkin supaya tak menimbulkan suara. Biasanya pada jam-jam ini, para penjaga Casa de Luca berkeliling untuk memeriksa keadaan.
Sedikit lagi, Miabella akan tiba di tepi perkebunan. Akan tetapi, tepukan pelan di pundak membuat gadis itu terkejut dan menoleh.
“Ah, Nona? Kupikir ini bukan Anda" Seseorang yang Miabella ingat sebagai pelayan baru, telah berdiri di belakangnya.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Miabella sedikit ketus.
“Ma-maaf. Aku baru bekerja di tempat ini, Nona. Aku tadi berniat untuk ke tempat penyimpanan gandum, tapi sepertinya malah tersesat,” jelas gadis itu sembari menunduk.
“Siapa namamu?” Miabella mengamati gadis muda di depannya. Dia memperkirakan usia gadis itu tak berbeda jauh darinya.
“Namaku Luciella Baldovino, Nona. Aku mendapat jadwal untuk memasak sarapan bagi para pengawal. Jumlah mereka banyak sekali, jadi aku harus menyiapkan semuanya dari sekarang,” jawab gadis itu menjelaskan dengan tutur katanya yang sopan.
Miabella sempat terdiam untuk sejenak, lalu mengangguk. “Biar kuantar,” ucapnya datar. Dia mengurungkan niat yang tadinya hendak menjelajahi perkebunan pada waktu dini hari. Miabella lebih memilih untuk menuntun gadis itu, menuju ruangan khusus yang digunakan sebagai tempat penyimpanan semua bahan makanan.
Adalah sebuah ruangan luas yang dilengkapi dengan pendingin dan terletak di balik dapur. Ruangan itu agak tersembunyi karena tertutup oleh dua pilar besar yang berfungsi sebagai ornamen penghias interior dapur.
“Begini cara membuka kuncinya,” tunjuk Miabella pada sebuah kotak kecil berisi tombol-tombol angka yang tertempel di dinding sebelah pintu masuk. “Ingat-ingatlah kodenya,” pesan putri Matteo de Luca itu.
“Aku sudah mengingatnya, Nona. Terima kasih atas bantuan Anda.” Luciella buru-buru masuk ke dalam ruangan sesaat setelah pintu terbuka, lalu keluar beberapa menit kemudian. Sedangkan Miabella masih berada di luar. “Apakah cara menutupnya, sama dengan waktu membuka tadi Nona?” Luciella tampak kebingungan.
“Tekan dulu kode yang tadi, baru kau tutup pintu ini,” terang Miabella lagi.
Luciella pun mengangguk dan mengikuti instruksi dari sang majikan dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain membawa sekantung gandum. “Berhasil, Nona,” serunya ketika pintu itu dapat tertutup dan terkunci kembali.
“Hm.” Miabella menggumam pelan seraya tersenyum samar. Dia berniat untuk meninggalkan gadis muda itu dan kembali menuju kamarnya.
“Terima kasih, Nona Muda. Anda adalah orang yang sangat baik. Kuharap Anda selalu dilimpahi dengan banyak kebahagiaan,” ucap Luciella dengan raut wajah yang terlihat begitu tulus.
“Bahagia?” Miabella tersenyum getir. “Terima kasih atas doamu,” balasnya sambil berlalu begitu saja.
“Apa Anda tidak bahagia?” celetuk Luciella ketika Miabella sudah berada beberapa langkah di depan. “Kulihat Anda sedang bersedih. Namun, apapun yang menjadi kesedihan Anda, semoga bukan masalah yang pelik yang tengah menimpanimu, Nona.”
Kalimat dari pelayan muda itu membuat Miabella kembali membalikkan badan dan memandangnya dengan lekat. Sedikit aneh baginya saat seorang pelayan berusaha mendekati dan seakan ingin mengajak berbincang-bincang. Sebelumnya, tak ada satu pun dari pelayan Casa de Luca yang berani bersikap demikian. Namun, Miabella dapat memahami hal itu, berhubung Luciella merupakan orang baru di sana.
“Mulailah memasak. Kau tentu tak ingin terlambat menyajikan hidangan, bukan?” sahut Miabella seraya berlalu begitu saja.
Sambil mendekap tubuhnya sendiri, putri sulung Mia tadi berjalan sambil menunduk untuk menuju kamar.
Namun, langkah pelan gadis itu terhenti, ketika terdengar suara berat memanggil namanya. “Dari mana saja kau, Bella? Baru saja aku melihat ke kamarmu. Pintunya terbuka dan kau tak ada di sana,” tanya seseorang yang tak lain adalah Adriano, sang ayah sambung.
Miabella mengangkat wajah, lalu menoleh pada pria tampan yang berdiri di hadapannya. Adriano rupanya masih betah berlama-lama di Casa de Luca. Padahal sudah berhari-hari dia meninggalkan mansion megahnya di Monaco.
“Aku haus. Jadi aku ke dapur untuk mengambil minum,” jawab Miabella sambil menundukkan kepalanya lagi, lalu melewati sang ayah begitu saja.
“Sampai kapan kau akan murung seperti ini Bella? Aku rindu senyum dan wajah ceriamu." Adriano mencekal lengan putrinya dan memandang lembut wajah yang tampak sendu itu.
Miabella menoleh dan memandang aneh pada Adriano. Dia seakan tak percaya akan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh sang ayah. “Apa yang kau harapkan dariku, Daddy Zio? Kau sudah memisahkan aku dari Carlo. Itu saja sudah cukup berat untuk kujalani. Tolong jangan meminta apapun lagi,” sahut Miabella dengan lesu.
“Kau tahu jika aku sangat menyayangimu. Segala cara akan kulakukan untuk membuat agar kau tetap aman dan nyaman,” ujar Adriano.
“Aku tak peduli lagi dengan semuanya. Lakukan apa saja yang ingin kau lakukan. Aku tak akan membantah.” Miabella melepaskan tangan Adriano dari lengannya.
“Suatu saat kau akan mengerti alasannya, Bella,” ucap Adriano. Mata birunya menatap sang putri dengan sorot iba.
“Baiklah.” Sesuai ucapannya tadi, Miabella sama sekali tak membantah apapun yang dikatakan oleh sang ayah.
Seharusnya, Adriano senang melihat Miabella menjadi penurut. Namun, tidak dengan cara begini. Hatinya tersiksa tiap kali melihat Miabella bersedih. “Aku dulu juga memendam cinta bertahun-tahun lamanya. Patah hati telah kurasakan berkali-kali sampai aku berhasil memiliki ibumu. Tak ada yang lain, hanya ibumu seorang,” tuturnya pelan.
“Jika memang Carlo layak dan serius dengan cintanya, maka dia akan kembali untuk memperjuangkan dirimu. Akan tetapi, kusarankan jangan terlalu berharap atau kau akan semakin menderita, Principessa.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Esther Nelwan
semoga carlo cpt kmbali
2023-01-10
0
Verawati Verawati
sedih aku baca nya ...
memendam rindu tuh berat
2023-01-09
0