Carlo menyandarkan sebagian tubuhnya pada pinggiran meja berbentuk oval tadi. Kedua tangan yang dipenuhi ukiran tato itu pun, dia letakkan di sebelah kiri dan kanan badan atletisnya. Sementara jemari dengan hiasan cincin perak, mere•mas erat pinggiran meja. "Kebodohan yang bisa kita manfaatkan dengan baik," ucapnya pelan tapi terdengar begitu meyakinkan.
"Maksud Anda, Tuan?" tanya Igor tak mengerti.
"Sepertinya aku bisa menebak." Ivan mengarahkan tatapan kepada Carlo dan Igor secara bergantian.
"Grigori mengatakan padaku bahwa dulu Klan Serigala Merah menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah. Sebutkan nama seseorang yang berpengaruh di masa itu. Orang yang mengenal baik ayahku," pinta Carlo terdengar begitu serius.
Sementara Igor dan Ivan tampak berpikir. Mereka sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu. Sesaat kemudian, sebuah senyuman simpul tersungging di sudut bibir Igor. "Boris Vasiliev," sebutnya. Carlo dan Ivan pun seketika menoleh kepada sang pemilik penginapan itu.
"Boris Vasiliev?" ulang Carlo seraya mengetuk-ngetukkan jemarinya pada pinggiran meja.
"Ya. Boris Vasiliev dulu merupakan salah satu anggota legislatif di pemerintahan. Namun, setahuku dia kerap berkomunikasi dengan tuan Nikolai. Hubungan mereka pun terjalin baik," terang Igor. Sedangkan Carlo dan Ivan mendengarkan dengan saksama.
"Sekarang Boris memang sudah tidak menjabat lagi. Namun, kudengar jika salah satu putranya menduduki kursi penting di parlemen."
"Apakah maksudmu Fyodor Vasiliev?" tanya Ivan.
"Ya, tepat sekali," sahut Igor membenarkan.
"Dia terkenal sangat tegas dan juga kritis," ujar Ivan seraya menyentuh pangkal hidungnya. "Apa menurutmu akan mudah untuk melobi orang seperti itu?" Pertanyaan Ivan terdengar sedikit ragu atas ide yang tengah mereka bahas.
"Bagi kita yang tidak mengenalnya mungkin akan terasa sulit, tapi tidak untuk Grigori. Dia merupakan penasihat kepercayaan tuan Nikolai. Grigori mengenal baik Boris Vasiliev. Aku rasa, pria itu dapat menjembatani tuan muda agar bisa sampai ke hadapan Fyodor Vasiliev," pikir Igor
"Itu artinya aku harus meminta Grigori agar datang kemari," ucap Carlo dengan tatapan yang mengarah pada sepatu hiking boots, yang selalu setia menemani langkahnya.
"Grigori tak akan merasa keberatan untuk meninggalkan sejenak ruang kantornya yang nyaman," sahut Igor dengan diiringi senyuman penuh arti.
"Aku rasa tidak ada salahnya untuk kita coba, Tuan Muda," saran Ivan yang kini mendukung sepenuhnya ide tadi.
Carlo pun tampak berpikir beberapa saat. Setelah itu, pria tampan berambut gelap tersebut segera menegakkan tubuh tegapnya. Dia lalu mengarahkan perhatian kepada Igor. "Sambungkan aku dengan Grigori, karena ponselku belum diisi dengan SIM card. Dia juga mengatakan bahwa aku tak boleh menghubunginya secara langsung, agar tak bisa dideteksi oleh anak buah Viktor yang berada di Italia," jelasnya.
"Tentu, Tuan Muda." Igor bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju lemari kayu yang terletak di sudut ruangan. Dia membuka pintu lemari tersebut hingga menimbulkan suara berdecit. Dari dalam lemari, Igor mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam dan membawa serta meletakkannya di meja pertemuan.
Igor membuka kotak itu di depan mereka yang ada di dalam ruangan tadi. Pria itu kemudian mengambil sesuatu dari dalam sana, yang tak lain merupakan sebuah telepon satelit berwarna hitam berukuran besar. Alat komunikasi tadi memiliki antena yang dapat ditarik hingga memanjang. Igor pun mulai menghubungi Grigori menggunakan benda itu.
Tanpa harus menunggu terlalu lama, panggilan itu segera tersambung. Igor terdengar menyapa rekan lamanya tersebut. Mereka bahkan berbincang untuk beberapa saat, hingga akhirnya dia menyerahkan alat komunikasi yang sejak tadi dirinya gunakan kepada Carlo.
"Grigori? Ini aku Carlo," sapa sang pewaris tahta Klan Serigala Merah.
"Ah, tuan muda," sahut Grigori hangat. "Jadi, bagaimana? Apa anda sudah mendapatkan titik terang?" tanyanya kemudian. Grigori kemudian terdiam sambil sesekali manggut-manggut, saat mendengarkan Carlo yang tengah berbicara padanya.
"Bukan hal yang sulit untuk menemui Boris Vasiliev. Aku akan membuat janji untuk bertemu dengannya. Setelah itu barulah terbang ke Rusia," sahut Grigori saat menanggapi apa yang Carlo sampaikan padanya.
"Ya, tuan. Anda tidak perlu khawatir. Nona muda juga baik-baik saja, meskipun orang suruhanku mengatakan bahwa dia terlihat murung dan lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Nona muda hanya pergi ke perkebunan, setelah itu tak terlihat keluar kamar lagi," tutur Grigori menerangkan.
Grigori kembali terdiam dan mendengarkan apa yang Carlo sampaikan. Dia mengangguk penuh keyakinan, sebelum akhirnya mengakhiri perbincangan tersebut. Setelah itu, pria paruh baya tadi kemudian memanggil Feliks sang ajudan.
Feliks segera menghadap. Pria yang selalu berpenampilan rapi itu berdiri di dekat meja kerja Grigori. "Apa yang harus kulakukan, Tuan?" tanyanya tanpa diminta. Dia seakan sudah tahu maksud Grigori memanggil dirinya.
"Sambungkan aku dengan Boris Vasiliev," perintah Grigori penuh wibawa.
"Boris Vasiliev? Apa Anda masih menyimpan nomor kontaknya?" tanya Feliks.
"Aku tak akan menyuruhmu andai masih memiliki nomor kontaknya," jawab Grigori seraya berdecak pelan. "Aku ingin hari ini juga," tegas pria itu lagi yang segera diakhiri dengan sebuah helaan napas panjang.
Lain halnya dengan Feliks yang harus memutar otak, demi mendapatkan nomor kontak dari pria yang Grigori maksud tadi. Dia tak boleh gagal dalam melakukan tugas dari tuannya. "Akan kuusahakan dengan segera, Tuan," ucap pria itu kemudian. Dia bergegas undur diri, untuk memulai pencarian.
Dengan tergesa-gesa, Feliks keluar dari gedung kantor milik Grigori. Dia mengendarai mobilnya menuju kantor konsulat Rusia di Milan.
Feliks memiliki seorang kenalan rahasia di sana, yaitu salah seorang pegawai konsulat yang berhubungan langsung dengan Dinas Keamanan Federal Rusia yang dulunya terkenal dengan nama KGB. Dapat dikatakan bahwa kenalannya itu adalah salah satu agen rahasia pemerintah Rusia yang ditempatkan di kantor konsulat.
Setelah melapor pada petugas jaga dan menunjukkan kartu identitas, Feliks dapat melenggang masuk dengan bebas. Di dalam gedung, Feliks membuat janji dengan sang kenalan melalui petugas resepsionis, kemudian menunggu untuk beberapa saat.
Tak berselang lama, seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun, keluar dari arah lift. Dia setengah berlari menghampiri Feliks yang tengah menunggu di sofa lobi.
“Hei, apa kabarmu?” sapanya seraya mengulurkan tangan.
“Baik sekal. Cuaca cerah hari ini. Bagaimana denganmu, Irina? Apakah sudah masuk jam istirahat?” Bukan tanpa alasan Feliks bertanya demikian. Kalimat itu adalah sebagai isyarat yang berarti bahwa Feliks membutuhkan informasi penting dari wanita di hadapannya tersebut.
Wanita bernama Irina itu segera mengangguk tanda mengerti. “Ayo, kita ke cafetaria,” ajaknya sambil mengarahkan Feliks pada bagian samping gedung. Mereka berjalan cukup jauh sampai tiba di bagian lain gedung konsulat.
Adalah sebuah restoran kecil yang terletak di dalam area gedung. Tak banyak orang yang berada di sana, berhubung jam istirahat sudah lewat. Suasana pun terasa begitu lengang, sehingga memudahkan Feliks untuk meminta informasi rahasia dari Irina.
“Apa yang ingin kau tanyakan?” Irina merogoh saku blazernya, lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Dia juga menawarkan kepada Feliks.
“Tidak, terima kasih. Aku sudah berhenti merokok,” tolak pria itu halus sambil mengangkat satu tangannya di depan dada.
“Oh, baiklah.” Irina meraih kotak rokok itu kembali. Dia mengeluarkan sebatang sebelum memasukkannya ke dalam saku. Dengan santai, wanita itu menyalakan korek dan menyulut rokok yang sudah dirinya apit di bibir berpoleskan lipstik merah menyala.
“Jika kau ingin menanyakan tentang Serigala Merah versi Viktor, maka akan kujawab bahwa belum ada perkembangan berarti. Mereka memang sudah sangat lemah di wilayah Rusia. Akan tetapi, kekuatan mereka justru berkembang secara signifikan di luar negara itu terutama di wilayah Slovenia dan Austria. Aku rasa, hanya tinggal menunggu waktu sampai mereka dapat menaklukkan Italia,” tutur Irina dengan tenang.
“Sebenarnya itu adalah kabar yang amat bagus. Namun, bukan itu yang hendak aku tanyakan,” sahut Feliks dengan nada bicara yang sama.
“Lalu apa?” tanya Irina sambil mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya.
“Aku ingin kau menghubungkanku dengan Boris Vasiliev,” jawab Feliks.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
G
lanjut trus
update nya jgn lama lama yaa thooorrrrrrr
2023-01-11
0
Esther Nelwan
mulai tegang ni...
2023-01-10
0