Carlo mengangkat wajah, kemudiam menatap lekat Fabiola. Wanita itu teramat dia rindukan selama ini. Kehidupan rupanya masih berpihak baik, meskipun kini dia harus melepaskan Miabella untuk jangka waktu yang entah sampai kapan.
"Jadi, cerita itu bukan bualan semata?" Rasa penasaran akan kebenaran dari semua yang Grigori tuturkan, kini dapat dia pastikan.
"Grigori adalah penasihat setia mendiang ayahmu, Nak. Usianya dulu memang masih muda saat dia mengabdi kepada Klan Serigala Merah, tetapi Grigori memiliki pola pikir serta cara pandang yang sangat luar biasa. Karena itulah, ayahmu mengangkatnya menjadi penasihat sekaligus orang kepercayaan," terang Fabiola. Wanita itu berwajah pucat. Namun, dapat dipastikan bahwa dulu dia merupakan seseorang yang sangat cantik.
"Apa benar jika aku memiliki dua orang saudara?" tanya Carlo lagi.
"Ya." Fabiola mengangguk dengan yakin. "Kedua kakakmu adalah anak kembar identik bernama Alexei dan Liev. Usia mereka masih kecil waktu itu. Aku tak sempat menyelamatkan apalagi membawa mereka berdua keluar dari mansion." Fabiola tertunduk. Tetesan air mata mengalir deras, kemudian terjatuh di atas punggung tangannya. Kepedihan hati seorang ibu, belum juga terobati bahkan hingga puluhan tahun berlalu.
"Setiap malam aku dihantui oleh suara jeritan mereka berdua, ketika Viktor dan anak buahnya membantai semua yang mengabdi kepada ayahmu. Alexei dan Liev ... astaga ... mereka masih sangat kecil ...." Fabiola terisak. Tak berselang lama, isakan itu berubah menjadi sebuah tangis kepedihan yang begitu menyayat hati.
Melihat adegan memilukan di depan matanya, perasaan Carlo kian bergemuruh. Satu dan dua alasan telah dia dapatkan untuk dijadikan bekal pria itu, dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. "Lalu, berada di mana Ibu selama ini?"
Mendengar pertanyaan seperti tadi, Fabiola kemudian menghentikan tangisnya. Dia menyeka sisa-sisa air mata yang membasahi pipi. Wanita dengan warna mata sama seperti Miabella tersebut, kemudian menatap sayu kepada sang putra yang baru dapat dia sentuh lagi setelah sekian puluh tahun berlalu. "Aku bersembunyi di Italia, pada salah satu biara dari gereja yang berada di kota Milan. Tempat yang dulu biasa kau kunjungi bersama Miranda serta teman-temanmu," terangnya.
"Sungguh?" Carlo memicingkan mata, menyembunyikan rasa tak percaya atas jawaban dari sang ibu. "Itu artinya selama ini kau selalu melihatku, Bu?"
Fabiola mengangguk pelan. "Miranda sudah memberitahuku jadwal setiap kali dia akan membawa anak-anak asuhannya ke gereja. Aku melihatmu dengan diam-diam dari kejauhan," jelas Fabiola.
"Kenapa Ibu tidak menghampiri dan menyapaku? Apakah itu terlalu berbahaya?" Carlo berdiri dan tampak gusar. Sesaat kemudian, pria tampan itu mengalihkan perhatian kepada Miranda yang sejak tadi hanya menyimak. "Kau pun tak pernah berkata jujur padaku, Miranda," ucapnya kecewa. Dia seperti menginginkan sebuah penjelasan yang masuk akal. Namun, Miranda tak menyahut. Wanita itu hanya mengisyaratkan dengan gerak matanya, agar Carlo lebih fokus untuk berbincang dengan sang ibu.
"Aku yang meminta Miranda agar selalu tutup mulut. Semuanya berjalan seperti biasa. Aku merasa puas hanya dengan melihatmu dari kejauhan. Setidaknya, kulihat kau sehat dan tumbuh tinggi. Kau juga sangat tampan, Nak." Fabiola tersenyum getir. "Aku mulai merasa gelisah, ketika Miranda mengatakan bahwa kau dibawa ke Monaco oleh tuan D'Angelo. Perasaan rinduku kian menggebu, dan aku tidak tahu apakah bisa bertemu lagi atau tidak denganmu. Karena itulah, kuminta agar Miranda memberikan semua barang yang dulu kusertakan dalam pakaianmu," tutur Fabiola dengan nada bicara yang teramat lirih.
Carlo terdengar mengempaskan napas dalam-dalam sembari terduduk di tepian ranjang. Sesekali, pria berambut gelap itu mengusap-usap tengkuk kepalanya. Adalah bahasa tubuh yang kerap dia lakukan, jika dirinya sedang merasa tak nyaman.
"Akan kuceritakan sesuatu padamu." Fabiola kembali bersuara setelah terdiam untuk beberapa saat.
"Tentang apa?" tanya Carlo.
Fabiola tak segera menjawab. Bayangannya tertuju pada puluhan tahun silam, di suatu malam yang sangat mencekam. Saat itu, hujan turun dengan begitu deras. Fabiola berjalan seorang diri, sambil terus melindungi bayi yang berada dalam gendongannya agar tetap merasa nyaman. Setelah sekian lama menyusuri jalanan kota Milan yang sepi, akhirnya dia tiba di depan sebuah bangunan megah dengan pintu gerbang tinggi menjulang.
Awalnya, Fabiola hanya berdiri di luar gerbang tersebut. Namun, tak lama dua orang pria berperawakan tinggi besar datang menghampirinya. "Aku adalah Fabiola Volkov. Istri dari ketua Klan Serigala Merah Nikolai Volkov. Tolong izinkan aku untuk bertemu dengan tuan Moriarty," pintanya penuh harap.
Kedua pengawal yang membawa payung masing-masing tadi hanya saling pandang. Tatapan salah satu dari mereka kemudian tertuju pada sesuatu yang Fabiola sembunyikan di balik pakaian mahalnya. "Apa yang kau sembunyikan, Nyonya?" tanya pria itu dengan nada bicara yang terdengar menakutkan, bagi orang-orang yang tak biasa hidup di kalangan dunia mafia.
Dengan hati-hati, Fabiola membuka blazer yang dia kenakan untuk menyembunyikan bayinya yang saat itu dalam keadaan tertidur. Dia tak merasa terganggu sama sekali, meskipun sang ibu membawanya dalam keadaan hujan deras.
"Seorang bayi?" gumam salah seorang dari mereka. Dia menutup payungnya, kemudian menyelipkan di antara celah pintu gerbang. "Pakailah ini selagi kami melapor terlebih dahulu kepada tuan Moriarty," ucapnya. Walaupun perawakan serta raut wajah mereka terlihat sangar, tetapi masih ada hati nurani yang tersimpan di dalam diri kedua penjaga tadi.
Fabiola pun mengangguk sembari membuka payung. Setidaknya, air hujan yang deras tak terasa langsung menerpa tubuh dan juga bayi yang dia bawa. Dengan sabar, wanita cantik berambut gelap tersebut menunggu di luar pintu gerbang. Sesekali, pandangannya melihat ke sekeliling, sekadar memastikan bahwa tak ada siapa pun yang mengikuti.
Tak lama kemudian, penjaga yang tadi masuk untuk melapor telah kembali. Tanpa banyak bicara, dia membuka pintu gerbang kemudian mempersilakan Fabiola untuk masuk.
Fabiola dapat bernapas dengan lega, ketika kakinya mulai menapaki halaman kediaman dari ketua Klan Moriarty. Dia tahu bahwa dengan datang ke sana, maka dirinya dan sang bayi sudah dipastikan berada di tempat yang aman. Terlebih, ketika dia melihat sosok tegap yang sudah berdiri di ambang pintu.
Adalah seorang pria dengan paras tampan khas Italia, bermata gelap dengan rambut hitam yang tersisir rapi meskipun saat itu dirinya sudah mengenakan kimono tidur. Pria dengan janggut yang dicukur beraturan dan sangat terawat. Dia menatap kepada Fabiola yang telah berdiri di hadapannya. "Fabiola," sapa pria itu diiringi seutas senyuman lembut.
"Alessandro," balas Fabiola dengan tubuh menggigil.
"Mari masuk dan hangatkan dirimu," ajak pria yang tak lain adalah ayah dari dua bersaudara Vincenzo dan Silvio Moriarty. Pria itu juga merupakan paman dari Adriano D'Angelo, sang ketua Tigre Nero yang terkenal.
Setelah berada di dalam kediaman mewah milik Alessandro, Fabiola segera mengeluarkan bayi yang sejak tadi dirinya sembunyikan di balik blazer. Dia pun mengenakan selimut yang diberikan oleh seorang pelayan.
"Buatkan minuman hangat dan juga siapakan kamar tamu," titah Alessandro dengan gaya bicaranya yang penuh wibawa. Setelah itu, dia mempersilakan Fabiola untuk duduk. Akan tetapi, wanita itu menolak dengan alasan karena pakaiannya yang basah. Fabiola pun hanya berdiri, sambil sesekali menoleh kepada bayinya yang tertidur di atas sofa.
"Siapa namanya?" tanya Alessandro, menatap sejenak pada bayi laki-laki yang terlelap itu.
"Karl," jawab Fabiola pelan.
"Apa yang terjadi?" tanya pria itu lagi seraya beranjak, lalu menghampiri Fabiola yang masih berdiri terpaku tak jauh darinya.
Fabiola tertunduk, kemudian menangis. Dia terisak pilu sambil menuturkan kejadian mengerikan yang dialami oleh keluarganya. "Aku tidak tahu harus meminta perlindungan kepada siapa lagi. Satu-satunya yang ada di dalam pikiranku dalam pelarian ini adalah dirimu, Alessandro. Kuharap kau bersedia untuk memberikan rasa aman, setidaknya bagi putraku."
Alessandro terdiam beberapa saat. Pria penuh kharisma itu tampak sedang berpikir sebelum dia mengambil keputusan. "Baikah. Aku hanya punya satu cara untukmu," balasnya kemudian. Dia kembali mengalihkan pandangan kepada bayi di atas sofa.
"Pertama, bawalah bayimu ke rumah singgah yang berada di pingiran Milan," ucapnya. "Kau tidak perlu khawatir. Di sana dia akan dirawat dengan baik oleh pegawaiku yang bernama Miranda."
"Lalu bagaimana denganku?" Fabiola masih terlihat resah.
"Datanglah ke gereja yang berada sekitar lima ratus meter dari rumah singgah itu. Aku akan bicara dengan pendeta di sana. Kau bisa tinggal di biara. Kujamin tak akan ada yang mengenalimu," saran Alessandro. "Satu hal lagi, gantilah nama putramu menjadi Carlo. Sementara kau bebas memilih nama apapun, untuk menyamarkan identitas aslimu," saran Alessandro lagi.
"Besok, akan kusuruh salah seorang anak buahku untuk mengantarkan kalian ke sana. Aku minta maaf, Fabiola. Kau tidak bisa tinggal di sini, karena aku tak ingin jika kedua putraku memberikan banyak pertanyaan tentang dirimu," ucap pria itu lagi dengan raut wajah yang masih terlihat tenang dan penuh wibawa.
"Tidak apa-apa. Aku bisa memahami hal itu," sahut Fabiola pelan.
"Terima kasih atas pengertiannya. Bagaimanapun juga, dulu aku pernah sangat mencintaimu," ucap Alessandro pelan.
Tanpa mereka ketahui, seorang pemuda bermata biru sejak tadi menguping pembicaraan itu dari balik dinding penyekat ruangan. "Tuan Adriano, kenapa Anda belum tidur?" tegur seorang pelayan kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
mery harwati
Ow pantaslah aq curiga dari awal, semudah itukah Adriano melepaskan Carlo yang telah "menodai" Miabella? Padahal Adriano seorang pysco, ternyata inilah alasan kenapa harus ada udang dibalik bakwan🤣
2024-09-26
1
Wica Carolina
Rahasia2 masa lalu....
2023-02-18
2
Esther Nelwan
oooh daddy Zio udh tau semuanya trnyata...
2023-01-06
0