13. Ruang peristirahatan

Akhirnya rapat usai, dan naskah dikonfirmasi telah mendapat persetujuan. Semua melaksanakan sesi foto bersama menjelang segala persiapan untuk syuting pembuatan film.

Laura memasang senyum miring di bibirnya. Membayangkan raut wajah Fernando Jose tadi yang dipilih sebagai aktor utama dalam cerita. Dipasangkan dengan pemeran utama wanita yang berkulit gelap.

Ini bukan karena raa-sis, hanya saja dia sangat hafal karakter Fernando Jose yang dia tulis. Dia menyukai karakter seperti Elsa, yang berkulit putih mulus, rambut panjang, memiliki wajah cantik dan berkarakter lugu. Dia memiliki rencana akan menjadikan Elsa sebagai karakter figuran.

Ini pasti akan sangat menyiksa dia, tawa Laura di dalam hati.

Cindy memperhatikan wajah Presdir Vena tak berhenti menyunggingkan senyum di bibir. Dia ingin bertanya, tetapi ditahan. Hingga sampai di ruang kerja atasannya ini, senyuman itu masih belum juga hilang.

"Apakah ada sesuatu yang menyenangkan saat rapat tadi, Bu?"

Presdir Vena tampak memainkan kursi putar tersebut. Memutar sepenuhnya kursi itu layaknya anak kecil yang sedang merasa gembira.

"Tadi itu adalah rapat yang paling menyenangkan bagiku." Laura melihat ke arah jam tangannya.

"Apakah Elsa sudah sampai di sini?"

Cindy mengangguk pasti. "Dia sudah sampai, Bu. Anehnya lagi, dia menggunakan setelan kerja yang sangat mirip dengan pakaian yang Anda gunakan dulu, Bu."

"Ooh, syukur lah dia sudah datang. Namanya saja pakaian yang laris. Bisa saja dia membeli di tempat yang sama dengan tempatku dulu." Laura mengecek kembali naskah yang sudah disepakati secara bersama tadi.

"Kalau begitu saya pamit undur diri dulu ya, Bu?" Cindy menundukan kepala hormat.

"Sekalian tolong panggilkan Elsa ke ruang kerja saya! Saya ingin membicarakan mengenai naskah ini dengannya."

Cindy kembali menundukan kepala. "Baik, Bu. Mohon tunggu sejenak."

Laura menyandarkan dirinya pada kursi tersebut. Dia benar-benar merasa puas melihat reaksi Fernando Jose tadi. Masih asik membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya, sebuah ketukan terdengar dari arah luar pintu.

"Masuk!" komando Laura.

Elsa membuka pintu secara perlahan. Lalu melangkahkan kakinya menuju meja kerja sang pimpinan perusahaan. Laura melihat Elsa yang mengenakan pakaian yang dipilihkan Bibi asisten rumah tangganya.

"Cocok buatmu. Kamu boleh mengambilnya!"

Elsa melihat kembali pakaian kerja yang tengah terpasang pada tubuhnya. "Ini pakaian mahal, Bu. Dipinjamkan sekali ini saja saya merasa cukup puas. Saya rasa jika diberikan, itu terlalu berlebihan."

Laura kembali menatap Elsa dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. "Apa kamu keberatan menggunakan pakaian bekas milik saya?"

"Bu-bukan begitu, Bu. Saya harap Anda tidak salah paham."

"Kalau begitu, kamu boleh mengambilnya. Jika kamu tidak mau menggunakannya, kamu boleh menyimpan atau menjualnya kembali. Dengan begitu, kamu bisa memiliki uang karena pakaian tersebut."

Mendengar penjelasan Presdir Vena itu membuat mata Elsa menjadi berbinar terharu. Di balik sikap tegas dan dinginnya, Elsa menganggap ada satu empati tinggi yang dimiliki oleh Presdir Vena. Hal ini membuat Elsa semakin mengagumi wanita itu.

"Elsa?"

Panggilan itu membuyarkan lamunan Elsa mengenai kekagumannya pada sosok Presdir Vena. "Ada apa, Bu?"

Laura menyerahkan naskah untuk dipelajari oleh Elsa. Elsa menerima benda tersebut dengan perasaan ragu. Secara umum dia sudah mengetahui isi cerita tadi, karena dia sendiri yang mengkonversi ke dalam bentuk dialog teks.

"Peran apa yang akan saya mainkan dalam naskah ini, Bu?"

Laura bangkit dan melangkahkan kaki menuju jendela. Semenjak menjadi Presdir Vena, tempat itu menjadi tempat favoritnya. Langkahnya diikuti oleh Elsa di belakangnya.

"Karena ini yang pertama bagimu, kamu cukup menjadi figuran saja. Hanya ada beberapa adegan, dan satu kali adegan bertemu dengan tokoh utama pria."

Elsa menelengkan sedikit kepalanya. "Kalau boleh tau, siapa gerangan yang menjadi pemeran prianya, Bu?"

Laura memutar tubuhnya. Senyumam tipis menghiasi bibirnya. "Kamu akan mengetahuinya nanti."

*

*

*

Laura ikut memantau ke lokasi syuting memperhatikan akting Elsa yang hanya sekedar lewat dalam film tersebut. Ternyata memang benar, bahwa gadis itu tidak memiliki bakat dalam berakting. Untuk tampilan beberapa detik di dalam bagian cerita, tetapi membuat adegan tersebut harus diulang hingga belasan kali. Hal ini membuat sutradara gusar, tetapi dia tidak bisa protes. Elsa adalah orang diturunkan langsung atas perintah Presdir Rivena Claudya.

Hal ini menjadi perhatian bagi seorang aktris yang memainkan peran besar dalam film yang sedang mereka garap. Dia melihat gadis bodoh, tidak bisa apa-apa malah mendapat peran dalam film yang dia perankan. Meskipun hanya sebagai figuran, dia merasa gadis itu tidak pantas untuk mendapatkannya. Setelah semua benar-benar selesai, mata aktris tersebut tak hentinya menatap Elsa dengan sinis.

Elsa telah menyelesaikan peran yang harus dimaikan. Tidak lupa dengan perasaan gugup dan merasa bersalah, mengucapkan terima kasih kepada sutradara yang menatapnya sambil berkacak pinggang. Elsa segera menuju ruang istirahat tempat Presdir Vena menantinya.

Laura merasa kasihan melihat Elsa yang sering dibentak dan dibanjiri keringat. "Kamu hebat! Kamu sudah berusaha sebaik mungkin."

Elsa menyunggingkan senyumnya kepada Presdir Vena yang telah memberikan pujian kepadanya yang tidak bisa apa-apa tadi. Beberapa waktu mereka berbicara, salah satu kru memanggil Presdir Vena untuk mengecek hal penting dalam syuting tadi.

Laura meminta Elsa untuk menunggu dan beristirahat di sana. Elsa mengangguk sambil menikmati hidangan yang ada.

Kebetulan asisten dari aktris yang tadi, diperintahkan majikannya untuk mencari tempat peristirahatan yang terbaik dan nyaman. Dia menemukan ruang di mana Elsa tengah duduk santai dan memberitahukan kepada aktris yang mempekerjakannya, bernama Rose.

Rose mengikuti langkah asistennya menuju lokasi peristirahatan yang ditunjuk Gisel, sang asisten. Gisel menyilahkan Rose untuk masuk dan duduk bersama dengan pemeran figuran yang sedang beristirahat di sana.

Mata Rose terlihat nanar ke arah Elsa yang tengah duduk santai, membuka ponsel, sambil makan cemilan yang ada di atas meja. Cemilan di sana ada berbagai jenis. Rose melengos dan menatap Gisel, asistennya dengan tajam

"Kenapa kau membawaku ke ruang ini? Apa tidak ada tempat lain untuk aku beristirahat?" sarkasnya.

Bagi Gisel, ini bukan lah kali pertama diperlakukan dengan kasar oleh Rose. Dia seperti telah memahami apa yang dipikirkan oleh aktris yang mempekerjakannya kurang lebih lima tahun. Dia sudah memahami apa yang membuat majikannya ini menjadi marah.

"Tadi Anda memintaku untuk mencarikan tempat peristirahatan yang terbaikan, Nona? Menurut saya ini adalah tempat yang terbaik. Anda bisa lihat sendiri bukan, fasilitas yang ada di dalam ruangan ini?"

"Dia yang figuran saja mendapat fasilitas yang sangat nyaman. Apalagi Anda yang seorang superstar. Pasti akan diberikan lebih dari itu." terang Gisel sang asisten.

Rose sengaja mendorong pintu tersebut dengan kasar. Dia merasa tidak rela bila harus satu tempat istirahat dengan Elsa. Pintu yang didorong dengan kasar membuat Elsa menjadi sangat terkejut.

"Kau, Nona Figuran! Pergi dari ruangan ini! Ini adalah tempatku" gertak Rose.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!