Melihat rumah yang biasanya bersih dan rapi, tiba-tiba saja berantakan setelah sesaat kehadiran anak dari suaminya, membuat Vivian murka.
"Apakah etikamu telah hilang semenjak keluar dari rumah ini?"
Setelah sekian lama, akhirnya suara Sistem terdengar di dalam pikirannya.
"Selamat! Anda telah berhasil menyelesaikan misi tersembunyi yang diberikan Sistem. Anda telah membuat ibu tiri Rivena Claudya kesulitan atas kelakuan Anda, Nona Laura." Sebuah senyuman tipis terulas di bibir Laura.
Laura menyadarkan diri merentangkan tangan di atas sandaran sofa. Laura sendiri tidak menyukai tokoh ibu tiri Rivena ini. Di dalam cerita, dia selalu memonopoli ayah Vena. Sehingga membuat ayah Vena kehilangan kepeduliannya kepada putrinya ini.
"Oooh, ternyata masih ada etika ya? Lalu mana etikamu sebagai istri kedua bagi ayahku? Seharusnya kau menyayangiku selayaknya anakmu sendiri. Bukan memonopoli satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini."
Mendengar ucapan lancang dari putri tirinya ini membuat Vivian merasa semakin marah. Lalu mendekat pada Vena dan menampar pipi gadis yang terdengar sangat kurang ajar itu. Suara tamparan itu terdengar sungguh sangat perih.
Laura bangkit bangkit dan menjepit dagu ibu tirinya dengan amarah. "Ingat Nyonya! Aku tak pernah menganggapmu sebagai ibuku! Bila kau membuatku marah, aku tak akan segan mematahkan seluruh tulang di tubuhmu!"
"Vena? Apa yang kamu katakan pada Mama Vivian?" Sebuah suara bariton mengejutkan Laura dan Vivian.
Ayah Vena baru saja pulang. Mendapati anaknya sedang mengancam ibu tirinya tersebu. Hal ini membuat Laura segera membelai-belai sang ibu tiri. Merapikan pakaian Vivian, dan mencium pipinya.
"Mama Vivian selalu terlihat cantik ya, Pa. Pantas saja Papa lebih menyayangi dia dari pada aku." Laura kembali duduk dan Vivian menyambut suami, mengambil tas kerja Tuam Robert itu.
Adam memperhatikan salah satu pipi Vena yang terlihat merah. "Kenapa dengan wajahmu?"
Laura melirik Vivian, yang terlihat salah tingkah. "Aku hanya kepanasan, Pa. Jadi mukaku tampak seperti ini. Paling, nanti kembali seperti semula."
Adam mengangguk. "Kamu jangan kemana-mana! Ayo makan bersama di sini. Papa sangat merindukanmu. Setiap Papa memanggilmu main ke sini, kamu selalu saja memiliki alasan. Papa mau membersihkan diri dulu."
"Iya ya, Pa. Setiap diajak ke sini, Vena selalu saja tidak mau. Padahal anak itu kan harus rajin mengunjungi orang tuanya." sela Vivian, pura-pura perhatian. Mengelungkan tangannya pada lengan Adam, melirik Vena.
"Baik lah, aku akan menunggu. Lagian aku ingin membicarakan sesuatu pada kalian." Laura pun bergerak menuju kamar Vena yang ada di dalam rumah itu. Dia ikut membersihkan diri dan menggunakan pakaian Vena yang masih tertinggal di sana.
Tak beberapa lama, mereka telah menyudahi makan bersamanya. Vivian bangkit dan membereskan piring-piring sisa makan malam. "Jadi wanita itu ya kudu cekatan. Jangan hanya cekatan dalam urusan kantor saja. Tetapi juga harus bisa melakukan semua pekerjaan rumah tangga seperti membereskan peralatan makan ini setelah digunakan."
Adam melihat ke arah Vena. "Itu kamu dengar apa yang Mama Vivian bilang!" ucap papanya.
"Iya, Pa. Aku dengar kok. Lagian buat apa bibi digaji kalau kita masih melakukannya semua sendiri kan? Berhubung sudah ada Mama yang hanya sekedar bekerja di rumah, ya itu adalah kerjaannya. Seseorang yang tidak punya kerjaan hanya sekedar menghabiskan uang Papa saja. Ya wajar lah, dia nolongin Bibi beresin ini semua--"
"Vena?" Adam menyela dengan wajah gusarnya. Dia melihat anak perempuannya ini masih tetap sama. Masih tidak menyukai Vivian, istri keduanya.
"Jaga omonganmu! Jangan berkata tidak sopan begitu terhadap Mamamu!"
Laura memutar bola matanya jengah. "Dia bukan mamaku," celetuknya.
Vivian menyunggingkan senyum tipis yang tak dapat diartikan. Lalu menyerahkan semua piring kotor tersebut kepada Bibi asisten. Beberapa waktu kemudian mereka telah duduk bersantai di ruang keluarga.
Adam memperhatikan putrinya ini. Harta satu-satunya yang ditinggal oleh istri terdahulu yang bernama Inggrid. Dia meninggal karena menderita kanker. "Vena, sekarang umurmu sudah berapa?"
Laura menikmati makanan kecil yang tersedia sambil menonton TV. "Menurut Papa umurku berapa?"
"Hmmmfff, kamu ini? Papa bertanya dengan serius! Kamu ini sudah sangat cukup umur untuk menikah! Kapan kamu memperkenalkan calon suamimu pada kami berdua?"
Terdengar suara Sistem di dalam pikiran Laura. "Ubah lah cara pandang Adam agar tidak memaksa Rivena Claudya untuk menikah!"
"Entah lah, Pa. Aku sama sekali tak ingin repot jadi istri seseorang. Aku masih menikmati hidupku sendirian. Aku ingin bebas hidup sesukaku tanpa ada yang mencoba untuk mengaturku."
Gigi Adan terdengar bergemeletuk karena geram mendengar ucapan anaknya barusan. "Apa yang kamu katakan Vena? Kamu itu seorang wanita. Wanita itu, identik dengan kelemahannya. Karena itu kamu membutuhkan sosok untuk menjaga dan melindungimu. Lagian Papa sudah sangat ingin menimang cucu. Apa kamu mau seperti ini terus?"
Laura menyandarkan tubuh di kursi yang tengah dia tempati. Kaki disilang, satu tangan digunakan untuk menopang kepalanya. Matanya melirik Vivian, sang ibu tiri.
"Semua wanita emang lemah. Tapi aku tentu tak selemah dia."
"Papa ingin menggendong bayi lagi? Bagaimana kalau Papa dan Mama program anak kembali? Bukan kah kalian berdua masih bisa memiliki anak?
Adam benar-benar geram mendengar semua hal yang diucapkan anaknya ini. Akhirnya kesabaran Adam habis juga. "Vena! Jaga ucapanmu! Kapan kamu bisa berubah?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments