Jhon Aria mengajakku pulang. Katanya Vio merindukanku. Sekarang Dia sudah menjadi seorang Guru di SMU tempat dulu Dia bersekolah.
" Gimana, Phi. Mau kan? " tanya Jhon waktu Dia berkunjung ke rumah kontrakan Kami malam itu.
" Pulang aja, Phi. Kasihan Adikmu. Kalian udah bertahun - tahun nggak bertemu " ujar Vera.
" Baiklah. Jadi kapan kita berangkat? " kataku
" Setelah Kamu minta Izin sama Pimpinanmu." kata Jhon Aria.
" Kalau begitu lusa aja " kataku memutuskan.
" Oke " kata Jhon.
Akhirnya setelah Aku mendapatkan izin dari Direktur Rumah Sakit, Aku dan Jhon Aria pulang.
Setelah menempuh perjalanan udara kurang lebih dua jam dan perjalanan darat kurang lebih empat jam, Kami pun tiba di rumah.
Betapa gembiranya Vio melihatku pulang.
" Kak Phia! " serunya sambil memelukku
Kami berpelukan cukup lama.
" Kak Phia, apa Kak Phia pulang untuk menikah? " tanya Vio
" Menikah? Dengan siapa? " tanyaku.
Vio tersenyum sambil melirik Jhon Aria.
" Jangan lirik Aku " kata Jhon Aria
Vio tertawa.
Kami bertiga mengobrol sebentar. Setelah itu Jhon pamit pulang. Aku juga sepeninggalan Jhon langsung masuk kamar untuk istirahat.
Aku rindu dengan kamar ini. Sudah bertahun - tahun Aku meninggalkannya. Tanpa terasa Aku tertidur lelap.
Aku terbangun saat Vio membangunkanku.
" Kak, udah sore. Bangun! Ntar jadi perawan tua Lo " kata Vera
" Nggak mungkin! " kataku
Vio tertawa sambil keluar dari kamarku.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan segera ke kamar mandi.
" Kak Phia! " teriak Vio sambil mengetuk pintu kamar mandi.
" Ada apa sih, Vio? " tanyaku setelah membuka pintu.
" Di depan, Kak " Kata Vio
" Apa? Siapa? " tanyaku.
" Lihat aja sendiri. Vio nggak sanggup " ucap Vio.
" Apa sih? Jadi penasaran " kataku sambil melangkah ke depan.
Aw! Kenapa Dia di sini? Aku menutup pintu. Cepat - cepat Aku masuk ke dalam mencari Vio.
" Vio. Kamu cepat bukain pintu trus suruh dia pulang " Kataku menyuruh Vio.
" Kan pintunya sudah terbuka, Kak " kata Vio.
" Tadi Aku menutup pintu setelah melihatnya " kataku.
" Apa? Cowok seganteng itu Kak Phia tutupin pintu?! " ujar Vio seraya berlari membuka pintu.
" Cari Kak Phia ya? Maaf, Kak Phia kaget jadi menutup pintunya lagi. Mungkin Dia lupa pakai bra maklum baru aja selesai mandi " kata Vio.
" Vio..! Bercanda deh " kataku.
Aku terpaksa keluar menemuinya sebelum Vio mulai membongkar rahasiaku.
" Masuklah! " kataku.
Dia masuk dan langsung duduk di kursi.
" Kamu ngapain di sini? Nggak ada kerjaan? " tanyaku.
" Aku dan Edward ada urusan disini. Kami tiba kemarin " katanya
Mereka tiba kemarin? Pantas aja Aku tidak melihat kembar bersaudara ini di Rumah Sakit.
" Trus darimana Kamu tahu kalau Aku di sini? " tanyaku
" Suster Dewi " jawabnya
Aku mengangguk tanda mengerti. Aku beranjak dari tempat dudukku menuju ke dapur untuk membuat teh
Selagi Aku membuat teh, ternyata Vio menemani Edwin mengobrol.
Kudengar Vio tertawa.
Saat Aku datang membawa teh , Vio masih juga tertawa.
" Vio! " kataku
" Iya, Kak Phia " jawab Vio sambil berdiri kemudian meninggalkan Kami.
" Di minum teh - nya " kataku mempersilahkan Edwin.
" Terimakasih " jawab Edwin sambil meminum tehnya.
" Kak, ntar malam kita ke cafe D' insecure ya? " kata Vio datang lagi.
" Kak Edwin mau ikut? " tanya Vio.
" Lihat aja ntar malam ya " jawab Edwin dengan lembut.
Aku heran biasanya Edwin tidak seramah ini pada orang lain. Tapi sama Vio Dia berbeda.
" Lanjut lagi Kak ngobrolnya " kata Vio sambil pergi ke luar.
" Adikmu baik. Kepribadiannya polos " kata Edwin.
" Terimakasih." kataku.
" Phia, bisakah Kau membantuku? " kata Dokter Edwin.
" Bantu apa? " tanyaku
" Kami ada pertemuan keluarga besar. Kakek, Nenek, dan kedua orang tuaku juga hadir " katanya menjelaskan.
" Aku menyimak " ucapku.
" Maukah Kamu pura - pura jadi kekasihku? " pintanya.
Aku tersenyum.
" Dokter Edwin yang ganteng ini tidak berhasil mendapatkan satu gadis cantik pun untuk di bawa ke depan orang tuanya? " kataku menggoda Edwin.
" Kamu mau tahu alasan kenapa Aku tidak boleh membawa sembarang gadis? Ikutlah denganku nanti malam " katanya.
" Aku ada janji sama Vio mau ke cafe. " kataku.
" Please, Phia! " bujuk Edwin.
" Baiklah " Aku akhirnya bersedia membantunya.
" Thanks. Aku akan jemput Kamu pukul 7 malam " kata Edwin.
Aku mengangguk.
Edwin pamit pulang.
" Ciee.. Edwin ganteng banget ya. " kata Vio menggodaku.
" Ganteng tapi arogan " kataku
Vio hanya tersenyum.
" Eh, ntar malam Aku harus pura - pura jadi pacarnya. Jadi kaya'nya Kakak nggak bisa ke cafe sama Kamu " kataku.
" Nggak apa - apa Kak. Aku sama teman aja perginya " kata Vio.
" Kamu punya teman? " kataku menggodanya.
Vio tertawa penuh arti.
" Aku masuk kamar dulu ya " kataku.
Vio mengangguk.
Di dalam kamar Aku mencoba menebak bagaimana karakter orang tua Edwin. Aku jadi khawatir jika Ibu Edwin tidak menyukaiku dan mempermalukanku di depan keluarga besarnya.
Oh iya! Aku harus pakai baju yang mana? Aduh!
Aku keluar mencari Vio.
" Vio, kamu punya baju nggak yang cocok Aku pakai ke acara pertemuan keluarga ?" tanyaku.
" Nih.. " kata Vio sambil menyerahkan sebuah kotak padaku.
Aku mengambilnya tanpa bertanya lagi.
Aku membuka kotak yang di berikan Vio dan terkesima melihat isinya.
" Selera Vio sangat keren. " ucapku dalam hati.
Aku mengeluarkan baju dan aksesorinya dari kotak dan Aku menemukan sebuah catatan.
Pakai baju ini
Aku menghela nafas panjang. Ternyata ini dari Edwin. Tapi tak apalah. Dia memang harus menyiapkannya kalau Dia tak mau malu.
Aku melirik jam sudah pukul 18.30.
Aku masih punya waktu 30 menit untuk berpakaian dan berdandan.
Sudah selesai!
Tidak lama kemudian Edwin menjemputku. Kami pun berangkat.
" Eh, pertemuan keluarganya di sini? " tanyaku begitu Edwin memasuki sebuah rumah yang sangat besar. Seingatku pemilik rumah itu adalah orang terkaya di kota ini.
Edwin mengajakku masuk. Di ruang tamu yang sangat luas, Aku melihat sudah banyak keluarga Edwin yang berkumpul. Aku sempat ingin berbalik pulang tapi dengan cepat di genggam oleh Edwin.
" Ayo " kata Edwin mengajakku bertemu dengan keluarga besarnya.
" Apa ini calon istri Cucuku Edwin? " tanya orang tua yang tampak masih cantik. Itu Nenek Edwin.
Aku tersenyum.
" Ayo duduk di samping Nenek " kata Nenek Edwin.
Edwin memberiku isyarat untuk menuruti kata Nenek. Sedang Dia sendiri naik ke lantai atas.
" Hei, Kamu kerja dimana? " tanya Nenek Edwin.
" Aku kerja di Rumah sakit yang sama dengan Edwin, Bu " Jawabku.
"Panggil beliau Oma " kata Edward yang tiba - tiba muncul.
" Kamu bisa membedakan Yang mana Edwin dan yang mana Edward? " tanya Oma.
" Bisa Oma " kataku.
" Bagus " kata Oma tersenyum.
Tiba - tiba seorang gadis kecil kira - kira berumur 6 tahun masuk dan berlari ke arahku.
" Tante Dokter! Kenapa Tante Dokter ada di sini? " tanya anak kecil itu.
Aku bingung. Apa anak ini mengenalku? Atau Dia salah mengenali orang.
" Rere kenal tante ini? " tanya seorang wanita cantik yang muncul dari dalam. Ternyata itu Kakak perempuan Edwin.
Anak kecil bernama Rere itu mengangguk.
" Oh ya, makan malam sudah siap. Mari kita makan Oma " kata Kakak Edwin.
Oma mengajakku dan yang lainnya ke meja makan yang berukuran besar.
" Opa belum turun? " tanya Oma ketika semua sudah duduk.
" Belum Oma. Katanya sebentar lagi. Dia masih bersama Edwin " jawab Kakak Edwin.
" Kita tunggu Opa sebentar " kata Oma.
Tidak lama kemudian, Opa muncul bersama Edwin.
Edwin duduk di sampingku.
" Papa dan Mama dimana Kak? " tanya Edward.
" Dalam perjalanan. Ntar lagi tiba " jawab Kakak Edwin.
Benar saja tidak lama kemudian Papa dan Mamanya Edwin muncul.
" Maaf Pa, Dian terlambat " kata Mama Edwin.
" Duduklah " kata Opa
" Ayo anak - anak makanlah" kata Oma.
Kami semua memulai acara makan malamnya.
Rere tiba - tiba turun dari kursinya dan menghampiriku.
" Tante Dokter, Aku mau duduknya di samping Tante " kata Rere.
Kakak Edwin baru saja ingin mengambil Rere tapi di cegah oleh Opa.
" Biarkan saja Adel. Edward kamu pindah ke tempat Rere " kata Opa.
Edward kemudian pindah ke tempat Rere.
Kulihat Mama Edwin menatapku.
Tidak satupun yang berbicara saat acara makan malam. Kecuali Rere yang sebentar - sebentar berbisik padaku.
Aku hanya menganggukkan kepala.
Begitu acara makan malam selesai, Rere menarikku ke ruang depan.
" Tante Dokter, kita bermain sambung kata yuk " katanya.
Aku seolah - olah teringat sesuatu saat mendengar permainan sambung kata.
Ya. Anak ini yang di Rumah sakit waktu itu.
" Rere, Oma mau bicara dengan Tante Dokter. Boleh, kan? " Mamanya Edwin tiba - tiba muncul.
" Boleh, Oma " Kata Rere. Gadis kecil itu kemudian datang ke pangkuan Ibunya.
" Sudah berapa lama Kamu kenal Edwin? " tanya Mamanya.
" Baru dua mingguan, Bu " jawabku.
" Dua minggu? " kata Mamanya.
" Dua minggu dan Kalian sudah memutuskan untuk menikah? " tanya Mamanya lagi.
Menikah? Aduh! Edwin sebenarnya bicara apa sih sama Mamanya?
" Ma " tiba - tiba Edwin datang menghampiri Kami.
" Kamu bilang kenal Phia sudah Dua tahun. Ternyata baru Dua minggu " kata Mama dengan nada sedikit di tekan.
Aku dan Edwin saling berpandangan.
" Ma, tumben Mama nggak tanya bibit, bobot, dan apa tuh Kak? " tanya Edward mengalihkan pertanyaan Mamanya.
Kak Adel diam saja.
" Mama nggak merasa perlu menanyakan itu. " kata Mama sambil beranjak ke samping Oma dan Opa.
" Edwin sudah banyak cerita tentang calon Istrinya itu. Menurut Bapak, Kamu tidak perlu terlalu keras " kata Opa.
Mama mengangguk.
" Edwin dan Phia kemarilah. Duduk di sini. Oma dan Opa mau bicara " panggil Mamanya.
Aku dan Edwin menghampiri mereka.
" Opa tidak perlu banyak basa - basi lagi. " kata Opa.
" Phia, Opa melamarmu untuk di jadikan istri oleh cucuku Edwin. Nak Phia mau kan?" Kata Opa padaku.
Aku tidak bisa berkata apapun.
Ini bukan bagian dari rencana.
Aku melihat ke arah Edwin dan Dia menganggukkan kepalanya.
Semua diam menunggu jawabanku. Aku bingung harus jawab apa.
" Phia, tolong jawablah Opa " pinta Edwin.
" Baik Opa. Phia mau " jawaban itu meluncur begitu saja dari bibirku.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Aku menjawab mau.
Semua tampak lega mendengar jawabanku.
" Baiklah. Karna Kalian berdua harus segera kembali ke Rumah Sakit maka Mama dan Kak Adel akan mengurus semuanya dengan cepat agar kalian bisa menikah dalam dua hari ini. " kata Mama
Aku semakin tidak berdaya. Kenapa hari pernikahannya terlalu cepat.
Aku menatap Edwin. Tapi Dia tampak biasa saja. Dia benar - benar seenaknya.
Lalu Aku melihat ke Edward, Dia menatapku sambil tersenyum. Senyum yang sedikit di paksakan.
Dia pasti tahu perasaanku saat ini.
" Ya, udah Ma. Edwin antar Phia pulang dulu " kata Edwin.
Mamanya mengangguk.
Aku berpamitan dengan semua orang. Edward mengantar kami sampai di halaman.
" Sorry, Phi " kata Edward
" Bukan salahmu. Tapi salah Dia nih! " Aku menunjuk ke arah Edwin dengan emosi.
Edwin hanya diam. Lalu masuk ke mobilnya. Dia membunyikan klaksonnya agar Aku naik ke mobil.
" Kamu menipuku! Siapa yang mau menikah denganmu. " kataku emosi.
Tapi Edwin hanya diam.
Aku menyerah memarahinya.
Kucoba pakai cara yang lembut.
" Win, gimana dong ini? " kataku
" Phi, sorry. Aku juga nggak menyangka akan begini " kata Edwin.
" Jadi kita terpaksa harus menikah ? " kataku.
Edwin menatapku sejenak.
Tidak lama kemudian Kami tiba di rumah.
Vio sudah menunggu Kami.
" Aku langsung pulang ya " kata Edwin terus memutar balik mobilnya.
Aku langsung masuk kamar di ikuti Vio.
" Ada apa Kak? Kok mukanya kusut begitu? " tanya Vio.
" Aku akan menikah dua hari lagi " kataku.
Vio kaget.
" Sama siapa Kak? " tanya Vio.
" Edwin. Ah.. ceritanya nanti aja. " kataku.
Vio terdiam.
" Aku memikirkan bagaimana perasaan Kak Jhon kalau dia tahu Kak Phia akan menikah. " kata Vio.
Aku menghela nafas dalam - dalam.
" Vio.. " Kulihat Vio sudah tertidur.
Vio.. Vio.. anak ini sangat mudah tertidur saat bersentuhan dengan bantal.
Aku juga akhirnya merebahkan tubuhku di samping Vio.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments