Tiba saat yang selalu ditunggu Bianca, weekend! Dia akan pulang ke rumahnya, kali ini tanpa Susan meski gadis itu berharap ingin ikut, tetapi karena kondisinya masih sakit, maka Bianca tidak mengajaknya.
Sampai di rumah, papa dan mamanya sedang berbincang. Gadis itu disambut dengan bahagia dalam keluarganya, sungguh kehangatan dalam kesederhanaan yang dia rindukan setiap hari.
"Kak, Kak Susan mana?" tanya Brian.
"Kak Susan sakit, jadi tidak bisa ikut, Brian."
"Yaaaah ...." Terlihat kekecewaan di raut wajahnya, tapi sebentar kemudian wajah cerianya muncul lagi, teringat akan sesuatu.
"Kak, ayo kita ke tetangga kampung sebelah, dia jualan marmut, belikan aku satu ya, Kak?" rengeknya.
"Apa kamu bisa merawatnya, harus dikasih makan tiga kali sehari, membersihkan kandangnya."
"Bisa, Kak!"
Gadis itu berpikir bahwa memberi adiknya kesempatan untuk memiliki seekor peliharaan akan bagus untuk melatih tanggung jawabnya.
"Gimana, Ma? Seekor marmut untuk dipelihara Brian agar melatihnya memberi makan rutin."
"Boleh saja, marmut makannya kan mudah, hanya rumput atau sayuran."
Fix, Bianca menuruti adiknya untuk membeli seekor marmut. Seekor saja agar tidak merepotkan Mama.
"Yuk!" ajak gadis itu.
Brian berbinar-binar keinginannya dituruti oleh kakak tersayang. Dia segera beranjak mengikutinya.
"Siapa yang jualan marmut, Brian?" tanya Bianca sambil berjalan menuju ke rumah tetangga digandeng oleh adiknya.
"Pak Heri," jawab Brian.
Pak Heri adalah seorang peternak hewan, tapi bukan miliknya. Dia seorang buruh ternak di desanya. Setiap minggu dia pulang ke rumah, istrinya pun hanyalah seorang buruh cuci di kampung Bianca. Mencuci pakaian di rumah-rumah tetangga, lalu diberi upah per minggu. Anaknya kecil-kecil, ada tiga orang.
"Oh, Pak Heri. Oke."
Rumah Pak Heri sederhana, tapi bersih. Bianca mengetuk pintu rumahnya. Seorang wanita berdaster tergopoh-gopoh menemuinya.
"Nona Bianca, ada apa ya kemari? Duh, rumahnya berantakan."
"Tidak, Bu." Bianca tersenyum padanya.
"Sini silakan masuk," ujar Bu Heri.
"Bu, apa Pak Heri menjual marmut?"
"Oh, iya iya. Gimana? Apa Nona Bianca mau beli?"
"Iya, Bu. Seekor saja, yang jantan."
Tiba-tiba seorang anak Bu Heri berlari ke ruang tamu sambil menangis, "Ibu, lapar ...."
Bu Heri tampak berkaca-kaca mendengarnya. "Sebentar ya, Nak?"
"Maaf, Nona Bianca, mari saya antar ke belakang biar memilih sendiri yang disukai." Bu Heri mengusap matanya yang basah.
Kasihan, pasti anak-anaknya belum makan.
Bianca dan Brian mengikuti Bu Heri ke belakang, melihat marmut mana yang akan dipelihara.
"Yang jantan yang mana ya, Bu?"
"Ini semua jantan, Nona Bianca. Yang betina sudah dipisah. Baru melahirkan lagi."
"Oh," Bianca mengangguk-angguk.
Ada enam marmut jantan di kandang itu. Terdengar suara tangis anak-anak Bu Heri semakin menjerit kelaparan. Wanita paruh baya itu nampak tidak nyaman di depan Bianca. Dia merasa kasihan pada mereka. Gadis itu tidak tega.
"Semua marmut jantan ini berapa harganya, Bu?" tanya Bianca akhirnya membuat Brian membelalak hampir bertanya pada kakaknya sebelum dihentikan dengan telunjuk Bianca yang diletakkan di mulutnya sendiri.
"Nona Bianca mau ambil semua?" tanya Bu Heri meyakinkan.
"Iya, Bu."
"Semua harganya seratus ribu rupiah saja sama kandangnya, Nona."
"Oh, ya. Saya ambil semua, Bu."
Brian membawa kandang itu, sedangkan Bianca mengeluarkan tiga lembar uang merah dari dompetnya.
"Ini, Bu."
"Nona, ini kebanyakan."
"Sudah, Bu. Adik saya suka. Ambillah uang ini."
"Makasih, Nona Bianca, semoga kebaikan Nona dibalas oleh Tuhan." Bu Heri menerimanya dengan suka cita karena dia memang sangat membutuhkan.
Amien.
Wanita itu tampak bahagia menerima uang dari Bianca. Segera Bianca mengajak adiknya pulang. Mereka berpamitan pada Bu Heri.
Semoga uang itu berguna di masa sulit mereka, uang itu tak seberapa, tapi aku yakin bagi mereka itu berharga.
Brian memandang Bianca bingun dalam perjalanan pulang, "Kak, Brian belum bisa kan kalau harus memelihara marmut sebanyak ini?"
"Nanti Kakak bawa pulang," ujar Bianca.
"Oke, Kak. Brian yang coklat putih ini, ya?"
"Iya, terserah kamu, asal diperhatikan makan dan kebersihan kandangnya, lho!"
Brian mengangguk senang.
Petangnya, Felix menjemput Bianca. Dia terbelalak melihat plastik yang isinya bergerak-gerak. Bianca menyengir padanya.
"Felix, boleh ya pelihara marmut?" rayunya dengan mata berkedip-kedip.
Nona, kapan sih anda tidak membuat masalah??
"Nanti, saya bilang tuan muda dulu."
Bianca merengut, membayangkan reaksi Key saat melihat marmut-marmut itu di rumahnya.
Tibalah mereka di rumah mewah yang dingin sambutan, membuat Bianca merasa terasing lagi.
Felix segera menuju ke ruangan Key. Sebentar kemudian pria itu turun dengan muka datar.
"Kamu mau pelihara apa?" ulangnya.
Bukankah tadi Felix telah bilang sama kamu??
"Marmut," jawab Bianca takut-takut.
"Kenapa kamu membawanya kesini?"
"Tadi aku kasihan sama ibu yang jual ini, anak-anaknya kelaparan. Jadi aku beli semua."
Pria itu nampak berubah raut mukanya, berpikir sebentar.
Kenapa gadis jelek ini berhati mulia?
Bahkan Key belum pernah melihat langsung orang yang kelaparan. Dia jadi penasaran dengan apa yang didengarnya.
"Baiklah, asal kamu bertanggung jawab dengan makan dan kebersihan kandangnya."
Sepertinya aku pernah mengatakan kalimat itu pada Brian.
"Lalu, satu hal lagi. Jangan abaikan hukuman dan kewajibanmu."
Gadis itu mengangguk, lalu melirik pada Felix. Pria itu menangkap ada yang akan Bianca sampaikan, perasaannya tidak enak.
"Felix, tolong belikan kandang, ya?" Matanya kembali berkedip merayu.
Kenapa tidak tadi sekalian waktu di jalan, Nona?? Grrrrr .... Merepotkan sekali, sudah malam pula!
"Baik," katanya datar.
Akhirnya Felix menelepon dokter hewan yang memiliki petshop agar mengantar kandang malam itu juga.
Bianca meletakkan kandang di belakang taman, menutup hidungnya, karena bau marmut itu menusuk hidung.
***
"Lucu, Kak." Susan melihat kelima marmut itu paginya. Mereka mencuci marmut-marmut itu agar bersih.
Key melihat dari jendela rumah belakang saat Bianca dan adik tirinya begitu senang dengan mainan baru mereka. Kedua gadis itu memberi makan marmut-marmut dengan wortel. Terlihat akrab sekali, bahkan Key yang kakaknya selama tiga tahun belum pernah berbincang terbuka dengan Susan.
"Susan, yang belang kita namai Belang, yang putih dinamai White, yang coklat susu dinamai Milk, yang hitam itu kita namai Key, yang coklat buluk itu kita namai Felix!" Mereka berdua terkikik.
"Tuan, bagaimana rencana kerja hari ini?" tanya Felix mengagetkan Key saat itu.
"Oh, ya. Ayo kita bertemu klien. Panggilkan gadis itu agar menyiapkan baju untukku."
"Baik, Tuan." Felix segera menemui Nonanya.
"Nona Bianca," panggil pria itu disambut oleh tawa Bianca dan Susan.
Gadis-gadis aneh, tertawa-tawa, apa yang ada di pikiran mereka?
"Ya, Felix."
"Tuan Key memanggil anda untuk menyiapkan bajunya, dia akan pergi."
"Baiklah," ujar Bianca masih terbahak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Ayuna Kamelia
astagaaa
jan bilang ntar marmutnya dipakein kalung nama🤣🤣
2024-03-14
1
Lia Rochmatuz
Yang hitam itu Key terus yang Coklat buluk itu Felix🤣🤣🤣🤣
2022-10-12
0
Bunga_Tidurku
istri durhaka
2022-01-07
0