Semilir angin menyambut pagi tiba. Bianca menguap dan merenggangkan otot-ototnya,, sejenak mengerjapkan mata, mengingat memori kemarin.
Ah iya, apa Key masih marah ya?
Bianca duduk lalu melirik ke tempat tidur tempat pria galak itu tidur terlentang sambil melebarkan kedua tangannya. Memperlihatkan kekuasaan di atas singgasananya.
Fyuh!
Gadis itu menghembuskan napas, berharap bahwa pria itu tidak lagi marah. Dia melipat selimut lalu beranjak ke kamar mandi, membawa serta baju ganti. Kali ini Bianca mandi dengan cepat, takut jika berlama-lama si tuan kamar akan menggedor pintu lalu menyuruh dia keluar saat itu juga.
Benar saja, pria itu telah berdiri di depan pintu kamar mandi saat Bianca keluar, membuatnya kaget dan berteriak.
"Whuaaa!!"
Untung saja dia segera menyadari kehadiran pria itu, kalau tidak, mungkin bogem mentah akan dilayangkan ke wajah Key yang sangat dekat dengan pintu kamar mandi.
"Kenapa?" kata Key dengan tidak merasa bersalah.
Kaget tahu? Bianca mengelus dada meredakan senam jantungnya, tapi gadis itu tidak menjawab pertanyaan Key. Pria itu tertawa menggelegar. Suaranya memenuhi seluruh kamar.
Sepertinya dia tidak lagi marah padaku.
Begitulah perangai Key, jika kesalahan tidak terlalu fatal, hanya sesaat saja dia mengamuk. Setelah itu dia akan kembali seperti biasa. Namun, hukuman masih berlangsung.
Bianca sedang merias diri saat pria berbadan kekar itu keluar kamar mandi dengan hanya berbalut handuk. Tanpa sengaja, gadis itu melihat dada suaminya yang bidang.
Slow motion. Seorang pria dengan dada kotak-kotak dan putih keluar dari kamar mandi dengan mengibaskan rambutnya yang basah dengan percikan air muncrat kemana-mana, lalu menggosok handuk kecil pada rambutnya, diiringi lagu yang bernuansa action.
Apakah itu yang dinamakan six packs? Enam kantong?
Bianca menghitung kantongnya.
Ah, iya ..., enam!
"Sudah lihatnya? Aku lepas handuknya ya?" ujar pria yang sedang dilihatnya itu.
Bianca mengatupkan mulutnya yang sedang melongo. Yuuuuuh, memalukan!!
"Tidak, tidak. Jangan lepas handuknya dulu. Itu baju ganti kamu ada di atas tempat tidur. Eh iya iya, aku berbalik!"
Key tersenyum girang. Gadis ini lucu juga!
"Sudah."
Bianca berbalik untuk memastikan pria itu telah membalut tubuh dengan baju yang telah disiapkan.
"Aku tidak mau dasi ini, kurang cocok dengan jas biru ini," ujarnya mengulurkan dasi berwarna kuning itu.
"Lalu, mau warna apa?"
"Biru pucat bergaris."
"Oke."
Bianca menyerahkan dasi yang Key mau.
"Pakaikan."
Bianca memakaikan dasi itu ke leher Key, tapi malah seperti mencekiknya.
"Kamu mau membunuhku??" ujar Key kesal.
Bianca menahan tawa lalu melonggarkan dasi yang telah dia pasang. Kemudian dia mengambilkan kaus kaki dan sepatu pria itu, lalu memakaikannya.
Mereka telah bersiap untuk makan pagi, tapi meja makan masih kosong, tidak ada seorang pun. Kemana Papa, Mama mertua dan Susan? Akhirnya Key dan Bianca makan hanya berdua di ruang makan.
Key, Felix dan Bianca menuju ke mobil lalu mobil melaju begitu saja ke jalanan.
"Key, papa kamu tidak ikut?"
"Biarlah, dia ikut juga hanya untuk menghibur dirinya, dari pada diam di rumah. Mungkin mereka sedang ingin berdiam di rumah."
"Lalu, Susan?"
Key mengendikkan bahu. Bianca ingin memarahi karena itu adiknya meski tiri sekalipun, tapi gadis itu merasa tidak berhak.
Bianca turun lalu segera melanjutkan tugasnya di hotel. Sementara Key dan Felix melaju ke kantornya.
***
"Mama, mau pergi?"
Susan menatap ibunya yang sedang bersiap untuk pergi dengan menenteng tasnya dengan dress dan sepatu hak tinggi. Sungguh elegan dipandang, sementara anak perempuannya hanyalah seorang gadis kutu buku dengan kacamata dan tak pandai berdandan.
"Iya, sayang. Mama harus pergi sekarang."
"Aku demam, Ma." Gadis itu memang terlihat pucat. Hari ini dia ijin tidak masuk karena sakit.
"Kamu terlalu lelah dengan buku-bukumu, istirahatlah."
"Ma, apa mama tidak menemaniku?"
"Nanti Mama pulang awal, ada janji dengan teman yang harus ditepati."
"Baiklah," ujar gadis itu muram merasakan panas di tubuh, tapi dingin di kedua kakinya.
"Tidurlah dulu ya? Tunggu Mama pulang."
Sebuah kecupan mendarat di dahi Susan, tapi tak mampu mengurangi kesedihan hati gadis itu. Ibu yang dia inginkan untuk berada di sisinya saat sakit pun, berlalu meninggalkannya seolah menemui teman lebih penting dari sakit anak perempuannya.
Susan memejamkan mata, menuruti ibunya untuk beristirahat. Tak lama dia pun terlelap.
Aku akan pulang awal, Susan. Namun, menemui Leo juga kewajibanku, karena dia yang bisa memberiku kebahagiaan. Papa tirimu tidak lagi bisa memuaskanku, usianya pun jauh dengan Leo. Apalagi sekarang aku tidak betah di sini, kemarin dia mengataiku boros hanya karena minta kalung berlian padanya yang seharga dua ratus juta saja. Huh, uangnya kan banyak?
Jiwa sosialita wania itu high class, hingga ikut arisan yang jutaan rupiah pun dia menyanggupi. Persaingan harta dengan kawan-kawannya pun menjadi alasannya meminta kalung itu. Diawali oleh salah satu temannya yang membeli cincin berlian seharga seratus juta.
Wanita itu melenggang keluar memasuki mobilnya dan melaju ke jalanan.
Pak Anton menggelengkan kepala melihat istrinya. Dia menengok ke kamar Susan, melihatnya tertidur pulas, lalu menyentuh dahi Susan yang panas.
Panas tinggi anak ini, sebaiknya aku ambilkan kompres.
Pria paruh baya itu bergegas menuju ke dapur menemui Hana.
"Hana, tolong kamu kompres dahi Susan, sepertinya dia panas tinggi. Jangan lupa cek suhu tubuhnya ya? Aku akan panggilkan dokter."
"Baik, Tuan Anton."
Wanita gesit itu segera mengambil selembar kain dan air hangat untuk mengompres Susan.
"Maaf Nona, saya kompres dulu."
Pandangan Susan kabur saat Hana membangunkannya, dia menurut saja. Untuk duduk pun, dia merasa lemas.
"Nona, suhu tubuhnya tinggi. Dokter akan datang. Nona sudah makan?"
Susan menggeleng. Hana segera membuatkan semangkuk cereal lembek untuknya agar mudah ditelan. Wanita itu menyuapi Susan dengan pelan.
"Nona, dokter telah datang. Saya permisi dulu."
"Hana, temani aku," rengek Susan.
"Oh, baiklah Nona."
Dokter pribadi keluarga telah datang, dia memeriksa Susan, "Nona Susan, saya ambil sample darahnya untuk saya cek laborat ya?"
Susan mengangguk lemah. Dia pasrah pada dokter itu asalkan dia sembuh. Begitulah orang sakit. Gadis itu meringis saat darahnya diambil oleh dokter. "Maaf, Nona. Nanti kami kirimkan hasilnya. Sekarang saya beri penurun demam ya, minum empat jam sekali jika panas tidak juga turun."
Susan kembali hanya mengangguk. Hana berdiri di sampingnya sambil mendengarkan apa kata dokter sampai dia berpamitan untuk kembali ke klinik.
"Nona Susan, diminum obatnya," ujar Hana. Sebenarnya dia iba pada gadis ini. Dengan mudahnya Susan meminum obat itu.
"Sebaiknya Nona istirahat dulu setelah minum obat. Semoga membaik."
"Terima kasih, Hana."
Hana membungkuk lalu memohon diri kembali ke dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Johan Samoedra
serba salah jadi susan
2022-03-07
1
Nisaaayu
Malah dihitung lagi 😭
2022-02-18
0
Min Asih
Mama nya susan, gak punya hati.
2022-01-13
0