"Kalau cuma segini maka nggak akan cukup, Wa. Sampai kapan hutang ibu akan lunas?" Suara Mila bergema di telinga Najwa.
Tak terasa air mata menetes di pipi Najwa. Ia sungguh merasa sakit hati pada ibunya. Mengapa ibunya masih tidak bisa bersyukur dengan semua yang telah Najwa berikan. Padahal, Najwa sudah berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengambil banyak dari sisa gaji yang ia kirimkan untuk ibunya. Ternyata semua itu masih belum membuat ibunya merasa puas.
"Maaf, Bu. Gaji Najwa sudah hampir 90 persen aku kirimkan pada ibu. Apa itu masih kurang?" tanya Najwa sambil menyeka air matanya.
"Tentu saja. Hutang ibu itu banyak. Penyebab hutang ibu itu kamu. Seandainya saja kamu tidak sekolah sampai SMA pasti hutang Ibu tidak sebanyak ini. Jadi kalau sekarang kamu bekerja dan ibu meminta gaji kamu itu hal yang wajar," tukas ibunya masih dengan nada ketus.
Seandainya saja, Najwa tidak ingat perkataan Ibrahim, dia pasti sudah mematikan telepon. Kalau Najwa mau dia bisa saja mengganti nomor ponselnya dengan yang baru. Lalu, Iya tidak perlu lagi mengirimkan uang untuk ibunya. Toh, ibunya juga tidak akan tahu di mana tempatnya bekerja.
Lalu, masalah rumah peninggalan ayahnya dulu, Najwa akan berusaha mengikhlaskannya. Namun, Najwa ingat, seburuk apapun perlakuan ibunya, Najwa harus tetap menghormati ibunya dengan sebaik mungkin.
"Lalu, aku harus bagaimana, Bu?"
"Pindah saja dari tempat itu. Cari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar. Ibu butuh banyak uang. Atau cari pekerjaan tambahan paruh waktu. Pokoknya Ibu mau kamu mengirim uang dua kali lipat dari bulan ini."
Najwa saat itu sedang berdiri sampai terduduk lemas di lantai. Ia tak percaya dengan apa yang ibunya katakan. Dua kali lipat dari uang yang Najwa kirimkan itu sangat banyak.
Sebenarnya Najwa bisa memenuhi permintaan ibunya jika ia tetap menulis dan hasil dari novel itu, ia satukan dengan gaji dari butik. Tapi itu sama saja dengan Najwa memutuskan untuk berhenti kuliah karena Najwa sudah berniat bahwa yang dikirimkan untuk ibunya adalah uang gaji bekerja di butik dan uang dari hasil menulis novel akan ia gunakan untuk kuliah.
"Apa? Dua kali lipat? Itu tidak mungkin, Bu. Kalaupun Najwa bisa mencari pekerjaan tambahan, bayarannya juga tidak akan sampai sebanyak itu." Najwa mulai terisak. Ia tak peduli jika ibunya mendengar suara tangisan itu.
"Aku tidak mau tahu, Najwa. Pokoknya aku mau kamu mengirim uang yang banyak. Minimal 2 kali lipat. Kalau kamu tidak bisa melakukan itu maka rumah peninggalan ayahmu akan aku jual."
Telepon lalu dimatikan oleh Mila. Najwa hanya bisa pasrah. Ia merasa ragu, bisa memenuhi permintaan ibunya itu.
"Najwa, kamu kenapa? Kok menangis sampai seperti itu?" Rasya yang baru saja pulang kuliah langsung memegang bahu Najwa dan membantunya berdiri.
"Ibuku, Sya. Dia memintaku untuk mengirim uang dua kali lipat dari yang kukirimkan bulan ini," ucap Najwa. Ia tak mampu lagi menahan perasaan sakit di hatinya.
"Apa? Bukannya gajimu hampir 90% dikirimkan pada ibumu? Mengapa ia menuntut begitu banyak darimu?" Wajah Rasya terlihat kaget.
"Iya, Sya. Ibuku mengancam akan menjual rumah peninggalan ayah jika aku tidak bisa memenuhi keinginannya." Najwa menjawab sambil tetap menangis.
"Ibumu keterlaluan, Wa. Kalau aku jadi kamu, aku akan menebus rumah itu suatu hari nanti. Lalu, aku takkan pernah mengirimkan uang lagi pada ibuku."
Najwa menggeleng pelan. Ia tahu,ia bisa melakukan itu dengan mudah. Tapi, nasihat Ibrahim masih tetap terngiang di telinganya.
"Tidak, Sya. Kemarin aku ikut kajian yang membahas tentang ini. Tentang bagaimana besarnya hak ibu yang ada pada kita."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Rasya dengan wajah penuh rasa iba pada Najwa.
"Aku akan menulis novel lagi. Semoga, novel Itu aka sama lakunya dengan novel yang sekarang." Tiba tiba tercetus ide itu di kepala Najwa.
"Apa kau bisa mengatur waktumu? Saat siang hari kau harus kuliah. Lalu, saat malam hari kau harus bekerja di butik. Kapan kau punya waktu untuk menulis?"
Najwa terdiam. Ia juga tahu akan terkendala masalah waktu, tapi jika ingin cita citanya tercapai Najwa harus berusaha lebih keras.
"Aku akan menulis di waktu senggang. Juga saat kuliah memasuki waktu istirahat. Ini setelah ini aku akan lebih sering berada di perpustakaan. Tempat itu adalah tempat yang paling nyaman untuk mencari ide menulis."
Rasya memeluk Najwa. Ia sungguh salut pada sahabatnya yang satu itu. Walaupun sikap ibunya buruk, Najwa tetap menghormatinya dengan sepenuh hati.
"Aku akan mendukungmu, Najwa. Jika ada waktu luang aku akan membantu menulis."
Najwa melepas pelukan dan menatap Rasya dengan tak percaya. "Benarkah? Tapi tunggu dulu! Bukannya kau tak suka menulis? Dan lebih suka membaca?"
Rasya tersenyum. "Aku memang tidak suka menulis, tapi bukan berarti aku tidak bisa kan? Saat aku mendengar ceritamu secara keseluruhan, Aku ingin sekali membantumu. Tapi, aku belum menemukan hal apa yang bisa aku bantu. Karena, kalau masalah ekonomi, akupun sama sama masih meminta orang tua."
Najwa memandang Rasya dengan penuh haru. Rasya memang bukan anak yang memakai gamis dan jilbab syar'i. Tapi, ia adalah teman yang baik dan perhatian.
"Terima kasih banyak ya, Sya. Aku sangat terharu," ucap Najwa sambil memeluk Rasya.
"Iya, Wa. Sama sama. Nanti tinggal kamu siapkan outline novel kamu. Aku akan membantumu sebisa mungkin," ucap Rasya dengan sungguh sungguh.
Najwa mengangguk. Ia kemudian bersiap siap untuk kuliah. Setelah selesai ia segera bersiap. Rencananya, Najwa akan jalan kaki menuju ke kampus.
Namun, baru saja ia sampai di depan mess, sebuah mobil warna hitam mendadak berhenti di depannya. Najwa sempat agak kaget dan takut karena ia merasa tidak memesan taksi online. Ia juga tak mengenali mobil itu.
"Najwa, bareng sama aku yuk!" Wajah Zahra yang muncul dari kaca kursi penumpang membuat Najwa lega.
"Zahra, kamu bikin aku kaget saja. Aku kira siapa," ucap Najwa sambil tersenyum malu. Menyadari pikiran buruk yang melintas di kepalanya.
"Kamu mungkin nggak begitu paham sama mobil Ibrahim. Kemarin kan pas bareng waktunya malam hari. Sudahlah! Naik yuk!"
Najwa merasa tak enak hati jika menolak Zahra. Ia kemudian membuka pintu belakang dan duduk bersebelahan dengan Zahra.
Di kursi depan, Adam terlihat fokus pada kemudi. Najwa merasa tak enak hati untuk menyapa Ibrahim. Akhirnya mobil mulai melaju dan Najwa tetap memilih untuk diam.
Namun, tiba tiba, Zahra berkata dengan keras yang mampu membuat pipi Najwa memerah.
"Ibrahim sengaja mengajak aku pergi bareng biar bisa jemput kamu loh, Zahra."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Azka Dias Pratama
y kok lma skli up nya ya??
2023-07-10
0
Sumayyah Humairah
dlanjut
2023-05-23
1
Azka Dias Pratama
kpn nich thor update nya???
penasaran nich ma crtanya...
2023-04-03
1