Teman Baru

"Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Sampai sampai, suatu ketika saat Nabi ditanya oleh seorang sahabat. Manakah yang harus dimuliakan antara ayah dan ibu. Nabi menjawab 'Ibumu'. Sahabat itu bertanya lagi, lalu siapa? Nabi masih menjawab 'Ibumu'. Pertanyaan itu diulang tiga kali oleh sahabat tersebut dan Nabi Muhammad menjawab dengan jawaban yang sama. Baru setelah itu, nabi menjawab 'Ayahmu'."

Najwa mendengarkan dengan penuh. Tanpa terasa, air matanya meleleh. Ia tak memang baru tahu tentang hal ini. Dan bagi Najwa, sungguh apa yang Ibrahim ucapkan begitu melukai hatinya.

Ibunya adalah orang yang harus Najwa muliakan. Tapi, ibunya jugalah yang terus aja melukai hatinya dengan begitu dalam. Seolah, ibunya tak lagi punya rasa kasih sayang untuk Najwa. Apalagi setelah ibunya menikah dengan Andre, Najwa seolah tak lagi diinginkan keberadaannya.

"Najwa, kamu menangis?" bisik Zahra yang saat itu sedang duduk di samping Najwa. Mereka ada di barisan kedua dari depan.

"Maaf!" Hanya itu yang Najwa ucapkan.

Ibrahim masih terus berbicara tentang keutamaan wanita dalam Islam. Tapi, saat ini konsentrasi Najwa sudah hilang. Ia sedang sibuk memikirkan ibunya.

Sampai acara selesai, Najwa tak lagi bisa menegakkan kepala. Ia sibuk menunduk sambil menahan air mata yang tak bisa ia cegah dan terus saja mengalir. Zahra menepuk punggung Najwa untuk menenangkan.

Zahra sendiri tak tahu apa yang sebenarnya sedang ada di pikiran Najwa. Karena itu, ia hanya bisa melakukan hal itu untuk menunjukkan perhatiannya pada Najwa.

"Najwa, kajiannya sudah selesai? Apa kau ingin bertanya sesuatu pada ustadz Ibrahim? Mungkin, ia bisa menjawab semua keluh kesahmu," ucap Zahra masih dalam nada berbisik.

Najwa bimbang. Apa mungkin ia harus bertanya tentang ibunya pada orang asing yang belum ia kenal sama sekali. Namun, sepertinya hanya dia yang akan bisa membuat hati tenang.

Najwa akhirnya memilih menggelengkan kepala. Ia merasa ragu untuk melakukan itu. Rasa malu seolah mengalahkan rasa ingin tahu yang terus merajai hatinya.

"Najwa, kamu kok malah melamun?" tanya Zahra saat menyadari bahwa hanya terus diam menunduk.

"Apa semua orang sudah pergi?" tanya Najwa saat menyadari lingkungan sekitarnya terdengar sepi. Ia gak berani mengangkat wajah karena pasti hidungnya terlihat merah dan wajahnya sembab karena menangis.

"Iya. Tinggal kita dan ustadz Ibrahim yang sekarang sedang mengobrol dengan takmir masjid."

Bukannya berani mengangkat kepala, Najwa justru semakin menunduk. Ia berharap ustadz muda yang wajahnya blasteran antara timur tengah dan Jawa itu bisa segera pergi dari sana. Sehingga, Najwa bisa segera pergi tanpa harus terlihat oleh Ibrahim.

"Zahra, sepertinya teman kamu ini orang baru ya? Aku seperti baru melihatnya hari ini," sapa sebuah suara bertipe bas yang membuat Najwa kaget bukan main.

Najwa tahu bahwa yang dibicarakan adalah dirinya. Dan tentu saja ini membuat Najwa semakin merasa malu.

"Iya, Pak Ustadz. Dia mahasiswa baru dan kebetulan juga sedang ingin berhijrah," jawab Zahra sambil menyenggol bahu Najwa.

"Jangan panggil Ustadz, Zahra. Sama teman sendiri juga." Suara Ibrahim kini terdengar lebih dekat. Sepertinya, ia merubah posisi duduk menjadi berhadapan dengan Najwa.

"Biar kelihatan keren, Him. Apalagi ada anak baru." Zahra tersenyum simpul.

"Najwa, Ibrahim ini teman satu fakultas denganku. Jadi, kalau kamu ingin bertanya sesuatu padanya santai saja. Dia anaknya enak kok diajak ngobrol. Nggak kolot atau kaku," bisik Zahra lagi.

Najwa segera menghapus sisa air matanya. Ia berusaha untuk tidak terlihat menangis lagi.

"Apa ada yang ingin kamu tanyakan, saudari? Maaf, namanya siapa, Zahra?" Ibrahim menoleh ke arah Zahra.

"Namanya Najwa, Him. Sepertinya, ia memang ingin bertanya sesuatu padamu. Tapi, mungkin terkendala rasa malu."

Wajah Najwa memerah. Ia tak menyangka kalau ternyata Zahra bisa bicara seperti itu. Padahal, ia kira Zahra adalah sosok yang pendiam. Ternyata, ia banyak bicara.

"Najwa, sepertinya kau sedang sangat bersedih. Mungkin lebih baik jika kamu berwudhu terlebih dahulu! Silahkan!"

Najwa tetap tak mau mendongakkan kepalanya. Ia merasa sangat malu jika Ibrahim sampai melihatnya dalam keadaan seperti itu.

"Him, mungkin lebih baik kamu pergi dulu. Najwa pasti malu karena wajahnya sedang terlihat sedih seperti itu," kata Zahra.

Ibrahim segera pergi dari hadapan Najwa. Ia juga mengambil air wudhu. Mengetahui bahwa Ibrahim sudah pergi Zahra segera menuruti perkataan ustaz muda itu untuk pergi mengambil air wudhu. Kini hatinya terasa lebih tenang. Wajahnya pun juga tidak terlalu sembab lagi.

Setelah itu, Zahra kembali ke tempat ia duduk semula. Sekarang sisa air matanya tidak begitu kentara lagi. Walaupun hidungnya masih sedikit merah dan matanya masih sedikit bengkak.

"Bagaimana? Sekarang kamu sudah lebih baik kan, Najwa?" tanya Zahra menyadari wajah sahabatnya kini terlihat lebih tenang. Najwa hanya mengangguk.

Tak lama kemudian, Ibrahim juga sudah kembali ke tempatnya semula. Wajahnya tampak bersinar. Ciri khas orang yang sering terkena air wudhu.

"Najwa, aku tahu tadi saat aku berceramah kau terus saja menangis. Apa kau punya masalah?" tanya Ibrahim setelah keheningan menyelimuti ruangan itu beberapa saat.

Zahra yang tahu akan keraguan Najwa segera memegang bahu temannya itu. Ia ingin meyakinkan pada Najwa bahwa Ibrahim adalah sosok yang bisa dipercaya dan bisa memecahkan masalahnya.

"Sebelummya, maafkan saya Ustadz. Saya tahu ini mungkin bisa jadi membuka aib saya. Tapi, saya harus menceritakan semua ini agar saya mendapat jawaban dari Ustadz."

Ibrahim tersenyum lembut. "Berceritalah! Dalam Islam, hal yang seperti ini diperbolehkan. Karena, semua itu tergantung niat. Niat anda adalah untuk mencari solusi. Jadi, jangan ragu karena aku bukan orang yang suka membeberkan rahasia orang lain."

Najwa tersenyum senang. Ia kemudian mulai menceritakan apa yang mengganjal hatinya.

"Saya adalah anak tunggal. Kedua orang tua saya sudah lama bercerai. Saya tidak tahu persis apa masalahnya, tapi setelah itu Ayah saya meninggal dunia. Kemudian ibu saya menikah lagi dengan mantan kekasihnya. Sejak saat itu sifat ibu saya berubah total. Ia seolah tak peduli lagi pada saya. Bagi ibu saya, kehadiran saya tak lagi dianggap sebagai seorang anak. Bagi ibu, saya hanya sebuah mesin pencetak uang."

Saat mengatakan itu, mata Najwa suda kembali mengalirkan air mata. Ia tak bisa menahan air matanya lagi. Bagiamana pun, ia sedang menceritakan orang yang melahirkannya.

"Tenang! Minumlah dulu. Biar kamu bisa merasa lebih baik." Ibrahim menyodorkan segelas air mineral pada Najwa.

Najwa menurut. Ia segera minum air putih yang Ibrahim sodorkan. Entah kenapa, Najwa merasa bahwa Ibrahim memang orang yang tepat untuk menceritakan semuanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!