Tekanan Hidup

"Apa, Bu? Jangan! Jangan jual rumah itu. Hanya itu yang tersisa dari ayah." Najwa sungguh merasa sakit hati mendengar perkataan ibunya.

"Kalau kau tak mau aku menjual rumah itu, kau harus bisa bekerja lebih keras lagi. Atau kalau perlu pindah tempat kerja saja. Gaji di sana sedikit, Najwa. Ini tak kan cukup untuk membayar hutang hutang ibu," ucap ibunya dengan nada setengah berteriak.

Najwa terdiam. Ia tak mau semudah itu pindah pekerjaan. Ada banyak alasan Najwa ingin mempertahankan pekerjaannya di sana. Menurut Najwa, gaji di sana sudah lumayan besar. Lalu, ia juga bisa dekat dengan tempat yang rencananya ia akan kuliah di sana. Belum lagi, ia masih ingin bertemu Zahra.

Najwa ingin mendalami ilmu agama lebih banyak lagi. Ia ingin berhijrah. Jika ia pindah, ia belum tentu bisa menemukan orang orang baik seperti mereka.

"Tidak, Bu. Aku tak mau pindah. Aku sudah kadung nyaman berada di sini."

"Tapi gajimu sedikit, Wa. Ini tak kan bisa membayar hutang dengan cepat. Ibu sudah tak sabar," gerutu Muka dari seberang. Ia sungguh mengharapkan uang yang lebih banyak dari Najwa.

"Sabar, Bu. Najwa akan berusaha untuk mencari pekerjaan tambahan. Tapi, mungkin tidak dalam waktu dekat ini. Mencari pekerjaan tidak semudah membalikkan telapak tangan."

"Ya, sudah kalau begitu. Cari pekerjaan tambahan dengan bayaran yang besar. Kalau sudah, kabari ibu. Biar ibu bisa tenang."

"Baik, Bu."

Telepon laku dimatikan oleh Mila. Najwa hanya bisa menarik nafas dalam dalam. Ia hanya bisa meratapi nasib. Bagaimana bisa seorang ibu seolah kehilangan kasih sayang pada anaknya.

Najwa merasa bahwa ia hanya dijadikan mesin pencari uang. Tak lebih. Bahkan mungkin, jika Najwa akhirnya tak pulang, ibunya tak kan bersedih ataupun mencarinya. Tak terasa air mata Najwa menangis tanpa bisa ia tahan.

"Najwa, kamu kenapa?" tanya Rasya yang baru saja akan keluar dari kamar.

"Nggak papa kok. Aku cuma kangen rumah." Najwa terpaksa berbohong.

"Ayo, masuk dulu!"

Najwa berjalan perlahan masuk dengan Rasya yang menggandengnya. Gadis dengan rambut sebahu itu begitu baik dan perhatian pada Najwa. Rasya jugalah alasan Najwa tak mau pindah tempat kerja.

"Jangan bohong! Tangisan rindu dan tangisan terluka itu berbeda, Wa. Pasti ini karena ibumu ya!"

Najwa lupa jika ia sudah menuangkan kisah hidupnya dalam novel. Dan Rasya yang tahu bahwa itu adalah kisah nyata sudah bisa menyimpulkan hal lain.

"Sya, apa kasih sayang seorang ibu itu hanya sebatas uang?" tanya Najwa pada Rasya yang sekarang duduk di sampingnya.

"Nggak mungkin, Wa. Seorang ibu pasti akan mencintai dan menyayangi anaknya dengan sepenuh hati."

"Tapi, ibuku berbeda, Sya. Ia hanya menuntut uang dariku. Tak lebih. Baginya, aku seolah tak ada artinya selain mesin pencari uang," ucap Najwa sambil terisak.

"Benarkah?" tanya Rasya dengan tak percaya.

"Benar, Sya. Aku tak aka menceritakan ini dalam novelku. Bagaimanapun dia adalah ibuku. Tapi, maukah kau jadi tempatku menumpahkan keluh kesah? Aku butuh orang untuk meluapkan rasa sakit ini, Sya."

Rasya langsung memeluk Najwa dengan erat. Ia seolah bisa merasakan luka yang Najwa rasakan.

"Pasti, Wa. Ceritakan saja apa yang ingin kau luapkan. Jangan pendam apapun!"

"Terima kasih, Sya."

"Jangan berterima kasih, Wa. Inilah gunanya tenan."

Mereka berpelukan cukup lama. Najwa kemudian pamit untuk melakukan ibadah sholat Maghrib. Sejak bertemu dengan Zahra, Najwa mulai mendandani sholatnya. Ia ingin hidup lebih baik lagi.

Najwa kemudian sholat Maghrib. Setelah itu, ia menangis sesenggukan cukup lama. Najwa menyadari bahwa ia sudah melakukan banyak dosa. Termasuk meninggalkan sholat wajib, karena itu, Najwa mulai mengqodho sholatnya. Tiap sholat Maghrib dan yang lainnya, Najwa akan melakukan tiga kali sholat. Satu yang saat itu, dan 2 sholat untuk mengqodho.

Najwa juga mendoakan ibunya agar diberi kesadaran. Najwa tetap akan menyayangi ibunya dengan sepenuh hati walau ibunya seolah tak punya rasa itu.

Setelah Najwa sholat Isya, ia segera tidur. Najwa ingin segera melepas bebannya di alam mimpi.

Keesokan harinya.

Najwa bersiap siap untuk berangkat ke universitas terbuka bersama Rasya. Mulai hari ini, Najwa ingin merubah penampilan. Ia sudah memutuskan akan memakai hijab. Kebetulan butik juga menjual gamis. Najwa membeli beberapa dengan harga diskon dari Bu Lita.

"Najwa, kamu cantik sekali!"

Rasya yang melihat penampilan Najwa tampak kagum. Terlihat lebih cantik dan anggun.

"Biasa aja. Mulai hari ini, aku ingin memakai hijab, Sya."

Rasya tersenyum. Walaupun ia sendiri belum mengenakan hijab, tapi Rasya senang melihat Najwa mengenakan hijab.

"Aku ikut seneng, Wa. Walaupun aku belum terketuk hatinya untuk mengenakan hijab juga. Semoga Istiqomah ya!"

"Makasih ya, Sya."

"Iya, sama sama. Berangkat Yuk! Ini sudah siang."

"Oke!"

Najwa dan Rasya kemudian pergi mengunakan motor milik Rasya. Hati Najwa berdebar, ia merasa sangat senang sekaligus takut. Baginya, ini adalah hal di luar dugaan.

Tak lama kemudian, Najwa sudah sampai di universitas terbuka Harapan Nusantara. Tempatnya lumayan besar dan luas. Tak banyak mahasiswa yang ke sana kemari karena memang rata rata mereka mengambil jam sore atau malam.

Najwa segera mendaftar ditemani oleh Rasya. Ia beruntung masih bisa mendaftar hari ini. Karena hari ini adalah hari terakhir pendaftaran. Najwa juga melunasi biaya pendaftaran. Masalah pembelian modul, buku dan lain lain, Najwa akan membelinya hari ini juga.

"Rasya, terima kasih banyak ya! Mungkin, kalau nggak ada kamu, aku nggak akan bisa lagi sampai ke tahap ini," ucap Najwa dengan penuh haru.

"Nggak usah seperti itu, Wa. Aku tak menolong apapun. Bagiku, kamulah yang sudah mau berjuang dengan sepenuh hati. Kamu sampai rela begadang tiap malam untuk menulis novel."

Najwa tersenyum. Rasya kemudian mengajak Najwa untuk berkeliling. Ia ingin Najwa mengenal tempat itu terlebih dahulu.

Saat melihat perpustakaan, Najwa langsung tertarik. Ia pasti akan sering berkunjung ke sana.

"Najwa, apa kau tidak ingin menghubungi Adam dan menceritakan semua ini? Ia pasti akan sangat senang saat tahu bahwa kau bisa kuliah," ucap Rasya saat mereka beristirahat di taman kampus.

"Nggak, Sya. Aku tak ingin menghubungi Adam. Biarlah ia tahu semuanya lewat novel yang aku buat."

Rasya tersenyum. Ia merasa kisah Najwa sungguh sangat indah. Mencintai dalam diam. Sungguh bukanlah hal yang mudah.

"Kamu nggak takut kalau Adam akan direbut oleh wanita lain?"

"Kamu sendiri yang bilang jodoh tak akan ke mana kan? Jika memang Adam adalah jodohku, maka kami akan bersatu. Jika bukan, bagaimanapun aku mengejarnya, kita pasti akan terpisah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!