Najwa berlari ke taman belakang sekolah. Air mata yang sedari tadi ia bendung tumpah tak tertahankan. Ia merasa begitu sakit karena harus melewatkan kesempatan emas ini. Bu Nisa sudah jelas ingin membiayai semua biaya kuliah Najwa dan saat itu, ia merasa sangat senang. Seolah cita cita besar yang sudah ia rangkai terpampang di depan mata.
Harapan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi terbuka lebar. Sayangnya, itu hanya akan jadi mimpi yang tak kan pernah terwujud di dunia nyata.
Najwa sungguh tak mengerti dengan dengan perkataan ibunya. Di satu sisi, ibunya tak membolehkan kuliah karena harus mencari uang, tapi di sisi lain, ibunya justru mengatakan bahwa ia akan sangat malu jika Najwa sampai dikuliahkan orang lain. Bukankah itu sungguh aneh?
"Najwa, tunggu!" teriak Adam sambil mengejar Najwa yang berlari tanpa menoleh ke sana kemari.
Najwa mendengarnya, tapi ia merasa malu saat harus bertemu Adam dalam keadaan menangis. Bagi Najwa, tangisan adalah sebuah bentuk sisi kelemahan, tapi ia benar benar rapuh saat ini. Dan Najwa tak mau Adam melihat itu.
Akhirnya, Najwa bisa tersusul oleh Adam. Ia langsung menarik Najwa ke pelukannya. Adam sungguh tak tahan harus melihat Najwa menangis seperti ini. Najwa yang Adam lihat adalah gadis yang tomboy, kuat dan selalu tersenyum.
Namun, saat ini, Najwa benar-benar terlihat ringkih. Adam ingin sekali menghentikan tangis gadis yang kini masih sesenggukan di dalam pelukannya itu. Tapi, ia tahu, ada masanya seorang gadis terkuatpun harus meluapkan kesedihannya lewat air mata.
"Terima kasih, Dam!" Najwa berusaha menghentikan tangisnya setelah beberapa saat. Ia mengusap matanya beberapa kali untuk menghilangkan sisa air mata.
"Tak perlu berterimakasih, Wa. Kamu adalah sahabatku. Melihat mu menangis sama saja seperti mengulik luka sendiri. Bahagiamu bahagiaku, Wa. Sedihmu juga akan menjadi sedihku."
"Terima kasih, Dam!"
"Sudah aku bilang nggak perlu mengucapkan terimakasih. Sekarang, kita duduk di sana aja yuk, Wa!"
Najwa menurut. Sesekali mereka berpapasan dengan murid lain. Mereka juga heran saat melihat wajah Najwa yang sembab, tapi mereka tak berani bertanya.
Adam mengajak Najwa ke kursi yang ada di taman belakang sekolah. Ia sengaja mengajak Najwa ke sana agar lebih leluasa untuk mengungkapkan perasaannya karena taman ini lebih sepi.
"Katakan padaku, apa yang bisa aku bangun agar kesedihanmu berkurang?" tanya Adam. Ia sungguh sangat tidak tega melihat Naajaa terpuruk seperti ini. Namun, tak ada jawaban dari bibir Najwa.
"Sudahlah, Dam! Aku baik baik saja. Lihatlah! Aku sudah tidak menangis lagi!"
Najwa tersenyum dengan dipaksakan. Air matanya sudah ia hapus sampai benar benar bersih.
"Maaf ya, Wa. Tadi, aku menguping pembicaraanmu dengan Bu Nisa. Aku heran kenapa ibumu tidak memperbolehkanmu di kuliahkan oleh Bu Nisa? Jika memang itu masalah biaya harusnya ibumu senang kan kau akan dibiayai oleh orang lain?" tanya Adam yang tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Ibuku ingin aku bekerja, Dam." Najwa menjawab dengan suara serak. Hatinya sungguh sakit saat mengucapkan kata-kata itu.
"Apa? Bukankah ibumu sudah punya suami? Mengapa ia masih menginginkanmu bekerja? Itu egois, Najwa. Harusnya sebagai seorang ibu yang membiarkanmu mengenyam pendidikan setinggi mungkin agar, agar kelak jadi orang yang beruntung." Adam tak bisa menahan emosinya.
"Aku juga tak tahu, Dam. Tapi bagi ibu, kuliah akan menyia-nyiakan waktu. Mungkin karena Ibu berpendapat bahwa orang yang kuliah pun tidak selalu bisa mendapat pekerjaan. Jadi apanya Aku nanya kuliah kalau sampai seperti itu?"
Adam menggelengkan kepala. Baginya Itu adalah sebuah pikiran yang kolot. Menganggap bahwa pendidikan hanyalah sarana penunjang mencari pekerjaan.
"Najwa, Lebih baik kau ikut aku ke luar negeri. Kita kuliah sama-sama di sana." Mata Adam berbinar saat mengucapkannya. Ia pasti sangat bahagia jika bisa kuliah bersama Najwa.
"Tidak, Dan. Walaupun Ibuku bukan orang di bawah rata-rata, tapi ia pasti tak akan mau mengeluarkan banyak biaya. Kuliah di sini saja ibuku enggan apalagi di luar negeri."
"Iya. Aku tahu karena itu aku ingin membantumu. Dengan kepandaian mu, kau pasti bisa mendapatkan beasiswa di sana. Sedangkan untuk kebutuhan keseharian semuanya akan aku tanggung." Ada berkata dengan sungguh-sungguh.
"Tidak, Dan. dapat aku tak mau merepotkanmu."
"Itu tidak merepotkanku, Wa. Justru aku senang jika bisa membantu mu."
Najwa terdiam. Jika saja ibunya membolehkan, ia tentu sangat senang bisa kuliah di luar negeri. Cita-citanya untuk menganyam pendidikan setinggi mungkin akan bisa terwujud. Sayangnya Najwa sudah yakin bahwa ibunya akan menolak dengan tegas.
"Tidak, Dam. Aku akan berusaha semampuku agar bisa kuliah. Keinginan itu tak akan hilang begitu saja. Aku akan berusaha entah bagaimana caranya."
Itu jugalah yang membuat Adam semakin kagum kepada Najwa. Pas itu tak pernah menyerah dan selalu bersemangat dalam segala hal.
"Najwa, aku pasti akan sangat merindukanmu. Walaupun kamu suka menyebalkan, aku tetap akan mengingatmu sebagai Najwa yang baik dan menyenangkan."
Najwa tersenyum. Saya suka merasa berat berpisah dengan Adam. Sejak sekolah dasar mereka sudah menjadi teman yakini saat duduk di bangku SMA pun mereka masih berteman. Sangat wajar jika keduanya merasakan perpisahan ini begitu berat.
"Aku juga akan merindukanmu, Dam. Bagaimanapun juga kamu sudah terlalu baik untukku selama ini. Aku juga mengingatmu sebagai orang yang selalu mentraktirku makan di kantin sekolah."
Adam pun tersenyum. Dengan Najwa adalah hal yang paling ia takutkan selama ini. Namun, Ia tahu hal ini memang harus terjadi. Ada yakin Najwa mereka pasti akan dipertemukan kembali.
"Adam, mungkin saatnya kita berpisah. Janji ya kamu benar-benar tidak akan melupakan aku!" Mata Najwa berkaca-kaca saat mengucapkan kata-kata itu. Ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Aku tak mungkin bisa melupakanmu, Najwa. Kok ada sahabat terbaikku."
"Nanti kalau kamu lihat bule disana, jangan jangan kamu langsung lupa sama kata katamu barusan," goda Najwa. Ia berusaha mencairkan suasana tiba-tiba menjadi mellow.
"Tidak, Wa. Di dunia ini hanya ada namamu di hatiku. Percayalah!"
"Ih, kamu kok malah jadi kaya lagi ngegombalin pacar orang."
Adam tertawa. "Iya, Wa. Sampai lupa kalau kamu bahkan tak pernah punya pacar." Adam membalas gurauan Najwa.
Mata Najwa melotot. Tapi kemudian ia tersenyum. Ia pasti akan sangat merindukan masa masa ini.
"Baiklah, Dam. Belajarlah dengan sungguh sungguh! Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Tak semua orang diberi seperti apa yang Maha kuasa berikan padamu."
"Iya, Wa. Aku pasti akan bersungguh sungguh. Jangan pernah lupakan aku ya, Wa! Nanti, jika aku kembali ke Indonesia, aku akan menemuinya."
"Aku tak kan melupakanmu, Dam. Sampai kapanpun."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments