Penagih Hutang

Najwa berjalan dengan gontai. Ia mencari angkutan yang akan membawanya pulang. Tadi, ia keukeuh menolak Adam saat akan memberinya tumpangan. Ternyata, hampir semua angkot penuh.

Najwa menunggu di pinggir jalan. Hari masih siang, tapi mendung membuat langit menjadi gelap. Najwa menengok ke kanan kiri. Ternyata hanya tinggal dia seorang yang ada di sana. Mungkin, Najwa bisa jalan kaki. Tapi, pasti akan sangat lama untuk sampai di rumah. Lagi pula hujan sudah mulai turun.

Bibir Najwa mengerucut. Ia mengacak acak rambutnya yang pendek.

"Kalau tahu begini, harusnya tadi aku tidak menolak tawaran Adam," ucap Najwa sambil mendengus kasar.

"Kau menyesal kan menolak tawaranku?" Suara Adam mengagetkan Najwa.

Cowok itu tiba-tiba sudah ada di belakangnya. Ia sengaja berjalan kaki mendekati Najwa dan mobilnya terparkir ada jauh supaya tidak diketahui oleh Najwa.

"Adam, sejak kapan di sana? Bagaimana aku bisa tak tahu kedatangan mu. Biasanya, kamu selalu heboh."

"Aku sudah sejak tadi di sini. Saat Kau murung karena tertinggal angkot yang sudah penuh. Bagaimana sekarang? Apa kau tidak mau aku antar juga?" tanya Adam sambio mengedipkan mata beberapa kali guna menggoda Najwa.

"Sebenarnya aku terpaksa, tapi tak apalah. Anggap saja ini kebaikanmu yang terakhir kali selama masa SMA." Najwa pura pura jual mahal.

"Jangan bilang terakhir kali, Najwa."

Najwa mengernyitkan dahi sambil berkata, "Terus, harus bilang gimana? Yang keseribu kali gitu?"

"Nggak gitu juga Najwa. Aku masih terus akan berbuat baik padamu, karena nanti aku pasti akan mencarimu kemanapun kau akan pergi."

Najwa tergagap. "Maksudku selama SMA dan jikapun kau menjawab bahwa kau akan mencariku, itu juga salah. Karena, kita tak akan pernah tahu apa kita masih bisa bertemu lagi setelah ini atau tidak."

Adam mengacak rambut Najwa. "Tentu saja kita akan bertemu. Karena, aku akan mencarimu sampai ke belahan bumi manapun."

"Adam, aku ...,"

"Sudah! Jangan bicara apa-apa lagi. Ayo kita pulang. Hujan sudah mulai turun."

Adam tak menunggu jawaban Najwa. Ia langsung menarik tangan dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil.

Perlahan, mobil mulai meninggalkan tempat itu diiringi hujan yang mulai turun semakin deras.

"Najwa, setelah ini, kau mau ke mana?" Adama mulai membuka percakapan setelah mereka terdiam beberapa saat.

"Seperti yang ibu inginkan, aku akan mencari kerja. Aku tak mungkin menolak keinginannya. Walaupun aku sebenarnya ingin kuliah, tapi keinginan ibu lebih dari segalanya."

Air mata Najwa sudah hampir kembali jatuh. Namun, Najwa menahannya dengan keras agar ia tak menangis di depan Adam lagi. Ia tak mau terlihat lemah di mata sahabatnya.

"Kamu mau kerja apa, Wa?" tanya Adam tanpa menoleh ke arah Najwa karena fokus pada kemudi. Biasanya, ia dijemput oleh sopir, tapi karena hari ini adalah hari kelulusan, maka Adam minta kepada orang tuanya untuk menyetir sendiri.

"Aku juga belum tahu. Biarlah takdir yang menuntunku ke jalan itu."

Najwa benar benar belum tahu mau kerja di mana. Ia sadar lulusan SMA. Di zaman sekarang pekerjaan untuk anak lulusan SMA tidak begitu menjanjikan. Tapi, Najwa juga tak bisa berbuat apa-apa. Ibunya mana orang yang mudah dibantah.

"Najwa, bolehkah aku meminta satu hal padamu?" ucap Adam dengan nada yang tiba tiba terdengar serius.

"Minta apa? Jangan minta uang ya! Saat ini aku belum bekerja dan belum punya banyak uang," ucap Najwa sambil terkekeh pelan.

"Najwa, aku hanya ingin agar kau tidak melupakanku sampai kapanpun apa kau sanggup, Najwa?"

Najwa terdiam. Ia tentu tidak akan melupakan Adam dengan mudah. Bagaimanapun, persahabatan mereka sudah berjalan sangat lama dan sangat baik. Walaupun ada satu hal yang sangat tidak Najwa suka dari Adam yaitu bahwa Adam adalah seorang Playboy.

"Aku pasti tidak akan melupakanmu, Dam."

Keduanya, kemudian terdiam dan larut dalam perasaan masing-masing. Sesekali Adam melirik ke arah Najwa yang lebih banyak menatap ke depan.

"Sudah, Dam! Cukup di sini saja! Jangan sampai rumah. Aku tidak mau Ibu punya pikiran yang macam-macam."

"Apa kau tidak akan memintaku mampir?" Adam berkata dengan nada agak kecewa.

"Maaf ya, Dam. Mungkin lain kali. Nggak apa kan?"

"Iya, Wa. Nggak apa. Aku mengerti kok."

Najwa kemudian turun dari mobil dan melambaikan tangan dengan ke arah Adam sampai mobil hilang di tikungan. Najwa kemudian berjalan dengan langkah gontai menuju ke rumah. Baginya berpisah dengan Adam juga bukan hal yang mudah. Mereka sudah bersama-sama sejak lama dan sekarang Adam akan pergi ke luar negeri. Tentu saja Najwa tidak akan bertemu dengan Adam dalam waktu yang sangat lama.

Lamunan Najwa buyar saat ia sampai di depan rumah dan menangkap suara keributan dari dalam rumah. Ada satu mobil dan dua sepeda motor asing di depan rumahnya.

"Kalau kamu nggak bisa bayar hutang, sekarang juga kamu harus pergi dari rumah ini!" Suara pria dengan nada kasar membuat Najwa bergegas masuk ke dalam rumah.

"Pak, tolong berikan waktu satu bulan lagi. Aku pasti akan membayar seluruh hutang-hutang itu." Mila memohon dengan tangan yang menangkap di depan dada.

Najwa melihat seorang pria memakai jas dan tampak perlente di dampingi dua orang preman berbadan kekar.

"Dua bulan lalu, kamu juga mengatakan hal itu, Mila. Apa kamu pikir, aku akan percaya begitu saja?" bentak pria perlente dengan tangan menuding ke arah Mila.

"Tapi, Pak. Kali ini aku tidak bohong. Anakku sudah lulus SMA. Dia akan bekerja keras dan uangnya akan aku gunakan untuk membayar hutang pada Anda. Jadi, kali ini tolong, percayalah!"

Tepat saat mengatakan itu, Najwa masuk ke dal rumah dan berdiri di samping ibunya.

"Ini ada apa, Bu?" tanya Mila yang masih belum paham dengan apa yang terjadi.

"Najwa, ibu punya hutang banyak sama Pak Anton. Tolong katakan padanya bahwa kau akan segera bekerja dan akan membayar hutang ibu. Kalau tidak, kita akan diusir dari rumah ini."

Mata Najwa terbelalak. Ia tak mungkin rela jika harus meninggalkan rumah peninggalan ayahnya. Banyak kenangan yang sudah Najwa ukir bersama sang ayah yang kini telah tiada.

"Tapi, Bu ...,"

"Apa kau mau rumah ini diambil oleh Pak Anton?" Mila memotong ucapan Najwa.

"Tentu saja tidak, Bu. Aku akan memperjuangkan rumah ini. Bagaimanapun caranya.

"Kalau begitu, kau harus bekerja, Najwa. Cari uang yang banyak agar bisa melunasi hutang pada Pak Anton!"

"Bagaimana, Mila? Apa kau hanya berbohong pada kami?" Pak Anton menatap Mila dan Najwa dengan tatapan sengit.

"Ayo, Najwa. Katakan pada Pak Anton bahwa kau akan bekerja dan melunasi hutang ibu padanya.

Najwa terdiam tapi kemudian ia berkata dengan nada lirih tapi penuh keyakinan,

"Aku akan bekerja dan melunasi hutang ibu pada Anda, Pak!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!