Adam akan berangkat besok ke Belanda. Ia sudah mempersiapkan semuanya sejak tadi pagi. Membeli perlengkapan dan keperluan selama di sana. Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Adam. Najwa.
Ya, Adam memang tak pernah bertemu lagi dengan Najwa sejak kelulusan sekolah. Ya terlalu sibuk mempersiapkan diri untuk kuliah lagi berkunjung ke rumah Najwa. Namun, hari ini saya tidak akan berangkat hatinya tiba-tiba merasa begitu rindu. Adam in sekali bertemu dengan Najwa sebelum ia pergi ke luar negeri.
"Adam, Apa kau sudah selesai bersiap-siap?" tanya Ranti, ibunya Adam.
"Sudah, Bu. Aku sudah selesai menyiapkan semuanya."
"Bagus. Sekarang kita makan dulu. Kamu belum makan siang kan? Ini sudah sore. Kamu harus jaga kesehatan dan tidak boleh jatuh sakit."
Adam menurut. Ia menuju ke meja makan bersama ibunya. Namun, pikiran Adam tak bisa fokus. Ranti yang melihat anaknya melamun mereka penasaran.
"Adam, apa kamu sedang memikirkan sesuatu? Dari tadi aku lihat makannya nggak fokus gitu?" tanya Ranti sambil mengangsurkan segelas air putih pada putranya.
"Nggak kok, Bu. Adam nggak lagi mikir apa apa," jawab Adam berbohong.
"Nggak usah bohong! Ibu yakin kamu sedang memikirkan sesuatu. Kalau kamu nggak mau cerita nggak apa kok."
Adam hanya terdiam. Ia melanjutkan makan dalam diam. Ayahnya masih berada di kantor, jadi Adam hanya berdua dengan ibunya. Mungkin, itu jugalah yang membuat Ranti peka terhadap perubahan wajah Adam. Karena ia lebih sering bersama sang ibu daripada sang ayah.
"Oh, ya. Bagaimana kabar temanmu yang ingin kuliah itu?"
Adam memang sering menceritakan Najwa.
"Maksud ibu, Najwa. Aku tidak pernah tahu kabarnya, Bu. Sibuk mengikuti les bahasa asing untuk persiapan kuliah di Belanda membuat aku tak pernah sempat mengunjunginya," ucap Adam dengan wajah yang lesu.
"Ibu tahu sekarang. Kau pasti merindukan Najwa kan?" Ranti langsung bisa menebak karena wajah Adam yang berubah cerah saat menceritakan Najwa.
"Ibu ini sok tahu." Adam merasa malu.
"Tentu saja ibu tahu. Lihat saja! Wajahmu sudah seperti kepiting rebus, Dam. Oh ya, bagaimana akhirnya Najwa? Apa dia jadi kuliah? Atau akan bekerja seperti kata ibunya?"
"Aku tidak tahu, Bu. Nomornya sudah lama tidak aktif."
"Coba saja kau kunjungi rumahnya sore ini untuk pamitan. Sekalian, ibu punya kabar gembira untukmu."
"Kabar gembira apa, Bu?" Adam meletakkan sendoknya. Rasa penasaran mengalahkan rasa lapar yang sempat menghampiri perutnya tadi.
"Jadi, ini baru saja mendapat kabar kalau universitas yang akan kami masuki membuka jalur beasiswa. Dan sepertinya, Najwa bisa masuk ke sana."
Mata Adam berbinar. Harapan untuk selalu dekat Najwa terbuka lebar. Adam yakin, Njawa akan sangat senang mendengar kabar ini. lagipula, jika nanti Najwa alasan tidak mau merepotkan, Adam bisa meyakinkan Najwa untuk mencari kerja part time. Adam juga akan mengusahakan pekerjaan di sana. Ayah Adam pasti mempunyai koneksi yang akan memudahkan Najwa untuk mencari pekerjaan.
"Benarkah, Bu? Aku akan segera ke rumah Najwa untuk memberitahukan hal ini."
Adam langsung berdiri untuk meninggalkan meja makan.
"Adam, habiskan dulu makananmu!"
"Adam sudah kenyang, Bu. Adam langsung ke rumah Najwa saja ya!"
Ranti hanya menggelengkan kepalanya. Ia semakin yakin bahwa kesedihan yang tergambar di wajah Adam adalah karena ia memikirkan Najwa.
Adam segera mengambil motor matic-nya dan menuju ke rumah Najwa. Ia sudah tak sabar memberi kabar bahagia ini pada Najwa. Sesekali Adam tersenyum membayangkan jika ia bisa mengunjungi Kanal Amsterdam, Desa Kinderdjik, Taman Bunga Keunkenhof dan tempat wisata indah lainnya di Belanda.
Adam semakin tak sabar untuk bertemu Najwa. Mungkin, ia bisa menyatakan cintanya pada Najwa jika nanti mereka sudah berada di sana.
Akhirnya, Adam sampai di rumah Najwa. Bangunan yang tidak begitu besar dan juga tak terlalu kecil tampak sepi dari luar. Seperti tak berpenghuni.
Adam memarkirkan motornya di samping kanan rumah. Ia segera turun dan mengetuk pintu dengan perlahan. Merasa tak ada jawaban, Adam menambah volume ketukan karena mengira empunya rumah tak mendengar.
Hati Adam mencelos. Ia takut jika ternyata harapan untuk bertemu Najwa hanya menjadi sebuah angan kosong.
"Mau cari siapa?" Suara seorang wanita di belakang Adam sempat membuat pria tampan itu kaget bukan kepalang.
"Bu Mila mengagetkan saya," jawab Adam sambil memegang dadanya.
"Oh, Adam. Aku kira siapa. Masuk!"
Mila memang sudah akrab Adam. Najwa sering bercerita tentang Adam. Mila juga sudah sangat sering bertemu dengan Adam saat ia berkunjung ke rumah.
"Iya, Tante. Terima kasih. Saya kita tidak ada orang, Tante. Kok sepi."
"Tante baru saja dari warung. Om Andre belum pulang bekerja."
Adam manggut manggut. " Najwa ada, Tante?"
Mila terdiam sesaat. Ia tidak tahu menahu tentang Adam yang menawarkan bantuan agar Najwa bisa kuliah. Jadi, Mila merasa tak perlu berbohong pada Adam.
"Dia sudah berangkat ke kota beberapa hari yang lalu untuk bekerja. Memangnya, Najwa nggak mengabari kamu?"
Adam terkejut. Najwa sama sekali tak memberi tahunya jika akan berangkat bekerja. Nomornya bahkan juga sudah tidak aktif. Entah apa yang ada di pikiran Najwa.
"Tidak, Tante. Saya bahkan baru tahu dari Tante barusan."
"Duduk, Dam!"
Adam menuruti Mila yang memintanya duduk di sofa depan rumah. Ia sendiri tidak berniat untuk membuatkan minum untuk Adam.
"Bekerja di mana, Tante? Apa Tante punya alamatnya?" tanya Adam dengan penuh harap.
Mila menatap sekilas. Najwa sebenarnya sudah mengirim alamat butik tempat ia bekerja, tapi Mila tak tertarik untuk membocorkan hal itu pada Adam. Mila takut jika akhirnya Adam hanya akan mengganggu pekerjaan Najwa. Ia butuh banyak uang untuk melunasi hutang-hutangnya.
"Tidak. Tante nggak tahu. Besok kalau Najwa sudah memberi kabar, Tante bakalan kasih tahu kamu."
Adam kecewa. Harapan untuk bertemu Najwa hancur sudah. Tapi, ia tak putus asa.
"Kalau nomor Najwa, Tante punya apa tidak?"
"Tidak. Memangnya kamu mau bicara apa sama Najwa. Biar aku sampaikan nanti pas Najwa telpon Tante."
Adam menimbang nimbang harus bicara pada Mila atau tidak. Tapi, ia berpikir siapa tahu Mila berubah pikiran kalau tahu informasi yang ia bawa. Sehingga, Najwa diizinkan untuk kuliah.
"Jadi begini, Tante. Saya mau mengajak Najwa untuk kuliah di luar negeri. Kebetulan, untuk tahun ini ada jalur beasiswa. Dengan kecerdasan Najwa, saya yakin dia bisa lolos tes."
Mata Mila langsung melotot. Ia sungguh sangat tidak senang mendengar perkataan Adam.
"Najwa tidak butuh kuliah. Aku tidak akan pernah mengizinkannya. Tugas Najwa sebagai seorang anak adalah membantu orang tua. Jadi, jangan pernah mengajak Najwa untuk kuliah. Tante nggak akan pernah mengizinkan hal itu terjadi."
Adam hanya bisa diam dan beranjak pulang dengan langkah gontai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments