"Bu, aku akan berangkat sekarang."
Najwa berpamitan pada Mila yang saat itu sedang bersama suami baru aja makan bersama Andre, suami barunya.
"Nggak ada yang ketinggalan kan?"tanya Mila tanpa menoleh ke arah Najwa. Ia sedang sibuk mengambilkan Andre sayuran dan juga lauk.
"Tidak, Bu. Semuanya sudah aku bawa." Najwa berdiri tak jauh dari ibunya. Ia tak tahu harus berkata apa pada ayah tirinya. Sejak Andre menikah dengan Mila, Najwa sangat jarang berbincang-bincang bahkan bisa dikatakan tidak pernah mengobrol dengannya. Jadi, Najwa memilih untuk diam.
"Kamu mau bekerja di mana, Wa?"
"Di butik, Bu." Najwa mendapatkan informasi tentang pekerjaan itu dari Rima. Ia dulu pernah bekerja di sana.
"Jangan sembarangan cari kerja ya!" kata Mila. Kali ini ia mendekati Najwa dan menepuk punggung putrinya dengan lembut. Najwa sedikit tersentuh karena ternyata ibunya perhatian kepada dirinya. Namun itu tak berlangsung lama karena setelah itu perkataan Mila membuat Najwa sadar bahwa ibunya tidak mengkhawatirkannya.
"Cari pekerjaan itu yang gajinya banyak. Kamu harus ingat kalau hutang ibu itu banyak. Kalau kamu tidak bisa melunasi hutang-hutang Ibu, maka rumah ini akan disita oleh pihak bank. Jadi kalau nanti akhirnya rumah ini hilang kamu enggak bisa nyalahin ibu karena kamu sendirilah yang bersalah," tutur Mila panjang lebar.
Hati Najwa mencelos. Ia tak menyangka jika ibunya sepicik itu, padahal menurut Najwa Ayah tirinya punya uang banyak. Tapi Ia juga tak tahu kenapa ayah tirinya itu tidak pernah memikirkan hutang ibunya.
" Iya, Bu. Aku akan berusaha," jawab Najwa dengan nada lemah. Ia sungguh kecewa pada ibunya.
"Pokoknya nanti setiap gajian, kamu kirim uang ke ibu ya! Sisakan sedikit untuk biaya hidupmu saja. Enggak usah nabung kalau kamu mau rumah ini tetap bisa kita tinggali." Mila menekankan betapa ia ingin mendapatkan banyak uang dari Najwa.
"Iya, Bu. Kalau begitu saya berangkat dulu ya, Bu!"
"Iya. Hati-hati!"
"Oh ya, Bu. Saya belum punya uang untuk bekal. Apa ibu bisa memberi saya sedikit uang? Saya tidak mungkin berangkat ke kota kalau tidak punya pegangan sama sekali." Najwa tiba tiba ingat kalau sakunya tak terisi uang sama sekali.
"Sebentar aku mintakan sama ayah ayahmu dulu ya!"
Mila kemudian mendekati Andre. "Mas itu Najwa mau minta uang buat bekal."
Andre sedikit melirik ke arah Mila lalu merogoh sakunya. Wajahnya menunjukkan rasa tidak suka. "Ini ada lima ratus ribu, tapi ingat! Ini bukan cuma-cuma Mila. Najwa harus mengembalikan uang ini kalau dia sudah gajian. Jadi uang ini aku anggap hutang."
Najwa sungguh merasa sakit hati. Bagaimana bisa seorang ayah uang kepada anaknya dan menganggap itu hutang. Tapi Najwa berpikir tak apa daripada ia tak membawa bekal sama sekali.
"Nih, Wa! Kamu sudah dengan sendiri kan ucapan ayahmu?" Mila menyerahkan lembaran biru berjumlah sepuluh lembar.
"Baik, Bu. Ya sudah kalau begitu. Aku berangkat dulu, Bu."
"Kamu mau naik apa, Wa?"
"Naik taksi, Bu. Aku sudah ditunggu di depan."
"Ya sudah! Hati-hati ya, Wa! Ibu nggak usah nganter kamu ke depan ya! Ibu mau menemani ayahmu makan dulu."
"Ya, Bu. Tidak apa-apa."
Najwa kemudian keluar sambil menyeret koper. Air matanya berlinang. Ia sungguh merasa sakit hati. Bagaimana seorang ayah bisa sebegitu kejam kepadanya. Mungkin, itu karena ia hanya ayah tiri.
Najwa segera masuk ke taksi dan meminta sopir untuk jalan. Taksi kemudian melaju membelah padatnya jalanan. Mata Najwa masih mengeluarkan sisa sisa air mata. Najwa hanya berharap ia segera bisa mendapatkan banyak uang untuk melunasi hutang ibunya. Ia jelas tidak mau jika sampai rumah itu terlempar ke pihak bank.
Najwa tetiba ingat pada Adam. Seandainya saja ia orang berada, Najwa tentu ia juga akan melanjutkan kuliah. Najwa menghembuskan nafas kasar, tiba tiba ia sudah rindu pada sahabatnya itu.
Najwa memilih untuk fokus pada perjalanan. Ingatan pada Adam membuat hatinya semakin sedih. Setelah menempuh waktu yang cukup lama, akhirnya Najwa sampai di kota.
Tak lama berapa kemudian, ia sampai di sebuah butik yang lumayan besar. Di depan butik itu tertulis 'Larissa Boutique'.
"Pak, terima kasih banyak ya!" ucap Najwa sambil mengangsurkan beberapa lembaran rupiah.
"Ya, Mba!k Terima kasih."
Najwa kemudian masuk ke dalam butik. Ia meninggalkan kopernya di luar dan menemui seorang gadis yang langsung menyambutnya dengan ramah.
"Ada yang bisa saya bantu, Kak?"
"Iya, Mbak. Saya mau melamar pekerjaan."
"Oh, ini mbak Najwa ya?"
"Benar,Mbak. Nama saya Najwa."
" Silahkan! Mbak sudah di toko owner butik ini."
"Baik, Mbak. Terima kasih banyak."
Najwa kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan khusus dimana seorang wanita cantik dengan pakaian modis sedang duduk menghadap laptop.
"Silakan, masuk!" jawab wanita itu setelah Najwa mengucapkan salam.
"Silahkan duduk!"
"Ya, Bu. Terima kasih."
"Kamu Najwa?"
"Iya, Bu. Nama saya Najwa."
Wanita itu manggut manggut sambil menelisik wajah Najwa. "Teman kamu sudah menceritakan semua tentang kamu. Juga tentang kepandaianmu. Jadi, sepertinya aku tidak perlu melakukan interview dan akan langsung menerima kamu sebagai kasir butik ini. Kebetulan kasir kami yang dulu sekarang sedang melahirkan."
Mata Najwa berkaca kaca. Ia senang karena langsung diterima di butik itu."Terima kasih banyak, Bu."
"Kamu bisa mulai besok. Dan khusus para pegawai di sini sudah disediakan mess yang ada di samping butik ini. Kamu langsunh saja ke sana. Kamar untukmu sudah disiapkan."
"Baik, Bu. Sekali lagi terimakasih!"
Saking senangnya, Najwa sampai tidak bertanya siapa nama owner butik itu. Ia segera keluar dan diantar sang penjaga butik menuju ke mess.
"Nama kamu siapa?" tanya Najwa pada gadis yang mengantarnya.
"Aku Rasya."
"Terima kasih ya, Mbak Rasya. Sudah mau mengantarku ke mess."
"Iya, Najwa. Sama sama. Nggak usah panggil Mbak. Sepertinya kita seumuran, kan?"
Najwa hanya mengangguk. Mereka kemudian masuk ke dalam kamar yang lumayan besar. Rasya menjelaskan beberapa poin tentang mess itu. Tentang dapur, kamar mandi dan lain lain.
"Terima kasih banyak. Kamu jadi meluangkan waktu untuk menjelaskan semuanya. Sekarang, nggak apa kalau kamu mau kembali ke butik lagi."
"Nggak, Najwa. Waktu kerjaku sudah habis. Aku harus kuliah setengah jam lagi?"
"Apa? Kuliah?"
"Iya. Aku kuliah di universitas terbuka. Jadi, ambilnya jam sore. Walaupun tidak bonefit seperti kuliah lada umumnya, tapi tingkatannya sama kok dengan kuliah umum."
"Benarkah? Apa biayanya mahal?" Najwa langsung tertarik.
"Biayanya relatif murah, Najwa. Karena itulah, aku mengambil kuliah di sana."
Mata Najwa berbinar. Harapan untuk bisa melanjutkan pendidikan terbuka lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments