Pupus Sekolah

Beberapa murid tampak berdesakan untuk melihat papan pengumuman. Bahkan anak yang jahil tampak menoyor noyor murid yang lain dan mendesak masuk ke dalam kerumunan agar bisa melihat hasil ujian.

Adam juga sedang berjuang mati-matian agar bisa masuk ke dalam kerumunan manusia yang sedang menatap papan pengumuman. Sesekali, kepalanya terkena toyoran dari murid lain. Namun, Adam tak peduli. Ia sama dengan mereka, ingin segera tahu apa ia lulus ujian atau tidak.

Adam berhasil berada di barisan paling depan. Ia mulai menatap barisan angka dan huruf yang tertera di atas kertas dan menempel di papan pengumuman. Seperti biasa nama Najwa ia temukan di urutan pertama.

Adam tersenyum. Ia selalu merasa kagum dengan gadis itu. Walaupun ia paling pemalas tapi kecerdasannya bisa membuat ia selalu berada di urutan pertama saat tes hingga ujian. Pandangan Adam beralih. Ia mulai mengurutkan dari atas ke bawah untuk mencari namanua.

Jantungnya berdebar cukup kencang. Ia takut jika ternyata tak ada namanya di papan pengumuman itu. Namun, setelah beberapa lama mencari dengan tubuhnya yang terhimpit tubuh para siswa lain, Adam merasa sangat lega karena ternyata namanya ada di urutan nomor 23.

Ia berulang kali mengucapkan rasa syukur dalam hati. Kemudian dengan usaha sedikit keras, akhirnya ia bisa keluar lagi dari gerombolan para murid pencari informasi kelulusan.

Orang yang pertama kali Adam yang cari adalah Najwa. Adam tahu kemana ia harus mencari gadis yang selama ini ia cintai itu. Najwa pasti berada di taman dan duduk di kursi yang ada di bawah pohon besar bagian ujung taman.

"Najwa! Kamu kok malah di sini?" tanya Adam sambil duduk di dekat Najwa.

"Memang, harusnya aku dimana?" Najwa balik bertanya.

"Kamu nggak penasaran sama pengumuman kelulusan?"

Najwa melirik ke arah Adam dan sedikit tersenyum. "Enggak! Lulus atau tidak sama saja. Aku juga tidak mungkin bisa melanjutkan kuliah."

Adam tahu, sebenarnya Najwa punya keinginan untuk kuliah, tapi entah kenapa ia tidak pernah mengatakan tentang keinginannya. kali ini Adam tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tak ingin kebahagiaan ini harus berubah karena kesedihan yang Najwa alami.

"Najwa, kamu tahu nggak nama kamu ada di urutan teratas lho! Seperti biasa kamu juara pertama."

Adam mengira bahwa Najwa akan senang saat ia memberi kabar itu. Namun, ternyata wajah Najwa terlihat datar saja.

"Kamu kok ekspresinya datar gitu? Udah macam mayat hidup?"

"Awwww! Sakit, Wa!" Sebuah cubitan berhasil membuat Adam meringis kesakitan.

"Makanya kalau ngomong diatur. Nih anak nggak ada sopan sopannya. Masa bilang aku mayah hidup," kaya Najwa dengan muka cemberutnya.

"Kan cuma bercanda. Habis kamu dikasih kabar bahagia kaya nggak ada respon gitu. Aku kan jadi gemes."

Adam kemudian menowel pipi Najwa dengan gemas. Ia bahkan memberi cubitan besar pada kedua pipi Najwa dan menggerakkannya ke kanan kiri hingga Najwa menjadi semakin cemberut.

"Adam! Kamu apaan sih. Jahil amat. Aku sudah tahu tentang itu. Jadi, itu bukan hal biasa yang harus aku tanggapi dengan salto."

"Bagaimana kamu tahu?"

"Tahu aja! Sudah hal biasa bukan kalau aku jadi juara."

Najwa tersenyum manis. Hati Adam tiba tiba berdebar debar dan jantungnya juga berdetak lebih cepat.

"Najwa! Kamu dicari Bu Nisa tuh! Katanya suruh ke kantor!" Seorang anak bernama Farda tampak menghampiri Najwa dan Adam.

"Dicari Bu Nisa? Ada apa?"

"Nggak tahu," ucap Farda sambil mengangkat kedua bahunya. "Aku ke kantin dulu, ya!"

Adam dan Najwa saling berpandangan. "Mungkin ada sesuatu yang penting. Buruan ke kantor gih! Aku tunggu di sini. Habis itu aku traktir di kantin."

Najwa hanya mengangguk dan bangun dari duduknya. Ia segera menuju ke kantor dengan hati bertanya tanya. Tak biasanya ia dipanggil ke kantor. Tapi, tentu saja Najwa tidak merasa takut. Karena ia tidak merasa melakukan kesalahan apapun.

"Tok! Tok! Tok!"

Najwa mengetuk pintu kantor yang sedikit terbuka perlahan. Di dalam ruangan yang cukup besar itu hanya ada Bu Nisa yang sedang memeriksa beberapa dokumen.

"Masuk!"

Najwa mendorong pintu perlahan dan masuk ke dalam ruang guru.

"Ibu mencari saya?" tanya Najwa dengan sopan. Walaupun ia murid yang pemalas, tapi Najwa selalu menjaga sopan santun.

"Iya. Silahkan duduk, Najwa!"

"Ya, Bu. Terima kasih."

"Sebentar ya! Ibu mau menyelesaikan ini."

Najwa mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian menunggu Bu Nisa menyelesaikan pemeriksaan dokumen hingga selesai.

"Jadi begini, Najwa! Ibu melihat prestasi kamu sungguh luar biasa. Tapi, ibu segar kamu nggak akan melanjutkan sampai bangku universitas. Padahal, sangat sayang kalau kamu hanya berhenti di sini saja. Jadi, ibu berencana untuk menguliahkan kamu. Semua biaya akan ibu tanggung, Najwa."

Mata Najwa membulat sempurna. Ia sungguh senang mendengar perkataan Bu Nisa. Cita citanya untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin sudah ada di depan mata.

"Benarkah, Bu?"

"Iya, Bisa. Ibu sangat menyayangkan kalau kamu nggak kuliah. Bagaimana?"

"Saya mau, Bu Nisa. Tapi, saya harus bicara dulu dengan ibu saya. Besok kalau sudah bicara dengan ibu, saya akan mengabari Bu Nisa."

"Lebih baik kamu bicara sekarang saja lewat telpon. Soalnya, ibu ingin segera tahu jawaban kamu."

"Tapi saya nggak bawa ponsel, Bu."

"Ini! Pakai hp Ibu."

Najwa menerima ponsel Bu Nisa dan segera melakukan panggilan ke nomor ibunya. Jantungnya berdebar takut, mengingat ucapan ibunya yang kemarin menolak untuk menguliahkannya.

Tak berapa lama, panggilan tersambung. Najwa segera mengutarakan maksudnya.

Nisa ; (Bu, ini Bu Guru Najwa ada yang menawarkan kuliah. Semua biaya akan ditanggung oleh beliau. Menurut ibu bagaimana?)

Tak ada jawaban dari ibu Najwa yang bernama Mila. Sepertinya, Mila sedang menimbang nimbang.

Mila ; (Tidak! Kamu nggak boleh kuliah! Apalagi dibiayai orang lain. Itu sangat memalukan, Najwa. Kita ini bukan orang miskin."

Najwa ; (Tapi, Bu. Najwa ingin kuliah.)

Mila ; (Nggak ada tapi-tapian. Kuliah hanya membuang waktu. Yang kuliah tapi jadi pengangguran juga banyak. Lebih baik kamu bekerja, Najwa)

Nada suara Mila yang menyerupai bentakan membuat Najwa tau bahwa ibunya tak bisa dibantah.

Najwa ; (Baik, Bu.)

Sambungan terputus. Najwa segera mengembalikan ponsel Bu Nisa dengan wajah murung. Air matanya hampir jatuh, tapi Najwa berusaha menahannya setengah mati.

"Bagaimana, Najwa?"

"Maaf, Bu Nisa. Ibu saya tidak membolehkan. Kalau begitu saya permisi!"

"Tunggu Najwa, ibu masih ingin bicara sama kamu!"

Najwa sudah bergegas meninggalkan ruang guru dengan air mata yang mulai menganak sungai. Ia tak lagi menoleh ke arah Bu Nisa. Adam yang sedari tadi ada di depan ruang guru dan melihat hal itu segera menyusul Najwa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!