"Apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Ibrahim yang menatap Najwa dengan pandangan sopan.
"Iya, Ustadz. Terima kasih banyak." Najwa menundukkan kepala tanda ucapan terima kasihnya.
"Sepertinya akan lebih baik jika kamu memanggil saya dengan pangeran Ibrahim. Sama seperti Zahra," ucap Ibrahim dengan senyum ramah.
"Tapi, Ustadz ...,"
"Iya, Najwa. Tidak apa-apa. Kebetulan Ibrahim ini temanku, jadi mulai sekarang dia juga temanmu."
Najwa tersenyum kikuk. "Baiklah. Aku akan memanggil kamu dengan nama Ibrahim."
"Sekarang, lanjutkan kembali apa yang ingin kau tanyakan tadi, Najwa."
"Seperti yang sudah saya katakan tadi. Saya merasa seolah ibu sudah tidak punya kasih sayang lagi kepada saya. Ia hanya ingin agar saya mencari uang dan uang untuk melunasi hutang-hutangnya yang banyak. Karena jika tidak, Ibu mengancam akan menjual rumah peninggalan ayah saya."
Najwa terdiam sesaat. Ia mengambil nafas dalam-dalam agar tidak kembali menangis.
"Padahal, tadi Ustadz sudah mengatakan bahwa kita harus menghormati dan menjunjung tinggi ibu kita lebih dari siapapun. Iya kan, Ustadz?"
Ibrahim tersenyum geli menyadari bahwa Najwa masih saja memanggilnya dengan sebutan ustadz. Tapi, sepertinya Najwa memang belum terbiasa.
"Iya, itu benar karena. memang hak seorang ibu atas kita itu begitu besar, Najwa. Lebih dari siapapun."
"Tapi, bagaimana jika ternyata sosok ibu itu seperti Ibu saya. Saya masih tetap menghormatinya, tapi hati saya selalu berontak. Walaupun bukan berarti saya lantas tidak punya penghormatan kepada ibu saya. Hanya saja, kadang-kadang rasa benci dan marah timbul dalam hati saya. Apalagi jika mengingat setiap perkataan dan perbuatan kasar ibu kepada saya. Rasanya sakit hati sekali, Ustadz."
Ibrahim terdiam sambil berpikir. Gadis seperti Najwa pasti mengalami hari yang berat. Ia menjadi sangat kasihan kepada Najwa. Sementara, Zahra sedari tadi hanya terus mengelus punggung Najwa. Ia juga tak menyangka bahwa sahabat barunya itu punya beban yang sangat berat di pundaknya.
"Begini, Najwa. Bagaimanapun keadaannya, beliau tetaplah ibumu. Dalam Islam, kamu harus tetap menghormatinya dengan sepenuh hati. Setiap habis salat mintalah ampunan untuk dirimu sendiri dan beliau. Lalu, bacakanlah surat Alfatihah yang dikhususkan untuk ibumu. InsyaAlloh, lambat laun kamu akan melihat perubahan besar pada beliau."
Hari Najwa menjadi lebih tenang setelah mendengar ucapan Ibrahim. Pemuda itu sungguh sangat berhati-hati dalam menyampaikan nasihatnya. Dia tidak lantas menjudge Najwa dengan tuduhan yang buruk.
"Terima kasih banyak, Ustadz. Saya akan berusaha melakukan apa yang Ustad katakan. Semoga dengan ini ibu akan berubah dan hatinya akan menjadi lembut," ucap Najwa dengan penuh ras syukur las Ibrahim.
"Sama-sama, Najwa. Jika suatu saat nanti kamu punya uneg-uneg atau masalah lain yang berhubungan dengan agama Islam, kamu bisa tanya kepada saya. InsyaAlloh saya akan bantu kamu sebisa mungkin."
Najwa mengangguk. Ia kemudian berpamitan pada Ibrahim untuk pulang karena tanpa terasa malam sudah semakin larut.
"Oh ya, kamu pulang bersama siapa?" tanya Zahra sambil meremasi peralatan tulisnya ke dalam tas.
"Pulang sendiri, Zahra. Paling jalan kaki. Mess saya tidak jauh dari sini."
"Apa? Pulang sendiri?" tanya Ibrahim yang mendengar ucapan Najwa.
"Iya, ustadz. Kebetulan saya bekerja di butik yang ada di dekat sini dan jaraknya tidak begitu jauh."
"Apakah mau saya antar?" Ibrahim menawarkan diri.
"Tidak usah, Ustadz. Temakasih banyak." Najwa berusaha menolak dengan halus.
"Tidak apa-apa. Saya membawa mobil kok. Jadi, nanti kamu bisa duduk di belakang. Tidak baik jika wanita berjalan malam-malam sendirian. Saya takut banyak fitnah yang akan terjadi."
Najwa menoleh ke arah Zahra.
"Nggak apa-apa, Wa. Ibrahim benar. Ikut saja sama Ibrahim. Kebetulan rumahnya satu arah kok dengan mess kamu."
Akhirnya Najwa hanya bisa mengangguk. Ia merasa bahwa Zahra memang benar. Dan sebenarnya, Najwa juga takut jika bertemu dengan preman yang biasanya ada di ujung jalan.
"Zahra pulang bersama siapa?"
"Aku juga mau bareng Ibrahim."
"Oh, kenapa tidak bilang dari tadi."
"Buat kejutan kamu, Wa. Kebetulan sebenarnya Ibrahim ini masih sepupu saya." Zahra tersenyum simpul.
Pantas saja Zahra tadi siang menggoda Najwa. Ternyata mereka masih saudara sepupu.
"Pantas saja kalian sepertinya sudah sangat akrab," ucap Najwa sambil mengangguk angguk kecil.
"Ya, sudah. Kita pulang sekarang, yuk! Nanti kamu duduk di belakang sama aku," ucap Zahra sambil menggandeng tangan Najwa.
Ibrahim berjalan mendahului Najwa dan Zahra. Ia tak mau berjalan di belakang wanita, karena memang dalam islam tidak disarankan wanita berjalan di depan kaum pria.
Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang. Ibrahim mengantarkan Najwa lebih dulu ke mess. Saat akan turun, Rasya yang baru akan membuang sampah di depan melihat Najwa yang turun dari mobil.
"Terima kasih banyak, Ustadz."
"Sama-sama, Najwa. Tidak usah sungkan. Santai saja."
"Terima kasih banyak ya, Zahra."
"Sama-sama, Wa. Sampai jumpa besok. Kami duluan ya!"
Najwa menunggu sampai mobil itu berjalan dan menghilang di kegelapan malam.
"Waduh yang sudah punya gebetan Ustadz. Jangan-jangan lupa sama Adam kamu, Wa," ucap Rasya yang tiba-tiba sudah ada di belakang Najwa.
"Ih, apaan sih kamu. Dia itu Ustadz yang jadi pemateri waktu kajian tadi. Kebetulan dia masih sepupuan sama teman aku, jadi dia mengantarkan aku. Nggak ada maksud apa apa kok."
"Mengapa kamu menjelaskan panjang lebar, Wa? Kelihatan sekali kalau kamu tidak mau terlihat ada yang berarti malah sebaliknya."
"Kamu ini ada-ada aja, Sya. Masuk yuk!"
"Kamu tahu nggak, Wa. Aku sudah lama ingin tahu siapa nama Ustadz itu. Selain tampan, sopan dan pintar ilmu agama dia juga jadi pembicaraan para gadis-gadis loh."
Najwa tak menggelengkan kepala perlahan. Ia sungguh merasa bahwa Rasya sedang berlebihan kali ini.
"Namanya Ibrahim. Kamu naksir sama dia kan?"
Najwa menyentil hidung Rasya.
"Sebenarnya memang iya,Wa. Tapi aku rasa Ibrahim tak akan mau jika ditaksir oleh gadis dengan celana hot pan seperti aku."
Najwa tertawa mendengar perkataan Rasya. Sahabatnya itu memang sering memakai pakaian yang minim bahan.
"Kalau kamu mau ditaksir oleh Ustadz Ibrahim, mendingan mulai sekarang kamu pakai hijab,Sya."
"Ogah ah. Untuk saat ini aku belum mau pakai hijab. Mungkin suatu saat nanti."
Najwa hanya mengangkat bahu. Ia kemudian meletakkan tasnya ke atas lemari dan membersihkan diri.
"Wa, cari makan di luar yuk! Aku lapar."
"Ini sudah malam, Sya. Aku nggak mau keluar jam segini. Takut sama preman yang ada di ujung jalan. Kita buat mie instan aja yuk! Kebetulan aku punya stok mie instan. Mau?"
"Mau, tapi aku males buatnya."
"Ya sudah. Biar aku yang membuatkan kamu." Rasya berjingkrak kegirangan.
Najwa melakukan semuanya dengan cepat. Ia sudah tak sabar menuliskan kisah pertemuannya dengan Ibrahim di novel miliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments