Pada keesokan harinya, aku bangun lebih awal dari biasanya.
Ketika aku membuka mata, apa yang pertama kali kulihat adalah langit-langit kamarku yang bewarna putih.
Setelah beberapa menit, aku beranjak bangun dari tempat tidurku. Namun sebelum aku berdiri, aku mengumpulkan sepenuhnya kesadaranku dengan duduk di tepi kasur selama beberapa menit.
"Sebaiknya aku segera bersiap-siap."
Aku yang telah menata sepenuhnya jiwaku ke dalam cangkangnya mulai berdiri dari kasur, hal pertama yang kupikir harus kulakukan adalah mandi.
Dengan pemikiran seperti itu, aku kemudian mendekati lemari besar di kamarku untuk mencari handuk dan juga kristal air.
Tok tok tok
Ketika aku sedang mencari peralatan mandi, sebuah suara ketukan datang dari bagian luar pintu.
"Nona muda, apakah anda sudah bangun?"
Apa yang kemudian terdengar adalah suara familiar dari seorang wanita yang kukenal.
"Masuklah Sarina!"
"Permisi."
Ketika aku mengizinkannya untuk masuk, pintu seketika terbuka, mengungkap apa yang ada di balik pintu.
Seorang pelayan wanita dengan seragam pelayan khasnya sedang berdiri di sana, rambut merah menyala miliknya bergoyang ke kanan dan ke kiri, mata merah kecoklatan miliknya tampak tidak bertenaga selayaknya ikan mati.
"Apakah anda membutuhkan sesuatu, Nona Muda?"
"Ah, ya. Bisakah kamu menyiapkan gaun yang akan kupakai? Aku ingin mandi terlebih dahulu."
"Sesuai dengan perintah anda."
Seketika setelah dia membungkuk dan mengangguk, aku membawa handuk dan kristal yang telah kuambil dan pergi ke kamar mandi di kamarku.
Aku dapat melihat pelayanku yang setia sedang memilah gaun yang akan kupakai dengan wajah serius ketika berbalik untuk menutup pintu.
Sesaat setelah aku memasuki kamar mandi, aku dengan segera menanggalkan semua pakaianku, membuat tubuhku sepenuhnya terekspos tanpa sehelai kain yang menutupi.
Hari itu masih pagi, aku bisa merasakan hawa dingin meski aku sedang berada di tempat tertutup.
Lalu dengan menggunakan kristal air yang telah kubawa, aku merapalkan mantra untuk menciptakan air.
"Flos Coruscent Olivia, imbrem."
crack
Mengiringi rapalan singkatku, kristal biru yang kubawa hancur tanpa sisa dan menjadi debu.
Lingkaran biru pucat berukuran sedang mulai terbentuk beberapa senti di atas kepalaku, melukis ukiran-ukiran kuno di dalamnya.
Ukiran-ukiran itu tampak rumit, akan tetapi ukiran-ukiran itu terbentuk dengan sendirinya dalam waktu singkat.
Setelah prosesnya berakhir air mulai menetes satu demi satu dari lingkaran selayaknya hujan gerimis di musim penghujan.
Satu demi satu tetesan air yang dingin menetes ke tubuhku, menutupi tubuhku hingga basah kuyup dengan air yang sejuk.
Ah, ini sangat menyejukkan. Mandi di pagi hari memang yang terbaik.
...-0-...
Dengan mood yang diperbarui setelah melakukan mandi pagi, aku keluar dari kamar mandi dengan senyum segar di wajahku.
"Nona Muda, pakaian anda telah saya siapkan."
"Terimakasih atas bantuanmu, Sarina."
"Sebuah kehormatan bagi saya."
Segera setelah keluar dari kamar mandi, aku disambut oleh pelayanku yang telah bersiap dengan sebuah gaun yang dia pilihkan.
Itu adalah sebuah gaun berwarna biru yang memiliki desain bahu terbuka, gaun itu memiliki model rok yang tidak terlalu panjang ataupun terlalu pendek.
"Apakah ada yang kurang anda sukai dari gaun yang saya pilihkan?"
Ketika aku menatap gaun yang dia bawa dalam diam, Sarina dengan tatapan khawatir bertanya padaku.
"Tidak, kurasa itu adalah pilihan yang bagus. Bisakah kamu membantuku mengenakannya?"
"Dengan senang hati, Nona."
Sarina yang mendengar permintaanku dengan sigap mengambil gaun yang dia pilih dan membantuku mengenakannya.
Aku hanya menatapnya yang sedang melakukan tugasnya dari pantulan kaca sambil mengikuti instruksinya, mata merah kecoklatannya yang indah tampak sangat serius.
Dan hanya dalam hitungan menit, aku telah selesai mengenakan gaun biru yang dia pilihkan untukku tanpa masalah.
"Rambut anda masih basah, apakah saya diperbolehkan untuk mengeringkannya?"
Ketika dia mengatakannya, aku baru tersadar dengan keadaan rambutku yang masih berair dan belum sepenuhnya kering.
Mendengar keinginan baiknya, aku tidak punya alasan untuk menolak.
"Ya, kumohon."
"Sesuai dengan keinginan anda, Nona."
Atas permintaanku, Sarina mengangkat tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegangi rambutku.
Dia memejamkan matanya dan merapal.
"Rose Fragnantia Sarina, wahai api ciptakanlah hawa panas, aestus."
Dengan suaranya yang indah, dia mengucapkan mantra, menciptakan lingkaran rumit yang mirip dengan apa yang kulihat di kamar mandi di atas tangannya. Namun dari sebelumnya, kali ini ukurannya hanya seukuran telapak tangan dan memiliki warna merah terang.
Aku tidak bisa melihat ada sesuatu yang keluar dari lingkaran itu, akan tetapi ketika dia mendekatkan telapak tangannya ke atas kepalaku, aku bisa merasakan udara panas yang tercipta darinya.
Udara yang keluar dari lingkaran sihir itu tidak terlalu panas, rasanya sangat nyaman.
"Apakah ini terlalu panas, Nona Muda?"
"Tidak, rasanya sangat nyaman. Kamu sangat ahli dalam hal ini, Sarina."
"Sungguh sebuah kehormatan bagi saya untuk mendapat pujian dari anda, Nona Muda."
Dan dengan keadaan seperti itu, Sarina membantuku berdandan dan mempersiapkan pakaianku hingga helai terakhir.
"Jadi, bagaimana penampilanku menurutmu, Sarina?"
Aku yang telah selesai mengatur pakaian dan rambutku bertanya kepada Sarina yang berada di depanku.
"Anda tampak sangat cantik hari ini, Nona Muda."
"Aku lega mendengarnya, terimakasih atas bantuanmu pagi ini."
"Sudah menjadi tugas saya untuk melayani anda, Nona Muda."
Sarina membungkuk dalam, sedangkan aku hanya membalasnya dengan senyuman.
tok tok tok
Ketika aku sedang bercengkrama dengan Sarina, sebuah ketukan sekali lagi datang dari balik pintu.
"Hey Olivia, apakah kamu telah bersiap?"
Sebuah suara lembut datang dari balik pintu, itu adalah suara ibuku.
Klak
Segera setelah dia bertanya, pintu terbuka, memperlihatkan sosok ibuku yang cantik.
Saat ini dia sedang mengenakan gaun putih yang menutupi hingga tumitnya, sedangkan rambutnya yang biasanya panjang dan terurai disanggul dengan indah kebelakang.
Ibuku memiliki rambut bewarna merah yang mirip dengan Sarina, yang membedakan adalah pupil mata miliknya, Ibuku memiliki pupil mata yang berwarna merah selayaknya bunga mawar yang mekar.
"Oh lihatlah dirimu, kamu sangat cantik, Olivia."
"Sungguh!"
Aku melonjak senang atas pujian ibuku, aku hampir melompat ke arahnya karena kegirangan, tapi untungnya aku bisa menahannya.
"Tentu, kamu sangat cantik. Apakah itu gaun pilihan Sarina?"
"Ya, Sarina yang memilihkan gaun dan menata pakaianku hari ini."
Ibuku kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Sarina dan tersenyum.
"Terimakasih atas bantuanmu, Sarina."
"Sebuah kehormatan bagi saya, Nyonya Erika."
Ibuku tersenyum kepada Sarina dengan senyuman hangat, namun Sarina masih tetap menggunakan ekspresi seriusnya yang biasa, dia hanya menunduk untuk menanggapi ibuku.
"Baiklah kalau begitu, jika kamu sudah bersiap maka kita harus segera pergi. Tidak baik untuk membiarkan keluarga Viscount Glaive menunggu terlalu lama."
...-0-...
Di dalam kereta yang bergoyang, aku sedang duduk bersama ibuku di dalam gerbong.
Aku yang jarang berpergian keluar tidak bisa menahan diri untuk menatap keluar jendela, aku ingin menikmati pemandangan orang-orang yang berlalu lalang di jalan.
"Jangan terlalu menempel pada jendela, Olivia. Kita tidak ingin orang lain tahu kita ada di dalam kereta."
"Ah, maafkan aku Ibunda."
Ketika aku hampir akan mendekatkan wajahku ke jendela, ibuku memanggilku dan memperingatkanku agar.
Aku yang mendengar peringatannya seketika segera menjauh dari jendela dan meminta maaf.
"Tidak apa-apa, bagaimanapun aku mengerti perasaanmu saat ini. Aku tidak akan menghalangimu untuk melihat keluar jendela, tetapi pastikan untuk tidak terlalu dekat dengan jendela, mengerti?"
"Baiklah, Ibunda."
Ibuku hanya tersenyum dengan cerah padaku yang hampir saja melakukan kesalahan, membuatku berpikir tentang betapa baiknya ibuku.
"Oh, ngomong-ngomong bagaimana perasaanmu saat ini?"
Aku sudah tidak ingin melihat keluar jendela lagi, sehingga aku hanya menundukkan kepala dan duduk dengan manis, namun ibuku tiba-tiba menanyakan sesuatu yang entah datang dari mana."
"Perasaanku?"
Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan oleh ibuku, dengan spontan aku memiringkan kepalaku, menandakan bahwa aku tidak mengerti.
"Sebentar lagi akan bertemu dengan dia, kamu tahu? Aku penasaran apakah kamu memiliki perasaan khusus dengan itu."
"Ah..."
Ibuku menjelaskan apa yang ingin dia bicarakan, tetapi aku masih tidak terlalu mengerti kenapa dia menanyakannya.
Perasaanku?
Sejujurnya, aku tidak merasakan apapun secara khusus untuk saat ini.
Aku memang merasa gugup kemarin malam dengan fakta bahwa aku akhirnya akan melakukan debut sosial untuk pertama kalinya, tapi aku sama sekali tidak merasakannya lagi pagi ini.
"Tidak, aku tidak memiliki perasaan khusus saat ini."
Aku menjawab dengan jujur.
"Oh, sungguh? Ibu sedikit kecewa, tapi kurasa itu hal wajar karena kamu memang belum pernah bertemu dengan calon tunanganmu sepenuhnya."
Ibuku merosotkan bahunya dan membuat wajah kecewa dengan suara yang lirih, membuatnya seolah seperti anak-anak yang sedang kehilangan minat.
Ah, jadi begitu.
Kurasa ibuku hanya ingin melihat reaksiku yang akan bertemu seorang pria yang mungkin akan menjadi calon tunanganku.
Mungkinkah dia mengharapkanku mengatakan sesuatu seperti gugup ataupun berdebar?
Sayang sekali aku tidak merasakannya saat ini.
"Tapi..."
Ketika aku tersenyum dan menatap ibuku yang kehilangan minat, ibuku bergumam.
"Hmm? Tapi?"
Aku yang penasaran dengan apa yang ingin dia katakan kemudian balik bertanya, menekannya untuk melanjutkan.
"Kamu pasti akan merasakannya ketika telah melihat wajahnya."
Ibuku mengatakannya dengan tersenyum, senyum percaya diri yang penuh dengan keyakinan, seolah dia sedang mempertaruhkan segalanya untuk membuatnya terjadi.
Aku tidak mengerti kenapa dia begitu menekankan hal ini, tetapi aku bisa merasakan perasaan putus asa di dalam kata-katanya.
"Ibun..."
Ketika aku ingin menanggapi keanehan ini, kereta kuda yang kami kendarai seketika berhenti.
"Nyonya Erika, kita sudah sampai."
Suara kusir terdengar tipis dari luar kereta, mengisyaratkan kepada kami jika kami telah sampai.
"Ah, kita sudah sampai. Sebaiknya kita segera turun."
Dengan tangannya yang halus dan lembut, ibuku menggenggam tanganku dan menarik diriku keluar dari kereta.
Ini mungkin hanya hayalanku belaka, namun entah kenapa...
Cahaya mentari yang menyambut kami ketika membuka pintu gerbong...
Seolah menjadi pertanda berawalnya setiap kejadian yang akan menentukan masa depan kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments