“Mas,” rengek Anggun.
Mirza sedang fokus pada ponselnya, saat mendengar suara Anggun memanggilnya ia mengalihkan perhatiannya sejenak. “Apa?”
“Kenapa sih main ponsel terus, ini honeymoon kita!” keluh Anggun. Ia sudah tidak bisa tinggal diam, sejak sampai di hotel Mirza sibuk memainkan ponselnya.
Mirza menyimpan ponsel yang sedang ia pegang ke dalam saku celananya. “Tujuan kamu apa memaksa aku untuk mengikuti semua keinginan konyolmu ini?”
Anggun yang sedang rebahan di atas tempat tidur akhirnya bangkit dan duduk sambil mencari tempat ternyaman dengan menyandarkan punggungnya ke dipan. “Ini bukan keinginan konyol, Mas. Setelah kita menikah kamu belum mengajak aku bulan madu.”
Mirza mengernyitkan dahinya. “Untuk apa, lagi pula aku tidak tergiur untuk menyentuh tubuhmu. Dan kamu harus ingat enam bulan lagi pernikahan kita akan berakhir,” ujar Mirza mengingatkan.
“Aku mencintai kamu Mas. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau berpisah denganmu,” ucap Anggun dengan sungguh-sungguh.
“Dari awal kamu tahu, aku tidak mencintaimu. Jadi jangan banyak berharap aku akan membalas perasaanmu!” Mirza bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar dari kamar hotel untuk mencari udara segar.
Mirza memilih sebuah cafe yang tidak jauh dari hotel, ia memesan secangkir kopi. Ia mengeluarkan ponselnya dan mulai membaca informasi tentang keluarga Alishia yang ia dapat dari orang suruhannya.
Mirza kini mulai tahu bagaimana kisah hidup kedua orang tua Alishia. Bahkan ia juga tidak sadar tersenyum saat melihat beberapa foto Alishia saat kecil yang tampak gemuk dengan pipi tembam dan rambut yang di kuncir.
Merasa aktivitas menyenangkannya terganggu Mirza berdecap kesal saat Anggun menghubunginya, ia memilih menolak panggilan tersebut. Sampai panggilan ke tiga Mirza masih menolak telepon Anggun. Namun tidak lama sebuah pesan masuk.
[Mas antar aku ke rumah sakit perut aku sakit banget]
Awalnya Mirza hanya menganggap pesan Anggun sebagai angin lalu, ia berpikir Anggun sengaja mencari perhatian agar Mirza segera ke kembali. Namun Anggun kembali mengirim pesan berupa foto, paha putihnya tampak merah karena darah yang mengalir.
Dengan langkah tergesa Mirza kembali ke hotel. Saat masuk ke kamar di lihatnya Anggun yang meringis kesakitan sambil memegang perutnya.
Dengan sigap Mirza menelepon ambulans. Tidak membutuhkan waktu lama ambulans datang.
Sesampainya di rumah sakit Anggun segera di tangani, Mirza menunggu dengan perasaan cemas di depan pintu UGD.
Setelah setengah jam menunggu akhirnya dokter keluar. “Bagaimana keadaan istri saya dok?”
“Keadaan ibu Anggun dan janinnya baik-baik saja, hanya mengalami pendarahan ringan,” ucap dokter menjelaskan.
Tenggorokan Mirza terasa kering, ia menelan salivanya. “Maksud dokter istri saya hamil?” tanya Mirza mencoba memastikan. Ia berharap dokter berkata tidak.
“Iya, ibu Anggun sedang mengandung,” jawaban dokter terasa seperti sambaran petir di siang bolong.
Dokter berpamitan kepada Mirza dan berjalan meninggalkan Mirza yang masih syok dengan kabar gembira yang di dengarnya. Tidak, bagi Mirza ini bukan kabar gembira.
Seorang suster keluar dari dalam UGD. “Bapak Mirza, ibu Anggun akan segera di pindahkan ke ruang rawat inap. Sebelumnya mohon untuk mengurus administrasinya terlebih dahulu.”
Setelah mengurus administrasi, Mirza berjalan menuju ruangan Anggun. Di sana Anggun terbaring di atas brankar, wajahnya menampakkan rasa bahagia.
“Mas, aku hamil,” ucap Anggun gembira.
Mirza diam membisu, semua ini bagaikan bencana yang tidak mudah untuk ia hindari. Tuhan apalagi ini? Keluh Mirza di dalam benaknya
***
Pagi itu Alishia beraktivitas seperti biasa. Ia pergi ke kantor di antar taksi online yang di pesannya, karena Mirza tak memberi izin Alishia membawa mobil sendiri.
Alishia memilih menundukkan wajahnya, ia tidak ingin melihat tatapan benci dari orang-orang. Sesampainya di ruangan, pandangan Alishia tertuju pada amplop berwarna merah muda yang ada di atas meja kerjanya.
Bibir Alishia tertarik ke atas menampilkan sebuah senyuman. Dia berpikir Mirza membuat kejutan lewat surat tersebut.
Dengan rasa penasaran Alishia segera membuka dan mulai membaca isi surat tersebut.
Dear, Alishia Agatha
Wanita yang berhasil merusak kebahagiaan rumah tanggaku. Tahu kah kamu seberapa rendahnya dirimu?
Aku rasa kini kamu tak punya harga diri lagi. Kamu pikir anak yang di kandung kamu akan merasa beruntung memiliki ibu yang sangat cerdik dalam merebut suami orang?
Sepertinya dia akan sangat malu, atau mungkin dia juga tidak ingin memiliki ibu yang notabenenya seorang perempuan rendahan sepertimu.
Memangnya tidak ada lagi laki-laki lajang di dunia ini?
Atau dirimu terlalu jelek hingga tidak ada pria yang menginginkanmu?
Atau kamu ingin harta Mirza. Coba deh ambil cermin, liat seberapa buruk dirimu. Kamu tidak pantas untuk Mirza!
Hanya karena dua tahun ini Mirza bersamamu lalu kamu pikir Mirza tulus mencintaimu? Sepertinya kamu tahu jawabannya, Mirza tidak mencintaimu. Dia hanya merasa harus bertanggung jawab karena janin yang kamu kandung.
Ah iya, kamu senang Mirza mengungkapkan perasaannya? Kalau itu hanya bualan semata kamu masih merasa senang. Bodoh sekali dirimu dengan mudahnya percaya.
Kalau Mirza memang mencintaimu, selama ini ke mana saja dia. Bukankah kalian hanya teman di atas ranjang. Lebih tepatnya kamu menjajakan tubuhmu demi uang.
Sampai jumpa pelacur, semoga harimu menyenangkan!
Pupus sudah rasa senang di hati Alishia. Yang tersisa kini hanya rasa sakit setelah membaca surat tersebut sampai akhir.
Alishia sudah bisa menebak siapa pengirim surat itu. Ya, orang itu pasti Anggun.
Alishia mencoba menarik nafas, dan mengeluarkannya secara perlahan. Berharap rasa sesak di dadanya sedikit hilang, Alishia meremas surat tersebut dan membuangnya ke tempat sampah.
***
Tidak terasa jam makan siang pun akhirnya tiba, Alishia membereskan meja kerjanya sebelum pergi makan siang. Hari ini ia berniat untuk makan siang bersama Jihan di kantin kantor.
Setelah sampai di kantin Alishia mencari keberadaan Jihan. Ia merasa beruntung saat menemukan Jihan yang duduk di pojokkan kantin. Setidaknya Alishia tidak terlalu tersorot oleh orang-orang.
“Ayo makan!” Ajak Jihan.
Alishia memandang dengan semangat makanannya yang sudah di pesankan oleh Jihan. Jihan memang sahabat yang baik, ia lebih dulu ke kantin memesankan makanan agar Alishia tidak perlu repot-repot berdesakan untuk mengantre.
“Bagaimana rasanya jadi seorang istri di hari pertama?” tanya Jihan antusias.
Alishia menelan makanan yang telah selesai ia kunyah. “Aku tidak tahu,” jawab Alishia jujur sambil tersenyum kikuk.
“Loh kenapa?” Jihan menghentikan acara makannya, ia lebih penasaran dengan cerita Alishia.
Alishia mulai menceritakan keinginan Anggun yang ingin pergi bulan madu tepat di hari akad pernikahannya dengan Mirza.
Jihan jadi tidak enak hati, ia mengelus bahu Alishia. “Maaf Ta, aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” sesal Jihan.
Alishia menampilkan senyumnya, “Aku enggak papa ko.”
Melihat keberadaan Alishia, Rumi bagaikan mendapat doorprize di jam makan siangnya. Ia berjalan mendekati meja Alishia.
“Tebel muka juga ini orang, sudah jadi perebut laki orang tapi enggak punya malu juga!” ejek Rumi dengan senyum sinisnya.
***
Enak ya jadi Mirza sekali dayung dua pulau terlampaui. Dapat dua istri dan dua anak 🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments