Ariana mengurung diri di dalam kamar sejak kejadian siang tadi. Sementara Alishia berusaha mengetuk pintu kamar Ariana, ia sangat cemas. Tidak tahu apa penyebab pasti mengapa adiknya menangis bahkan mengurung diri saat ia di nyatakan hamil oleh Mbok Surti.
“Ana, buka pintunya. Kaka perlu bicara,” ucap Alishia sambil mengetuk pintu.
Lima menit berlalu Ariana tidak membuka pintu kamarnya juga. Alishia sudah hilang kesabaran, ia sangat cemas dengan keadaan adiknya. Di ambilnya kunci cadangan kamar Ariana, lalu Alishia membuka kunci.
“Ana Kaka masuk ya,” ujar Alishia seraya menekan knop pintu. Dengan dorongan perlahan pintu kamar Ariana mulai terbuka.
Alishia bernafas lega saat mendapati sang adik tengah duduk di atas tempat tidur dengan kepala menunduk, dan tangan memeluk lututnya.
Belaian lembut di rambut Ariana menambah suara isakkan Ariana yang terdengar lebih keras dari sebelumnya.
Alishia menarik tangannya dari rambut Ariana, duduk di sampingnya sang adik seraya memberikan pelukan hangat.
“Ana sudah berusaha untuk tidak merepotkan Kaka, andai saja Ana tidak meneruskan sekolah Ana. Kaka tidak akan pernah hamil di luar nikah seperti ini,” ucap Ariana bersamaan dengan suara isakkan yang keluar dari mulutnya.
“Ini bukan salah kamu, lagian Kaka baik-baik saja. Ana tidak perlu mengkhawatirkan Kaka,” jawab Alishia berusaha menenangkan Ariana.
“Kaka tidak tahu, dan tidak merasakan rasanya jadi anak haram!”
Alishia mengernyitkan dahinya saat mendengar suara Ariana yang terdengar seperti menahan amarah.
Alishia menarik dagu Ariana agar menatapnya. “Apa maksudmu Ana?”
“Kaka tidak tahu bagaimana rasanya di hina sebagai anak haram, anak pelacur, anak wanita murahan!”
Alishia ikut merasakan sakit yang di rasakan Ariana kala netra berwarna coklat milik Ariana menggenang dan meneteskan butiran bening yang berjatuhan. “Kenapa Ana berbicara seperti itu?”
“Ana merasakan itu semua Ka, orang memandang Ana rendah. Cibiran serta olok-olokan dari teman sekelas selalu membuat Ana tertekan. Kalau di suruh memilih, Ana lebih baik tidak pernah lahir ke dunia ini dari pada harus lahir menjadi anak haram!”
Alishia membawa Ariana ke dalam pelukannya. “Enggak, Ana bukan haram.”
“Semua yang orang katakan benar Ka, Ana anak haram,” ucap Ariana dengan suara pelan di tengah tangisannya. Ia memeluk sang Kaka dengan erat. Semuanya ia sembunyikan dari Alishia, ia takut sang kakak mengkhawatirkannya.
Tapi sekarang keadaan seakan terbalik, Ariana takut Alishia akan merasakan bagaimana rasanya mendapatkan hinaan dari orang-orang. Terlebih Ariana tahu Alishia tidak memiliki hubungan yang serius ke jenjang pernikahan, dia takut bayi yang bersemayam di rahim Alishia akan merasakan hal yang sama seperti dirinya.
***
Mirza tengah duduk dengan perasaan gelisah di kursi kebanggaannya. Sesekali ia melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja kerjanya dengan keadaan layar yang gelap.
Ia meraih ponsel tersebut dan kembali mencoba menghubungi Alishia, namun hasilnya sama nomor wanitanya itu tidak aktif.
“Kamu ke mana sayang?” gumam Mirza.
Ia sudah mencoba mencari Alishia ke apartemennya, tapi hasilnya nihil. Alishia tidak ada di sana. Sudah dua hari kekasihnya itu tidak masuk. Perasaan khawatir terus bergelayut manja di dalam pikirannya.
“Kamu tidak benar-benar meninggalkan aku kan sayang?” bagai orang gila Mirza membelai wajah cantik Alishia di bingkai foto milik Alishia yang sengaja Mirza ambil dari ruangan Alishia tadi pagi.
Suara pintu ruangannya di ketuk dari luar. “Masuk!”
Mirza memandang Jihan yang berjalan ke arah dirinya seraya menundukkan wajahnya.
“Saya rasa kamu tahu di mana keberadaan Alishia,” ungkap Mirza.
“Tapi maaf pak, saya tidak bisa memberi tahu bapak,” ucap Jihan dengan kepala tertunduk karena tidak berani menatap Mirza sedikit pun.
“Beritahu saya atau saya pecat kamu sekarang juga!”
Jihan memejamkan matanya saat mendengar bentakan Mirza. Ia menggigit bibir bawahnya, “bagaimana ini?” ucap Jihan di dalam benaknya.
Mirza menggebrak mejanya dengan sangat kencang. “Cepat katakan di mana Alishia berada!”
Jihan menelan salivanya sendiri, tenggorokannya tercekat. Ia tidak pernah menyangka Mirza akan bersikap seperti ini.
***
Mentari pagi dari ufuk barat mulai muncul menyinari desa pagi itu. Alishia dan Ariana menaiki motor yang di beli Alishia untuk adiknya sekolah. Tapi kali ini Alishia yang akan mengantarkan Ana ke sekolah.
Udara sejuk pagi itu tak mengalahkan Semangat Alishia meskipun sudah lama ia tidak mengendarai motor, tapi ia masih hafal betul cara menggunakannya.
“Ayok Ana,” ajak Alishia dengan senyum mengembang.
Ariana berjalan mendekati sang Kaka. “Biar Ana saja yang bawa, Ana takut Kaka kenapa-kenapa,” ungkap Ariana dengan nada khawatir.
“Sudah ayo naik, Cuma bawa motor doang sampai sekolah kamu,” ujar Alishia mencoba meyakinkan Ariana.
Tidak ingin terlambat Ariana akhirnya memilih mengalah dan percaya semuanya akan baik-baik saja. Ia naik ke atas motor dan memeluk sang Kaka dari belakang. “Bawa motornya tidak usah ngebut ya ka.”
“Siap bos!”
Motor yang di kendarai Alishia mulai melaju meninggalkan halaman rumah mereka. Alishia benar-benar menikmati udara pagi itu, ia menghirup udara segar yang jarang ia jumpai di kota tempatnya tinggal. Kalau boleh memilih ia ingin tinggal di sini bersama adiknya, tetapi utang-utang almarhumah ibunya belum sepenuhnya lunas.
Tidak butuh waktu lama motor yang dikendarai Alishia sampai di depan gerbang sekolah Ariana. “Ana masuk dulu ya, Kaka hati-hati pulangnya,” pamit Ariana.
“Tidak perlu mengkhawatirkan Kaka, kamu fokus sekolah saja.”
Ariana mengangguk dan berjalan masuk ke dalam sekolahnya.
Setelah memastikan tubuh Ariana menghilang di telan ratusan siswa-siswi lainnya, Alishia melajukan motornya untuk ke apotek.
Setelah sampai di apotek Alishia membeli beberapa merek tes kehamilan. Di tengah perjalanan Alishia merasakan ada mobil yang mengikutinya, ia mencoba melihat dari kaca spion motornya. Namun Alishia tidak bisa memastikan pemilik mobil yang mengikutinya.
Alishia mempercepat laju motornya, tepat di belokkan depan ia masuk ke gang dan menunggu mobil tersebut melewatinya.
Saat mobil itu melewatinya Alishia tetap tidak bisa melihat siapa orang yang berani mengikutinya. Alishia mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Jihan.
[Hallo maaf ini siapa?] sapa Jihan di seberang sana.
“Jihan ini aku Alishia,” jawab Alishia. Matanya berusaha memindai jalanan di depannya, takut mobil tadi lewat dan melihatnya.
[Akhirnya Ta, kamu ngabarin aku juga.]
“Iya, maaf ya. Aku baru kasih kabar.”
[Ta aku mau minta maaf]
“Maaf kenapa?” Tanya Alishia dengan nada heran.
[Aku terpaksa ngasih alamat kamu di kampung sama pak Mirza, Pak Mirza mengancam akan memecat aku saat itu juga kalau enggak kasih tahu keberadaan kamu]
Alishia tahu dari nada bicaranya Jihan tidak berbohong, ia sudah bersahabat lama dengan Jihan. Tidak mungkin Jihan berkhianat apalagi Jihan lah yang meyakinkan dirinya agar menjauh dari Mirza.
“Ya tidak apa-apa,” Alishia menutup teleponnya.
Setelah di rasa aman, Alishia mulai melajukan motornya kembali menuju rumah.
Kendaraan roda dua yang di kendarai Alishia berhenti saat melihat di depan rumahnya terparkir mobil tadi. Yang lebih mengejutkan lagi di depan pintu rumahnya Mirza berdiri seraya mengetuk pintu.
“Mampus!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments