Alishia diam saat pintu ruangannya di buka oleh Mirza. Ia menundukkan kepalanya tanpa mau menoleh saat Mirza memanggil namanya. Fokusnya tetap pada deretan rak yang ada di ruangannya.
Melihat Alishia yang diam tanpa merespon, Mirza berjalan dan memeluk wanitanya dari belakang.
“Cie aku di rebutin sampai main jambak-jambakan.” Goda Mirza di telinga Alishia.
Alishia mengendus sebal. “Aku jambak-jambakan sampai kena SP gara-gara Mas, dan Mas malah asyik di ruangan sama perempuan itu,” ketus Alishia dengan nada menyindir.
Satu kecupan Mirza berikan di pipi Alishia. “Mau makan malam bersamaku, sayang?” tawar Mirza.
“Di mana?”
Bukan Mirza jika tidak tergoda untuk memberi tanda kepemilikannya di leher Alishia yang tampak mulus.
Alishia menarik diri dari pelukan Mirza. Ia mencubit pinggang Mirza. “Mas nakal ih, aku enggak bawa salep buat ngilangin bekasnya. Enggak lucu kalau ada yang liat terus ngajak ribut lagi. Aku enggak mau ya sampai kehilangan pekerjaan aku gara-gara ulah Mas.”
Mirza tersenyum menanggapi ucapan kesal Alishia. “Lagian leher kamu doyan banget goda aku. Jadikan akunya ingin.”
“Kan semalem udah, enggak puas apa?” Rajuk Alishia dengan bibir mengerucut. Jam tidurnya berkurang banyak karena Mirza terus meminta ronde selanjutnya meskipun mata Alishia sudah lima wat.
“Ya kan itu semalam, sekarang beda lagi.” Senyum devil yang Mirza tunjukan di hadiahi pukulan di bahunya oleh Alishia.
***
Mirza dan Alishia tengah menikmati makan malam mereka. Mirza membuat beberapa hidangan kesukaan Alishia. Dengan lahap Alishia memakan masakan Mirza.
“Mas, enak ya jadi istri kamu di masakin terus kayak gini,” Ujar Alishia setelah menelan makanan di dalam mulutnya.
“Enggak. Aku enggak pernah masak buat Anggun.”
“Kenapa?”
“Karena dia bukan wanita yang spesial buat aku,” jawab Mirza. Tangannya meraih gelas milik Alishia lalu mengisinya.
Senyuman di wajah Alishia tergambar jelas bahwa hatinya berbunga-bunga.
“Kenapa senyum-senyum? ... awas nanti kesambet.” Ledek Mirza.
Senyuman di wajah Alishia hilang seketika. “Mas bikin aku senang terus kenapa, aku senang jadi wanita spesial buat kamu. Tapi enggak usah nakutin juga kali, aku enggak mau kesambet.”
Mirza menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Ia tahu hal yang di takuti Alishia. Wanita itu takut jika membahas hal mistis karena dulu Alishia pernah kerasukan.
Setelah selesai makan Mirza membawa tasnya. Ia menghampiri Alishia memeluknya dengan sangat erat. “Kamu baik-baik ya, aku pulang dulu.”
Rasanya berat harus membiarkan Mirza meninggalkannya. Andai saja Mirza tidak menikah. Mungkin mereka masih bisa menghabiskan waktu berdua lebih lama.
Mirza mencubit pipi Alishia gemas. “Jangan sedih begitu, aku jadi tidak tega meninggalkanmu sayang.”
Alishia mencoba menampilkan senyumnya. “Hati-hati Mas,” ucap Alishia dengan tulus.
Mirza mengecup kening Alishia lebih lama dari biasanya. Ia tersenyum pada Alishia sebelum berjalan meninggalkan wanita yang sudah mengisi hari-harinya selama dua tahun ini.
***
Pagi itu Mirza tengah fokus membaca beberapa dokumen yang harus ia tanda tangani, namun suara pintu ruangannya yang terbuka memecahkan fokusnya. Perhatian Mirza tertuju pada pintu ruangannya. Ia tersenyum mendapati Papanya yang berjalan menghampiri meja kerjanya.
“Sepertinya kau sedang sibuk,” pernyataan itu di lontarkan oleh Gunawan.
Mirza menutup berkasnya. “Tidak terlalu, bagaimana kabar Papa?”
“Kabar Papa baik. Ada yang ingin Papa tanyakan sama kamu.” Gunawan duduk di kursi tepat di hadapan putranya.
“Soal apa?”
“Papa tahu hubunganmu dengan sekretaris cantik bernama Alishia, seorang anak yatim piatu,” Ujar Gunawan dengan tatapan serius.
Mirza menutup berkas yang sedang ia periksa dan fokus membalas tatapan Gunawan. “Apa ada masalah Pa?”
Gunawan tersenyum lalu menggeleng.
“Menurut Papa sebagai lelaki tidak ada masalah. Tetapi menurut istri dan Ibu kamu itu sebuah masalah.”
Mirza menghembuskan nafasnya kasar.
“Papa menitipkan nama baik keluarga kita padamu, jangan gegabah. Apalagi sampai memancing kemarahan keluarga Anggun. Bermain dengan cantik jangan terlalu menunjukkan ke tidak sukaanmu dengan pergi untuk meniduri wanita lain.”
Mirza mengiyakan permintaan Gunawan. Setiap saran dan masukan yang di berikan Gunawan di dengar baik oleh Mirza. Meskipun dirinya sudah dewasa tapi bukan berarti dia tidak perlu mendengar pengalaman orang tuanya.
“Simpanan Papa pernah hamil?”
Gunawan terkejut mendengar pertanyaan dari anaknya. “Apa Alishia sedang mengandung?”
Mirza menggelengkan kepalanya. “Tidak Pa.”
“Lebih bagus, jangan sampai dia hamil. Jika itu terjadi kamu akan berada di posisi serba salah.”
“Mirza memiliki saudara dari simpanan Papa?”
“Dia cerdas seperti Papa, cantik seperti Ibunya.”
Mirza memperhatikan Gunawan yang terlihat tengah menerawang masa mudanya.
“Ibu tahu?”
“Iya. Ibu murka saat mengetahui hal itu, bahkan ia ingin pergi dari Papa dan membawa kamu bersamanya.”
“Mirza.” Mendengar panggilan Gunawan, Mirza menatap lekat manik Papanya.
“Pada dasarnya tidak ada satu wanita pun yang mau di duakan, atau menjadi simpanan. Kalau kamu bisa melepaskan Alishia, lepaskanlah. Kamu bisa mencari wanita bayaran untuk memuaskan nafsu kamu. Lebih bagus kamu bisa memuaskannya dengan istrimu sendiri.”
Mirza tersenyum kecut mendengar saran dari Gunawan.
“Kamu mencintai Alishia?”
Mirza diam sesaat lalu dengan penuh keyakinan ia mengangguk.
“Sampai kapan pun Ibu tidak mungkin merestui hubungan kalian.”
“Mirza tahu Pa.”
Seorang wanita mengepalkan tangannya saat mendengar percakapan Mirza dan Gunawan melalui monitor di ruangannya yang berhasil menggoreskan luka di hatinya. “Sampai kapan pun sampah tidak akan pernah berubah menjadi berlian!” Maniknya menyala, deru nafasnya terdengar tidak beraturan.
“Kalau begitu Papa pamit, masih ada urusan yang harus Papa selesaikan.”
Mirza bangkit dari duduknya untuk mengantar Gunawan keluar dari ruangannya. “Hati-hati Pa,” ucap Mirza saat mereka berada di depan ruangan Mirza.
Mirza terkejut mendapati Alishia yang menghampiri kami dan menunduk memberi hormat kepada Papanya.
“Senang sekali bisa bertemu om kembali, bagaimana kabar om baik-baik saja?” Ujar Alishia sambil tersenyum ramah.
Gunawan tersenyum ke arah Alishia. “Kabar om baik-baik saja, jaga Mirza baik-baik kalau dia nakal pukul saja kepalanya.” Alishia tersenyum menanggapi candaan om Gunawan.
Mirza dan Alishia menatap kepergian Gunawan yang menghilang di balik lift. Mirza menarik tangan Alishia memasuki ruangannya.
“Sejak kapan kamu akrab dengan Papa, sampai memanggil om.” Sejak menjalin hubungan dengan Alishia Mirza tidak pernah sekalipun mengenalkan Alishia pada Gunawan, begitu juga selama di kantor ia tidak pernah melihat Alishia berinteraksi dengan Papanya. Lalu di mana mereka bisa kenal dan terlihat akrab.
Alishia tersenyum malu-malu di hadapan Mirza. “Udah lama.”
“Jangan bercanda!”
Dari suaranya Alishia menangkap nada tegas yang keluar dari mulut Mirza. “Kenapa Mas ada yang salah kalau aku kenal sama Om Gunawan?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments