Jebakan Batman

Dari suaranya Alishia menangkap nada tegas yang keluar dari mulut Mirza. “Kenapa Mas ada yang salah kalau aku kenal sama Om Gunawan?”

Manik Alishia menyipit kala Mirza menatapnya tajam, hembusan nafas keluar dari mulutnya. “Mas gak usah cemburu sama Om Gunawan, aku tidak mungkin memiliki hubungan dengan orang tua dari pria yang aku cintai.”

Mulut Mirza masih tertutup rapat, tidak menanggapi ucapan Alishia. Namun maniknya masih menatap tajam kekasihnya.

“Aku pernah kerja sama Om Gunawan, hampir satu tahun.” Ada jeda sepersekian detik karena Alishia masih menunggu reaksi Mirza.

“Membantu mengawasi usaha om Gunawan di kampungku,” lanjut Alishia.

“Papa memiliki usaha di kampung kamu?”

Alishia mengangguk kecil. “Iya, katanya om Gunawan ingin membantu perekonomian di sana. Sampai akhirnya aku di beri tawaran untuk kerja di sini.”

“Pantes kamu udik, lugu. Dari kampung ternyata,” ledek Mirza dengan senyum menyebalkan.

Dengan gemas Alishia mencubit perut Mirza. “Gara-gara Mas aku jadi wanita liar,” ketusnya sambil menambah tekanan pada cubitan di perut Mirza.

“Lepas! Tidak sopan kamu pada atasan.”

Alishia melepaskan cubitannya, ia menatap nyalang pada Mirza sebelum berjalan kembali ke ruangannya. Sementara Mirza tersenyum melihat tingkah Alishia yang tidak bisa berkutik.

Kepingan kejadian sedikit berputar di kepala Mirza saat mengingat kembali bagaimana mereka menjalin hubungan yang tidak jelas ini. Wanita lugu dari desa begitu malu-malu di bawah kukungan tubuhnya. Semburat merah di pipi Alishia masih Mirza ingat dengan baik, wanita lugu itu kini pandai memuaskannya di atas tempat tidur. Saling menguntungkan dan memberi kepuasan satu sama lain.

Mirza bersiap untuk pulang, jam pulang kantor sudah lewat 30 menit. Namun ia baru bisa pulang setelah pekerjaannya selesai.

Dering telepon menghentikan aktivitasnya yang ingin mengambil tas kerja, saat sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

“Ibu,” ucap Mirza pelan kala melihat siapa yang meneleponnya. Tanpa menunggu lebih lama ia menekan tombol berwarna hijau.

“Iya, Bu. Ada apa ?”

“Mirza cepat pulang, ibu dan Anggun sudah masak makanan kesukaanmu.”

“Mirza lembur hari ini Bu,” bohong Mirza. Sebetulnya ia ingin mengajak Alishia makan malam bersama, untuk menebus keusilannya siang tadi. Wanita itu pasti merajuk, karena ulah jahil yang ia lakukan.

“Apa tidak ada waktu sedikitpun? ... Padahal ibu sudah menyempatkan waktu memasak untukmu.”

Helaan nafas keluar dari mulut Mirza dengan perlahan. Ia tidak bisa menolak jika ibunya mengeluarkan jurus andalan dengan suara yang memelas.

“Baiklah Mirza akan segera pulang.”

Setelah panggilan terputus Mirza berjalan keluar ruangannya, ia melirik ruangan Alishia yang tampak bagian pintunya terbuka sedikit. Ia ingin mengantar Alishia pulang namun saat berjalan menuju ruangan Alishia, kekasihnya itu terlihat sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya.

Mirza mengurungkan niat, ia berjalan menuju parkiran. Sesampainya di mobil ia memesan makanan untuk teman Alishia lembur malam ini. Setidaknya ia bisa memastikan kekasihnya itu tidak terlambat makan.

Alishia tengah fokus pada tumpukan berkas di hadapannya, namun perhatiannya teralihkan saat seseorang mengetuk pintu ruangannya.

“Masuk,” perintah Alishia.

Seorang Office boy masuk tersenyum pada Alishia. “Bu, ini makanan pesanannya.”

Dahi Alishia mengernyit, ia merasa tidak memesan makanan. Namun sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya.

Mirza

[Selamat makan sayang, maaf aku tidak bisa menemanimu malam ini. Ibu memintaku untuk menemuinya.]

Alishia menerima makanan tersebut, “Terima kasih.”

Setelah pamit office boy tersebut meninggalkan ruangan Alishia.

Wajah Alishia tampak senang melihat makanan kesukaannya yang sengaja di pesan Mirza. Pria itu memang selalu perhatian padanya, bagaimana Alishia bisa menahan rasa jatuh cintanya jika sikap manis Mirza selalu berhasil membuat hatinya berbunga-bunga.

Mirza baru saja memarkirkan mobilnya ke garasi, saat hendak turun dari mobil ponselnya berdering tanda pesan masuk. Wajahnya berseri saat mendapat pesan singkat yang di kirim Alishia berupa ucapan terima kasih di ikuti emoticon kuning membentuk sebuah ciuman.

Rasa kesalnya lenyap sudah, dengan wajah bahagia ia masuk ke dalam di sambut oleh ibu serta Anggun.

“Sudah pulang Mas,” sapa Anggun sambil menghampiri Mirza untuk mengambil tas yang di pegang suaminya.

Mirza hanya menanggapi dengan sebuah anggukan, lalu berjalan menuju sang ibu seraya memeluk ibunya sebentar.

“Ibu tumben ada di sini, Papa tidak ikut?” tanya Mirza setelah memastikan dengan bola matanya tidak ada Papa.

“Papa tidak ikut, dia bilang masih ada pekerjaan yang harus di urus.”

“Kalau gitu Mirza mau bersih-bersih badan dulu Bu.”

“Jangan terlalu lama, takut makannya keburu dingin.”

Senyum yang tidak pernah Mirza lihat dari ibunya, senyum tulus tanpa sebuah kepalsuan. Mirza berjalan menuju kamarnya, ia membersihkan tubuhnya. Setelah berpakaian santai ia berjalan ke meja makan. Di sana sudah ada Anggun dan ibu yang menunggu.

Anggun tampak berbeda malam ini, make-up tebal yang biasa ia kenakan kini hilang di gantikan make-up tipis yang tidak terlalu berlebihan seperti biasanya.

Dengan telaten Anggun mengambil makanan untuk Mirza, hingga piring yang di pegannya sudah terisi nasi serta lauk kesukaan Mirza yang di masak oleh ibu mertua serta dirinya.

Makan malam itu hening tanpa ada yang bersuara, mereka sibuk dengan makanan yang sedang di lahapnya.

Setelah makan malam usai Mirza pamit untuk ke ruang kerjanya, ia berdalih masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan malam ini juga.

Sudah satu jam lebih Mirza duduk di ruangannya sibuk memperhatikan CCTV yang menampilkan wanitanya yang tengah sibuk dengan tumpukan berkas.

Sampai ruangannya di ketuk seseorang, ia segera membuka email kantor dan menghilangkan jejaknya yang memperhatikan CCTV.

“Masuk!”

Pintu terbuka Mirza tersenyum saat melihat sang ibu yang datang dengan sebuah nampan berisi teh hangat serta kue kacang kesukaannya.

Mirza mencicipi makanan yang di bawakan ibunya, rasanya masih sama seperti dulu. Sudah satu tahun lebih ia tidak memakan kue kacang yang di buat ibunya. Dengan lahap Mirza menghabiskan kue kacang yang ada di dalam toples. Tidak lupa teh hangat yang bahkan hampir tandas, karena menjadi teman kue.

“Mirza,” panggilan dari sang ibu menghentikan aktivitas Mirza sejenak.

“Iya, Bu.”

“Kamu tidak membawa Anggun ke dokter kandungan, untuk program kehamilan. Ibu sudah tidak sabar ingin menggendong cucu.”

Tangan yang hendak mengambil kue kacang Mirza urungkan. Ia menatap sang ibu dengan serius.

“Pernikahan Mirza dan Anggun bahkan belum seumur jagung. Kita belum saling mengenal lebih dekat, apalagi memikirkan soal keturunan,” jawab Mirza mencoba mencari alasan. Yang pasti ia belum siap kalau harus menjadi ayah anak dari Anggun wanita yang bahkan tidak ia cintai.

“Jangan terlalu lama saling mengenalnya, ibu sudah tidak sabar menggendong cucu pertama,” ucap sang ibu dengan wajah penuh harapan.

“Mirza tidak bisa janji Bu,” jawab Mirza tanpa memberikan kepastian. Ia takut ibunya akan terus mendesak jika Mirza menyanggupi keinginan ibunya.

“Baiklah, kalau begitu ibu mau pamit pulang ya.”

“Mirza antar Bu,” tawar Mirza. Ia khawatir jika sang ibu pulang sendirian.

“Tidak usah, Papa sudah menunggu Ibu di depan.”

Mirza mengikuti langkah ibunya sampai ke pintu depan. Ia melihat mobil Papanya yang terparkir di depan gerbang rumahnya.

“Hati-hati Bu,” ucap Mirza.

Ibunya tersenyum dan melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil. Mirza masuk kembali ke dalam rumah, ia kembali ke ruangannya menghabiskan teh yang masih tersisa.

Lima menit berlalu, tubuhnya terasa panas. Gairah dalam dirinya bergejolak di iringi bagian bawahnya yang ikut bereaksi.

Tanpa suara ketukan pintu, ruangan kerjanya terbuka menampilkan tubuh Anggun yang memakai lingerie berwarna merah darah yang tampak kontras di tubuh putihnya. Make-up tipis membuatnya terlihat lebih manis dari biasanya.

Dengan sengaja Anggun berjalan dengan gaya catwalk menuju ke arah Mirza memamerkan tubuh seksinya, sambil tersenyum menggoda.

Sementara Mirza hanya mampu membeku di tempatnya, gairah di dalam tubuhnya seakan menguasai otaknya. Apalagi bisikan Anggun di telinganya bagaikan hipnotis yang tidak bisa Mirza tolak.

Tanpa membuang waktu Mirza menarik Anggun ke dalam pangkuannya, ia melahap bibir Anggun penuh nafsu.

Sementara hati Anggun bersorak gembira melihat Mirza yang tidak mampu menolaknya. Rencana ibu mertuanya berhasil, ia harus memastikan Mirza menanamkan benih di dalam dirinya.

Rencana yang sudah Anggun dan ibu Mirza harus membuahkan hasil. Karena menurut dokter hari ini adalah masa suburnya, kemungkinan besar ia bisa mengandung benih Mirza.

Mirza sudah terkapar lemah di sofa ruang kerjanya, sementara Anggun tersenyum bahagia karena ia mendapatkan apa yang di inginkannya.

Setelah memastikan Mirza tertidur pulas, Anggun membawa selimut dari kamar dan menyelimuti Mirza. Ia keluar dan kembali ke kamar, meraih ponselnya dan mengirimkan aktivitas panasnya bersama Mirza ke nomor Alishia.

Wajah bahagia Anggun berkali-kali lipat dari biasanya. Semua rencananya berhasil, semoga saja wanita simpanan Mirza itu pergi setelah melihat video yang di kirimkannya. Tangan Anggun bergerak membelai perut datarnya.

“Bertumbuhlah dengan baik, ibu tidak sabar menunggu kabar baik darimu sayang.”

Terpopuler

Comments

Robiah

Robiah

Wah

2023-07-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!