Alishia duduk dengan perasaan gelisah di samping Mirza, ia hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berani memandang wajah ibu Mirza dan Om Gunawan.
Melihat Alishia yang hanya menunduk tanpa berani mengangkat kepalanya Mirza menggenggam tangan Alishia.
Alishia merasakan hangatnya genggaman Mirza, rasa gugupnya sedikit berkurang.
Melihat pemandangan yang tidak seharusnya, ibu Mirza mendeham di ikuti tatapan tidak suka.
Dehaman dari ibunya bagaikan angin lalu, setelah merasa kehilangan kesabaran ibu Mirza bersuara dengan nada kesal “Mirza kau ini sudah beristri!”
“Iya Bu aku tahu,” jawab Mirza dengan nada santai.
“Jelaskan sekarang Mirza, untuk apa kalian datang kemari?” kali ini Om Gunawan angkat bicara. Ia tidak ingin ada keributan di rumah ini.
“Aku dan Alishia akan menikah secepatnya,” jawab Mirza dengan penuh keyakinan.
“Apa!”
Teriakan melengking yang keluar dari mulut ibu Mirza semakin membuat tubuh Alishia panas dingin. Semua ini tidak semudah yang Mirza ucapan demi menenangkan hatinya, apalagi Alishia tahu betul ibu Mirza sangat tidak menyukai dirinya.
“Iya Bu Mirza akan menikah dengan Alishia,” jawab Mirza.
Ibu Mirza berdiri dengan amarah yang membara. “Kau ini gila, apa yang akan di katakan semua orang tentang pernikahanmu dengan Anggun, apa kamu tidak memikirkan perasaan Anggun?”
Mirza berusaha menenangkan hatinya yang mulai bergejolak, ia tahu betul ibunya tidak akan setuju dengan rencananya. “Alishia sedang mengandung darah dagingku, dan aku akan bertanggung jawab.”
“Anak yang di kandung pelacur itu hanya akan menjadi aib untuk keluarga kita, gugurkan saja. Ibu tidak akan pernah sudi memiliki cucu dari seorang pelacur!” setelah mengeluarkan emosinya yang tidak terbendung lagi, ibu Mirza hendak berjalan meninggalkan ruang tamu.
Mirza beranjak dari duduknya, sambil menarik tangan Alishia agar ikut berdiri bersamanya. “Ibu jangan pernah menyebut Alishia seorang pelacur. Ada restu atau tanpa restu Mirza akan tetap menikahi Alishia!”
Bagaikan sambaran petir ibu Mirza menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan Mirza. Ia berbalik menatap tajam anaknya, dan wanita pelacur yang berhasil merusak rumah tangga anaknya.
“Mirza!” bentak ibu Mirza dengan wajah memerah menahan amarah.
Mirza tidak mengindahkan bentakan sang ibu, ia memandang ayahnya sejenak. “Mirza ke sini hanya ingin menyampaikan itu saja, permisi!”
Dengan langkah tegapnya Mirza berjalan keluar seraya menggandeng tangan Alishia.
Alishia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, ia berjalan mengikuti langkah Mirza.
“Dasar anak kurang ajar!”
Om Gunawan tidak tinggal diam saat melihat istrinya yang membawa gelas berisi air hendak berjalan menyusul Mirza.
“Papa tidak perlu menghalangi aku, aku tidak Sudi memiliki menantu pelacur seperti dia!”
Om Gunawan tidak melepaskan tangannya istrinya. “Mirza sudah dewasa, dia berhak memilih pilihannya sendiri!”
Wajah istrinya tampak memerah padam, om Gunawan bisa melihat guratan rasa kecewa di wajah istrinya.
Ibu Mirza semakin erat menggenggam gelas yang ada di tangannya. Ia menyiram wajah suaminya tanpa rasa takut. Rasa hormat kepada suaminya seakan hilang karena rasa kecewanya.
“Aku tidak akan pernah membiarkan Mirza mengikuti langkah busukmu!”
Setelah merasa puas melampiaskan amarahnya, ibu Mirza berjalan meninggalkan suaminya yang masih mematung di tempatnya dengan keadaan wajah yang basah karena ulah dirinya.
“Alishia jangan harap kau bisa mendapatkan semuanya, karena saya tidak akan pernah membiarkan wanita pelacur menang!” Batin ibu Mirza dengan penuh tekad yang kuat.
***
Mobil yang Mirza kendarai membelah jalanan yang tampak lenggang.
Tidak ada satu pun suara yang memecah keheningan yang menyelimuti. Mirza dan Alishia sama-sama bungkam, kepala mereka di sibukkan dengan pikirannya masing-masing.
Tenggorokan Alishia terasa kering padahal sejak tadi dirinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, di rumah Mirza pun ia tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan suaranya meskipun sekedar untuk berpamitan.
Dada Alishia masih bergemuruh hebat, karena ulahnya ia telah membuat Mirza menjadi seorang anak durhaka.
Alishia mencoba mengeluarkan suaranya. “Mas sepertinya kita harus membatalkan rencana pernikahan kita.”
Mirza menghentikan laju mobilnya dengan mendadak, meskipun suara Alishia sangat kecil namun telinganya masih bisa mendengar dengan jelas apa yang kekasihnya katakan.
“Aw,” keluh Alishia saat jidatnya membentur dashboard mobil.
Mirza menengok ke arah Alishia dan mengikis jarak di antara mereka untuk melihat keadaan jidat Alishia.
“Maaf, sakit ya?” ujar Mirza seraya meraba jidat Alishia yang tampak merah.
Alishia mendorong tubuh Mirza agar menjauh darinya. “Aku enggak bisa melanjutkan hubungan ini, apalagi harus menikah.”
Mirza menarik tangannya dan menatap tajam Alishia. “Apa maksud kamu?”
“Aku tidak ingin membuat hubungan Mas dengan ibu hancur hanya karena aku, dan aku tidak ingin melukai hati Anggun lebih jauh karena pernikahan kita,” jujur Alishia.
Mirza menghentikan mobilnya di pinggir jalan, dia tidak ingin mengambil risiko. “Jangan egois Alishia, janin yang kamu kandung membutuhkan aku sebagai ayahnya,” suara Mirza mulai meninggi dia tidak ingin Alishia gegabah.
“Dia tidak akan membutuhkan siapa pun, karena dia tidak akan pernah hadir ke dunia ini!” Air mata Alishia jatuh begitu saja, ia keluar dari mobil Mirza dan berlari menjauh.
Mirza terpaku mendengar ucapan Alishia, bagaimana pun kehadiran janin Alishia adalah darah dagingnya. Bahkan ia rela menghilangkan rasa takut di hatinya demi janin itu, tapi apa yang Alishia katakan benar-benar menohok hatinya.
Alishia menghentikan taksi.
“Ke apartemen x” ucap Alishia.
Sopir taksi yang di tumpangi Alishia tidak banyak bertanya saat melihat penumpangnya berurai air mata, ia melajukan mobilnya sesuai tujuan.
Melihat taksi yang membawa Alishia mulai melaju, Mirza menyalakan mobilnya dan mengikuti ke mana pun taksi itu melaju.
Sesampainya di apartemen Alishia melempar tasnya, ia berjalan menuju kamar mandi.
Ia menyalakan shower. Air yang dingin seketika membasahi tubuhnya, Alishia berusaha menghentikan tangis dengan memejamkan matanya.
Ucapan ibu Mirza yang mengatainya seorang pelacur terus terngiang-ngiang di kepalanya. Alishia merasa sangat hina, apalagi kini di perutnya terdapat janin yang tidak di inginkan siapa pun termasuk dirinya kecuali Mirza.
Alishia teringat kembali raut wajah Mirza yang tampak berbinar saat dokter menunjukkan gumpalan hitam di layar monitor saat melakukan USG.
Alishia membuka matanya, netranya tampak kemerahan. Satu butir bening yang keluar dari kelopaknya pun jatuh bersamaan dengan air shower yang masih menyala. Ia kembali teringat ucapan ibu Mirza yang mengatai janinnya hanya lah aib.
Tangan Alishia meraba perutnya, “Seharusnya kamu tidak pernah hadir ke dunia ini!”
Tangis Alishia pecah seketika, rasanya semua beban berat menumpuk di punggungnya. Sampai saat ini Alishia belum mendapatkan petunjuk siapa ayah Ariana, karena seingatnya dulu saat kecil Alishia sangat gembira saat ibunya melahirkan Ariana. Kini ia baru sadar kalau Ariana terlahir tanpa seorang ayah, karena ayah Alishia meninggal saat dirinya berusia lima tahun.
***
Kalau menurut kalian Alishia harus mempertahankan janinnya atau menggugurkannya ?
Aku tunggu jawabannya di kolom komentar 😊
Sampai jumpa di bab selanjutnya 💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Naila Putri
diperthnkn aja othor
2023-08-02
0