Anugrah

Saat jam kantor sudah usai, Alishia segera beranjak dari ruangannya. Ia berjalan dengan cepat keluar dari kantor tanpa memedulikan tatapan mata orang-orang yang menggunjingkan dirinya.

Mimpi buruk ini akan segera berakhir, dan Alishia yakin dengan pilihannya.

Alishia terkejut saat tangganya di tahan oleh seseorang, ia menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang untuk melihat siapa yang mencekal tangannya.

“Adam,” ucap Alishia dengan wajah terkejutnya. Ia menarik tangannya yang masih di genggam Adam.

“Sorry, aku rasa kamu membutuhkan bantuanku ... Aku siap bertanggung jawab dan menikah denganmu,” ujar Adam seraya tersenyum.

Alishia tersenyum masam mendengar ucapan konyol Adam. “Aku rasa kepala kamu kebentur benda keras, dan harus di bawa ke rumah sakit ... Aku tidak membutuhkan pahlawan kesiangan.”

Alishia kembali melanjutkan langkahnya menuju sebuah taksi online yang sudah di pesannya.

Sesampainya di lantai apartemennya terdapat seorang pria yang tengah berdiri di depan pintu mengenakan seragam kurir.

“Dengan ibu Alishia?” tanya kurir tersebut sambil tersenyum ramah saat Alishia menghampirinya.

“Iya, ada perlu apa pak?”

Kurir tersebut menyerahkan paper bag ke pada Alishia. “Ini ada kiriman dari ibu Sintia.”

Alishia menerima paper bag tersebut. “Baik pak, terima kasih.”

Setelah kurir tersebut berpamitan Alishia masuk ke dalam apartemennya. Ia duduk di sofa ruang tamunya.

Alishia mengeluarkan isi paper bag tersebut berisi air putih serta satu kotak mini transparan berisikan beberapa butiran obat yang harus di minumnya.

Keheningan menyelimuti dirinya, Alishia hanya memandangi kotak obat tersebut. Ia memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan hatinya yang mulai berdebar cepat.

Helaan nafas yang berulang-ulang terus keluar dari mulut Alishia.

Alishia  membawa kotak obat mini tersebut ke dalam genggaman tangannya. Suara dering telepon dari dalam tasnya mencuri perhatian Alishia.

Alishia merogoh tasnya untuk melihat siapa yang menelepon dirinya.

Saat mendapati nama sang adik yang tertera di layar ponselnya, Alishia segera menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.

“Hallo Ariana,” sapa Alishia.

Alishia terkejut saat mendengar suara Ariana yang tampak menangis di seberang sana.

“Ana ada apa? ... kenapa kamu menangis?” tanya Alishia dengan nada khawatir.

Alishia memfokuskan dirinya untuk mendengarkan ucapan Ariana yang sedikit terbata-bata karena berbicara sambil menangis.

[Ka ... Ana mau tinggal sama Ka-ka di sana. A-ana sudah enggak sanggup tinggal di sini, mereka terus mengatai Ana ... Ap-apalagi mereka tahu kalau Kaka tengah hamil di luar pernikahan. Me-mereka bilang keluarga ki-kita para wanita pe-pelacur penghasil a-anak haram.]

Dada Alishia sesak seketika bagaikan ada benda tumpul yang menghantam dadanya. Air mata Alishia jatuh mendengar ucapan Ariana.

“Ana jangan dengarkan ucapan mereka, kakak tidak hamil. Kalau Ana ingin tinggal di sini, Kaka akan urus nanti jika pekerjaan Kaka tidak terlalu padat ... Ana jangan menangis lagi ya, Kaka sayang Ana.”

[Janji ya ka, Ana sudah bosan mendengar hinaan mereka. Maaf kalau Ana mengganggu Kaka.]

Setelah memutuskan panggilan tersebut Alishia membuka kotak obat. Ia sangat yakin dengan keputusannya, semuanya akan lebih baik tanpa kehadiran janin yang ada di rahimnya.

Alishia hampir saja memasukkan obat tersebut ke dalam mulutnya, namun sebuah tangan menepisnya hingga obat yang hampir ia minum jatuh berserakan ke lantai.

“Mas,” cicit Alishia.

“Obat apa yang hampir kamu minum itu?” tanya Mirza.

Dari suaranya Alishia tahu Mirza menyimpan sebuah amarah. Alishia hanya diam menundukkan kepalanya.

Mirza duduk di samping Alishia, di raihnya dagu sang kekasih agar menatap wajahnya.

“Apa kamu benar-benar ingin melenyapkan darah daging kita?”

Melihat satu butiran bening jatuh dari kelopak mata kekasihnya, Mirza sangat yakin Alishia terpaksa melakukan ini semua.

Mirza melihat semua rekaman cctv di lobby saat Anggun mempermalukan Alishia. Mirza juga melihat Alishia yang menangis di balik pintu ruangannya.

Belum lagi sikap Alishia yang tidak seperti biasanya membuat Mirza sedikit curiga saat Alishia terburu-buru pulang dan memilih pulang sendiri menggunakan taksi online, padahal tadi pagi Alishia berangkat bersamanya.

Mirza membawa Alishia ke dalam pelukannya, di usapnya kepala bagian belakang Alishia dengan perlahan.

“Aku sudah mengurus akad nikah kita, untuk resepsinya aku harus menemui orang tua Anggun terlebih dahulu,” ujar Mirza menjelaskan. Ia berharap Alishia lebih tenang dari sebelumnya.

“Bukan pernikahan yang aku inginkan Mas. Aku hanya ingin hidup tenang, aku tidak sekuat itu mendengar hinaan dan tatapan menjijikkan yang mereka berikan padaku,” ucap Alishia. Air matanya tidak bisa ia bendung kembali, semua hinaan itu terasa berputar di kepalanya.

Alishia teringat pada Ariana, baru satu hari saja Alishia mendapat hinaan seperti ini hatinya terasa hancur. Bagaimana dengan perasaan Ariana yang terus menerus mendengar hinaan dari orang-orang.

“Aku juga tidak ingin Ariana mendapat hinaan karena ulahku.”

Mirza mengecup kening Alishia, lalu di tatapnya manik kekasihnya yang berderai air mata.

“Janin yang tumbuh di rahimmu, adalah anugerah sayang. Dia tidak pernah meminta untuk tumbuh di rahimmu, kita juga sudah melakukan KB. Cacian serta hinaan orang-orang adalah ujian untuk kita, mungkin ini jalan rumit yang harus kita tempuh sebelum pernikahan kita. Maaf, aku baru menyadari perasaan ini, aku mencintaimu Alishia ... Mungkin terdengar sangat terlambat, seharusnya aku tidak membiarkan pernikahanku dengan Anggun terlaksana. Tapi semuanya sudah terjadi, aku hanya harus berjuang lebih keras lagi demi janin yang ada di rahimmu ... Alishia apa kamu mau menemani aku berjuang sedikit lagi, demi kita dan demi janin kita?”

Alishia menatap manik hitam milik Mirza, ia mencoba mencari sebuah kebohongan di sana. Setelah mengamati wajah Mirza, Alishia yakin apa yang di ucapkan Mirza sebuah kejujuran.

“Aku takut Mas,” cicit Alishia pelan.

Mirza mengecup bibir Alishia sekilas, lalu kembali menatapnya. “Kamu tidak perlu takut, aku akan selalu ada di sini bersamamu.”

“Janji?”

Mirza mengangguk lalu memeluk Alishia erat. Ada rasa lega di hatinya telah jujur pada Alishia tentang perasaannya.

“Mas,” panggil Alishia tanpa melepas pelukan mereka.

“Iya.”

“Ariana ingin tinggal di sini.”

Mirza melepaskan pelukan mereka lalu menatap wajah Alishia. “Kenapa? Bukannya adikmu masih sekolah.”

Alishia menundukkan kepalanya, perasaan sedih kembali menyelimuti hatinya. “Ariana sering mendapat hinaan dari teman-temannya, di tambah karena masalah kehamilanku mereka semakin menjadi dan mengatai keluarga kami pelacur penghasil anak.”

Mirza membelai pipi putih milik Alishia, “Maaf, karena ulahku adikmu jadi ikut terseret dalam masalah ini.”

Alishia menggelengkan kepalanya.

“Semua ini bukan salah Mas, ada sesuatu yang belum Mas tahu tentang Ariana.”

“Apa itu?” tanya Mirza penasaran.

Alishia mulai menceritakan tentang kehidupannya saat Ariana lahir ke dunia setelah ayahnya meninggal.

“Apa Mas mau membantu aku menemukan Ayah kandung Ariana?”

Mirza mengangguk, “Iya aku akan membantumu. Setelah kita menikah aku akan membantu kepindahan Ariana kemari.”

Alishia tersenyum lega, ia kembali memeluk Mirza. “Terima kasih Mas.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!