VABEI
-Bei-
Hari ini sudah sangat melelahkan bagiku. Walaupun pekerjaanku hanya sebagai security disebuah perusahaan swasta yang setiap hari memandangi monitor cctv hingga mataku merah dan terasa akan keluar dari tempatnya.
Aku berjalan pulang menyusuri jalan sepi, walaupun sekarang jam 21.30 tapi jalan antara perusahaan dan rumahku memang sepi, terlalu sepi menurutku. Hmm, aku tiba-tiba teringat adik perempuanku Ebi. Apa dia sudah dirumah? Kira-kira Ebi sudah makan atau belum,ya?
Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan segera mencari nomor telpon dan menghubungi adik perempuanku satu-satunya itu.
“Halo, bang” suara adikku dari seberang telepon.
“Halo, Ebi. Dimana? Udah makan belum?”
“Dirumah, aku udah makan kok, bang. Abang gimana?”
“Abang juga udah makan, tadi dibeliin tempat abang kerja.”
“Oke deh, Abang hati-hati kalo pulang.”
“Ini masih dijalan. Bentar lagi sampek. Inget ya, jangan--”
“Jangan buka pintu kecuali abang. Iya bang. Ebi bukan anak kecil lagi.” Suara diseberang telepon memotong ucapanku, kemudian panggilan pun ditutup sepihak oleh Ebi, sepertinya dia kesal karena aku memberinya jam malam. ”Jam 8 malam harus sudah ada dirumah walau abang belum pulang!” itulah yang dulu aku katakan padanya ketika Ebi pertama kali diajak keluar oleh teman barunya dari kampus. Aku tidak peduli meski dia akan marah, yang lebih aku khawatirkan adalah jika tiba-tiba dia diculik oleh orang jahat dan meminta tebusan yang sangat jelas bahwa aku tidak punya uang untuk menebusnya.
Aku dan Ebi sering tinggal berdua dirumah, walaupun ada paman Jarot yang menjaga kita dari kecil, tapi dia jarang berada dirumah. Sudah bisa ditebak paman lebih memilih tinggal dibar judi dari pada bersama kedua keponakan yang meninggalkan warisan hutang dari orangtua kami yang sudah lama meninggal, dan rumah kami sering didatangi penagih hutang yang seringkali mendobrak paksa pintu rumah dan mengancam kami, walau dari setelah orang tuaku meninggal sampai sekarang aku berusaha melunasi sedikit demi sedikit hutang kami tapi bunga yang mereka berikan sangat tinggi dan membuat aku seperti tidak melunasi hutang itu sama sekali.
…
..
.
Aku bangun sekitar jam 7 pagi dan sepertinya Bei sedang bersiap berangkat ke kampusnya. Untungnya Bei dapat beasiswa prestasi dari perusahaan tempatku berkerja dan bisa berkuliah dikampus dekat rumah kami, sehingga kami bisa berhemat. Perusahaan tempatku bekerja bergerak dibidang penyimpanan dan wadah dari ekspor impor, untungnya ada juga beberapa anak dari pegawai yang juga mendapat beasiswa berprestasi dan beasiswa tidak mampu dari perusahaan itu. Aku sangat berterimakasih kepada pemimpin perusahaan walaupun aku belum pernah bertemu dengannya.
Aku keluar dari kamar dan menuju meja makan untuk menuangkan segelas air dan meneguknya, bangun tidur paling enak meneguk segelas air dingin. Ebi keluar dari kamarnya dan melihatku yang sedang duduk dikursi meja makan, dengan isyarat aku menawarinya untuk duduk dulu tapi Ebi mengeleng dan terlihat tergesa-gesa.
“Abang bikinin sarapan dulu gimana?” tanyaku pada Ebi yang dengan tergopoh-gopoh memakai sepatu lusuhnya.
“Gak dulu deh, Bang. Nanti Ebi beli diluar, udah telat Ebi harus nyiapin presentasi pagi ini.” Ebi bergegas keluar dari rumah tanpa berpamitan. Tapi meski begitu aku sudah paham dan tau kapan jadwalnya akan pulang, setidaknya sekarang aku bisa kembali tidur sampai jam 3 sore.
Aku terbangun jam 1 siang, suara panggilan telepon membangunkanku dari tidur panjangku. Aku menatap layar ponselku dengan mata memicing karna silau, namun aku segera melotot melihat siapa yang memanggil. ****!! pasti ada yang tidak beres karena kepala keamanan tiba-tiba menelfon sebelum sift ku.
“Siang, Komandan.” aku menjawab panggilan tersebut dengan sedikit takut tapi aku menegarkan suaraku agar tidak terlihat nervous.
“Pergi ke ruang keamanan, SEKARANG!” Tut--! panggilan ditutup sepihak. Aku menggigit bibir bawahku, sepertinya masalah akan datang kepadaku saat ini. Dengan terburu-buru aku mencuci wajah dan segera berganti dengan pakaian rapi menuju keperusahaan. Entah apa yang menungguku disana tapi aku berdoa semoga semua baik-baik saja.
Begitu aku sampai di ruang keamanan, aku melihat beberapa orang berdiri dengan pandangan tertunduk dan sikap yang kaku, didepan mereka kepala keamanan sedang duduk sambil melihat monitor dengan wajah frustasi.
Aku masuk dan menutup pintu dengan pelan, kemudian cepat-cepat ikut berdiri berbaris bersama yang lain.
“Jadi siapa yang mau bertanggung jawab?” tanya kepala keamanan kepada kami, aku yang baru tiba dan tidak tahu apa situasinya hanya bisa melirik orang-orang disampingku. Suasana masih hening, tidak ada yang menjawab pertanyaan dari kepala keamanan. Aku benar benar tidak tahu apa situasinya sekarang, tapi sepertinya ini waktu yang tepat untukku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Maaf, Pak. saya yang bertanggung jawab atas pengawasan cctv kemarin.” aku memberanikan diri, setelah itu semua mata tertuju padaku, sebenarnya apa salahku?
“Apa kamu tau kesalahan kamu?” aku menggeleng, tentu saja aku tidak tahu karena tidak diberi tahu.
“Ditemukan beberapa stok barang hilang dari gudang beberapa hari ini, dan itu terjadi setiap jam yang bertepatan dengan pembongkaran barang baru. Jadi, apa kamu masih mau bertanggung jawab?” Aku meggigit bibir bawahku karena telah bertingkah bodoh tanpa tahu apa yang sedang dihadapi. Aku melirik rekan-rekan sesama security disampingku, tapi mereka memalingkan muka seolah tidak ingin ikut campur padahal kejadian ini pasti tidak hanya terjadi saat siftku saja. **** them!!
“Maaf, pak. Tapi apakah hanya saya yang harus bertanggung jawab?”
“Rekan-rekanmu tidak ada yang merasa bertanggung jawab. Jadi apa yang perlu saya ributkan lagi?” kepala keamanan seolah dengan mudah mengatasi semua ini dengan mudah. Aku mengumpat dalam hati kenapa sekarang aku menjadi kambing hitam atas pernyataanku.
“Saya sedikit keberatan, kenapa hanya saya yang akan menanggung kesalahan tersebut?” aku memberanikan diri bertanya atas rasa keadilan untuk diriku. Kepala keamanan berdiri dari kursinya.
“Saya beri kalian waktu berdiskusi sampai jam 7 malam. Setelah itu datang keruangan pimpinan untuk membicarakan konsekuensi.” setelah berkata seperti itu kepala kemanan pergi dari ruangan, barisan rekan kerja juga ikut membubarkan diri mereka. Tidak ada yang menanyakan sesuatu padaku, tidak ada yang menawarkan diri mereka untuk bertanggung jawab bersamaku.
…
..
.
Aku melangkahkan kakiku dengan lesu menelusuri jalan pulang, sudah bisa ditebak apa yang telah terjadi padaku. Tentu saja aku dipecat! Ekspetasi apa yang aku harapka dari rekan kerja yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Jika aku bisa memutar waktu seharusnya aku juga harus terlihat bodoh dan polos agar tim investigasi perusahaan yang menangani semua ini, tapi karena sudah ada orang bodoh sepertiku yang mau bertanggung jawab perusahaan tidak mau repot-repot mengeluarkan uang lebih untuk menyelidiki kasus yang menurutku terbilang besar dengan kerugian yang banyak. Oh ****! Stupid me!
Dan apa yang menurutku menyebalkan dan mencurigakan adalah pimpinan yang memanggilku keruangannya, dia tidak banyak bicara dan hanya duduk dikursi sambil membelakangi seisi ruangan dia hanya berbicara menggunakan isyarat jari, dan anehnya sekertarisnya bisa menerjemahkannya. Wow! Sungguh aku sepert diperlakukan seperti hantu, dia bahkan tidak bicara langsung denganku.
Sambil berjalan, aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku, bermaksud menghubungi Ebi, kira-kira Ebi sudah dirumah atau belum? Aku akan bertanya makanan apa yang ingin dia makan malam ini.
“Halo, Bi. Abang lagi dijalan nih mau pulang. Kamu mau makan apa buat malam ini?” aku bertanya dengan riang begitu panggilanku diterima oleh Ebi. Aku tidak ingin dia tahu apa yang sedang aku alami sekarang. Cukup aku yang menderita jangan adik perempuanku satu-satunya, bahkan jka langit runtuh malam ini, Ebi yang pertama kali aku pikirkan.
“H-halo, Bang” suara Ebi lirih terdengar lemas dan bergetar. Aku terdiam sejenak. Aku tau situasi ini karena sesuatu yang tidak beres dirumah.
“Ebi. Tenang dan tetap diam. Abang segera pulang. Jangan tutup telepon!” tanpa basa basi aku segera berlari pulang. ****! Mereka datang disaat yang tidak tepat.
…
..
.
Aku sampai dirumah dan melihat gerbang dan pintu depan sedang terbuka lebar. Aku langsung masuk mencari Ebi tanpa memperdulikan seisi rumah yang berantakan seperti seseorang telah sengaja mengacak-acak isi rumah. Aku menuju halaman samping rumah yang biasa kami gunakan untuk menjemur pakaian, aku membuka gentong besar disudut dan benar saja aku menemukan Ebi dengan tubuh setengah basah meringkuk dalam gentong yang seperempat terisi itu.
“ABANG~” Ebi langsung memelukku sambil menangis begitu tau aku yang membuka gentong itu, wajahnya yang masih ketakutan terlihat jelas. Aku mengusap punggung Ebi untuk menenangkannya.
“Maafin abang.” hanya itu yang bisa aku katakan, aku tidak mau berkata apa-apa lagi takut Ebi berpikir yang tidak-tidak.
“Tadi rentenir itu datang, Ebi denger ketukan tapi karena Ebi gak jawab mereka masuk rumah. Untung dulu abang nyuruh Ebi sembunyi disini pas situasinya darurat.” Ebi bercerita setelah dirinya keluar dari gentong itu. Aku mendengarkannya dan mengusap kepalanya sebagai pujian karena dia mengikuti apa yang sudah aku ajarkan padanya. Kami masuk kedalam rumah agar Ebi bisa segera berganti pakaian, kemudian kami membereskan barang-barang yang berantakan diseluruh rumah. Kami berdua bergerak tanpa kata, hanya terdengar suara-suara dentingan perabot rumah.
“Abang.” panggil Ebi padaku yang sedang membersihkan tumpahan dari tempat abu orang tua kami di ruang tamu. Aku menoleh sejenak pada Ebi yang juga sedang bersih-sersih didapur, yah bisa dilihat bahwa rumah kami tidak terlalu besar. “Abang kok jam segini udah pulang?” tanya Ebi padaku. Aku terdiam sejenak dan kembali bersih-bersih.
“Abang lagi sift sore.” jawabku berbohong. Tentu saja aku akan berbohong.
“Abang bohong, kan?” tanya Ebi sambil berjalan kearahku. Aku menelan ludahku dengan keras.
“Abang gak bohong.” aku menatap Ebi yang menatap curiga padaku. Aku tersenyum agar bisa mengelabuhi Ebi.
“Bang. Abang tuh pembohong terburuk yang pernah Ebi temui.” Ebi berkata sambil menunjuk didepan hidungku yang mulai berkedut. “Nah, kan. Abang bohong.”
“Ck. Iya deh Abang bohong.” aku menyingkirkan tangannya dari hadapanku dan melanjutkan pekerjaanku. Ebi meraih lenganku dan menggenggamnya.
“Cerita dong, Bang.” goda Ebi sambil memainkan alisnya. Aku menepis pelan tangan Ebi dari lenganku, karena aku tau jiwa kepo Ebi sangat tinggi dan dia bisa melakukan hal aneh agar aku mau mengatakan yang sebenarnya. Dan benar saja, dengan cepat Ebi meraih lengan ku dan menggigitnya.
“Aduh. Aduh. Lepasin abang. Sakit ini~”
“Cerita dulu, Bang.” Ebi tidak mau melepas gigitannya walau aku mencoba menarik paksa lenganku, tapi itu hanya terasa sakit, sepertinya Ebi dulu reinkarnasi anjing pitbul yang suka menggigit.
“Oke, deh. Abang cerita tapi lepasin Abang dulu.” pintaku dengan melebihkan ekspresi kesakitan diwajahku.
“Janji?”
“Iya, janji.” Ebi pun melepas giginya dari lenganku yang sedikit berotot, tapi tangannya masih tidak mau lepas, sepertinya Ebi benar-benar segera ingin mendengar cerita yang sebenarnya tidak ingin aku rahasiakan.
“Jadi gimana?”
“Ehmm… sebenarnya,” aku sedikit ragu mengatakannya, takut jika Ebi akan memiliki pikiran aneh dan mencoba menyarankannya padaku. Mata Ebi terlihat antusias menatapku membuatku semakin tidak ingin mengatakan yang sebenarnya terjadi, tapi tentu saja Ebi akan tahu jika aku berbohong.
“Apa, Bang?” Ebi yang mulai tidak sabar bertanya sambil menggoyangkan lenganku.
“Sebenarnya… Abang.. terakhir kerja… hari ini.” aku sengaja melambatkan ejaan kalimatku. Aku menatap Ebi yang dari tadi memegang lenganku disampingku. Ebi menunduk sedikit lesu, tapi sedetik kemudian ekspresinya berubah dan tertawa. Aku bingung dengan perilakunya.
“Aduh, Bang. Sakit perut aku ketawa. Kirain apaan, wajah abang udah tegang kayak tiang listrik, Hahaha,,,, Aduh, duh.” mendengar itu aku hanya bingung dan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Apa ini? Kurasa adik perempuanku sudah sedikit gila karena sering diteror penagih hutang.
“Bang, jangan tegang gitu lah. Kita berdua udah gede, urusan kayak gini bisa dipikirin sama-sama. Kita cuma berdua, trus abang mau ngeluh kesiapa kalo bukan ngeluh sama Ebi. Inget ya, Bang. Ebi gak pernah main rahasia-rahasian sama Abang, jadi Ebi harap abang juga gak ada rahasia sama Ebi.” aku terdiam mendengar ucapan Ebi. Kami memang sudah dikatakan cukup dewasa, dan mungkin saja benar seharusnya aku tidak berahasiakan apapun dari adik perempuanku satu-satunya ini.
Aku tersenyum dan meyadari ternyata adikku yang selama ini selalu aku lindungi sudah dewasa, dan harusnya aku sadar bahwa suatu saat dia punya jalan pikirannya sendiri.
“Makasih Udah ngertiin abang.” aku memeluk Ebi erat didadaku, mencoba mencurahkan seluruh kasih sayangku padanya. Ebi membalas pelukanku.
“Bang. Ebi sesak napas.” aku segera melepas pelukanku dan duduk disofa ruang tamu untuk merehatkan tubuhku sejenak. Fiuh~~ sepertinya bebanku sedikit berkurang, sekarang aku tinggal mencari pekerjaan baru untuk menghidupi kebutuhan kami berdua, dan- Oh ****! Aku lupa bahwa beasiswa Ebi juga pasti berhenti karena aku sudah dipecat dari perusahaan, atau tidak, Ebi mendapat beasiswa karena dia berprestasi, apakah keluar ku dari perusahaan juga membuat beasiswa Ebi berhenti? AAKKKRRGGHH! Ini membuatku frustasi. Tapi jika memang beasiswa itu berhenti jangan sampai Ebi tau, aku harap itu. Besok aku akan menanyakan hal itu keperusahaan.
Next \=\=\=>>
See you next chapter (人 •͈ᴗ•͈)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Airhujan
Semangat up ka.
mampir iya😊
2022-12-03
0