NovelToon NovelToon

VABEI

1

-Bei-

Hari ini sudah sangat melelahkan bagiku. Walaupun pekerjaanku hanya sebagai security disebuah perusahaan swasta yang setiap hari memandangi monitor cctv hingga mataku merah dan terasa akan keluar dari tempatnya.

Aku berjalan pulang menyusuri jalan sepi, walaupun sekarang jam 21.30 tapi jalan antara perusahaan dan rumahku memang sepi, terlalu sepi menurutku. Hmm, aku tiba-tiba teringat adik perempuanku Ebi. Apa dia sudah dirumah? Kira-kira Ebi sudah makan atau belum,ya?

Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan segera mencari nomor telpon dan menghubungi adik perempuanku satu-satunya itu.

“Halo, bang” suara adikku dari seberang telepon.

“Halo, Ebi. Dimana? Udah makan belum?”

“Dirumah, aku udah makan kok, bang. Abang gimana?”

“Abang juga udah makan, tadi dibeliin tempat abang kerja.”

“Oke deh, Abang hati-hati kalo pulang.”

“Ini masih dijalan. Bentar lagi sampek. Inget ya, jangan--”

“Jangan buka pintu kecuali abang. Iya bang. Ebi bukan anak kecil lagi.” Suara diseberang telepon memotong ucapanku, kemudian panggilan pun ditutup sepihak oleh Ebi, sepertinya dia kesal karena aku memberinya jam malam. ”Jam 8 malam harus sudah ada dirumah walau abang belum pulang!” itulah yang dulu aku katakan padanya ketika Ebi pertama kali diajak keluar oleh teman barunya dari kampus. Aku tidak peduli meski dia akan marah, yang lebih aku khawatirkan adalah jika tiba-tiba dia diculik oleh orang jahat dan meminta tebusan yang sangat jelas bahwa aku tidak punya uang untuk menebusnya.

Aku dan Ebi sering tinggal berdua dirumah, walaupun ada paman Jarot yang menjaga kita dari kecil, tapi dia jarang berada dirumah. Sudah bisa ditebak paman lebih memilih tinggal dibar judi dari pada bersama kedua keponakan yang meninggalkan warisan hutang dari orangtua kami yang sudah lama meninggal, dan rumah kami sering didatangi penagih hutang yang seringkali mendobrak paksa pintu rumah dan mengancam kami, walau dari setelah orang tuaku meninggal sampai sekarang aku berusaha melunasi sedikit demi sedikit hutang kami tapi bunga yang mereka berikan sangat tinggi dan membuat aku seperti tidak melunasi hutang itu sama sekali.

..

.

Aku bangun sekitar jam 7 pagi dan sepertinya Bei sedang bersiap berangkat ke kampusnya. Untungnya Bei dapat beasiswa prestasi dari perusahaan tempatku berkerja dan bisa berkuliah dikampus dekat rumah kami, sehingga kami bisa berhemat. Perusahaan tempatku bekerja bergerak dibidang penyimpanan dan wadah dari ekspor impor, untungnya ada juga beberapa anak dari pegawai yang juga mendapat beasiswa berprestasi dan beasiswa tidak mampu dari perusahaan itu. Aku sangat berterimakasih kepada pemimpin perusahaan walaupun aku belum pernah bertemu dengannya.

Aku keluar dari kamar dan menuju meja makan untuk menuangkan segelas air dan meneguknya, bangun tidur paling enak meneguk segelas air dingin. Ebi keluar dari kamarnya dan melihatku yang sedang duduk dikursi meja makan, dengan isyarat aku menawarinya untuk duduk dulu tapi Ebi mengeleng dan terlihat tergesa-gesa.

“Abang bikinin sarapan dulu gimana?” tanyaku pada Ebi yang dengan tergopoh-gopoh memakai sepatu lusuhnya.

“Gak dulu deh, Bang. Nanti Ebi beli diluar, udah telat Ebi harus nyiapin presentasi pagi ini.” Ebi bergegas keluar dari rumah tanpa berpamitan. Tapi meski begitu aku sudah paham dan tau kapan jadwalnya akan pulang, setidaknya sekarang aku bisa kembali tidur sampai jam 3 sore.

Aku terbangun jam 1 siang, suara panggilan telepon membangunkanku dari tidur panjangku. Aku menatap layar ponselku dengan mata memicing karna silau, namun aku segera melotot melihat siapa yang memanggil. ****!! pasti ada yang tidak beres karena kepala keamanan tiba-tiba menelfon sebelum sift ku.

“Siang, Komandan.” aku menjawab panggilan tersebut dengan sedikit takut tapi aku menegarkan suaraku agar tidak terlihat nervous.

“Pergi ke ruang keamanan, SEKARANG!” Tut--! panggilan ditutup sepihak. Aku menggigit bibir bawahku, sepertinya masalah akan datang kepadaku saat ini. Dengan terburu-buru aku mencuci wajah dan segera berganti dengan pakaian rapi menuju keperusahaan. Entah apa yang menungguku disana tapi aku berdoa semoga semua baik-baik saja.

Begitu aku sampai di ruang keamanan, aku melihat beberapa orang berdiri dengan pandangan tertunduk dan sikap yang kaku, didepan mereka kepala keamanan sedang duduk sambil melihat monitor dengan wajah frustasi.

Aku masuk dan menutup pintu dengan pelan, kemudian cepat-cepat ikut berdiri berbaris bersama yang lain.

“Jadi siapa yang mau bertanggung jawab?” tanya kepala keamanan kepada kami, aku yang baru tiba dan tidak tahu apa situasinya hanya bisa melirik orang-orang disampingku. Suasana masih hening, tidak ada yang menjawab pertanyaan dari kepala keamanan. Aku benar benar tidak tahu apa situasinya sekarang, tapi sepertinya ini waktu yang tepat untukku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Maaf, Pak. saya yang bertanggung jawab atas pengawasan cctv kemarin.” aku memberanikan diri, setelah itu semua mata tertuju padaku, sebenarnya apa salahku?

“Apa kamu tau kesalahan kamu?” aku menggeleng, tentu saja aku tidak tahu karena tidak diberi tahu.

“Ditemukan beberapa stok barang hilang dari gudang beberapa hari ini, dan itu terjadi setiap jam yang bertepatan dengan pembongkaran barang baru. Jadi, apa kamu masih mau bertanggung jawab?” Aku meggigit bibir bawahku karena telah bertingkah bodoh tanpa tahu apa yang sedang dihadapi. Aku melirik rekan-rekan sesama security disampingku, tapi mereka memalingkan muka seolah tidak ingin ikut campur padahal kejadian ini pasti tidak hanya terjadi saat siftku saja. **** them!!

“Maaf, pak. Tapi apakah hanya saya yang harus bertanggung jawab?”

“Rekan-rekanmu tidak ada yang merasa bertanggung jawab. Jadi apa yang perlu saya ributkan lagi?” kepala keamanan seolah dengan mudah mengatasi semua ini dengan mudah. Aku mengumpat dalam hati kenapa sekarang aku menjadi kambing hitam atas pernyataanku.

“Saya sedikit keberatan, kenapa hanya saya yang akan menanggung kesalahan tersebut?” aku memberanikan diri bertanya atas rasa keadilan untuk diriku. Kepala keamanan berdiri dari kursinya.

“Saya beri kalian waktu berdiskusi sampai jam 7 malam. Setelah itu datang keruangan pimpinan untuk membicarakan konsekuensi.” setelah berkata seperti itu kepala kemanan pergi dari ruangan, barisan rekan kerja juga ikut membubarkan diri mereka. Tidak ada yang menanyakan sesuatu padaku, tidak ada yang menawarkan diri mereka untuk bertanggung jawab bersamaku.

..

.

Aku melangkahkan kakiku dengan lesu menelusuri jalan pulang, sudah bisa ditebak apa yang telah terjadi padaku. Tentu saja aku dipecat! Ekspetasi apa yang aku harapka dari rekan kerja yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Jika aku bisa memutar waktu seharusnya aku juga harus terlihat bodoh dan polos agar tim investigasi perusahaan yang menangani semua ini, tapi karena sudah ada orang bodoh sepertiku yang mau bertanggung jawab perusahaan tidak mau repot-repot mengeluarkan uang lebih untuk menyelidiki kasus yang menurutku terbilang besar dengan kerugian yang banyak. Oh ****! Stupid me!

Dan apa yang menurutku menyebalkan dan mencurigakan adalah pimpinan yang memanggilku keruangannya, dia tidak banyak bicara dan hanya duduk dikursi sambil membelakangi seisi ruangan dia hanya berbicara menggunakan isyarat jari, dan anehnya sekertarisnya bisa menerjemahkannya. Wow! Sungguh aku sepert diperlakukan seperti hantu, dia bahkan tidak bicara langsung denganku.

Sambil berjalan, aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku, bermaksud menghubungi Ebi, kira-kira Ebi sudah dirumah atau belum? Aku akan bertanya makanan apa yang ingin dia makan malam ini.

“Halo, Bi. Abang lagi dijalan nih mau pulang. Kamu mau makan apa buat malam ini?” aku bertanya dengan riang begitu panggilanku diterima oleh Ebi. Aku tidak ingin dia tahu apa yang sedang aku alami sekarang. Cukup aku yang menderita jangan adik perempuanku satu-satunya, bahkan jka langit runtuh malam ini, Ebi yang pertama kali aku pikirkan.

“H-halo, Bang” suara Ebi lirih terdengar lemas dan bergetar. Aku terdiam sejenak. Aku tau situasi ini karena sesuatu yang tidak beres dirumah.

“Ebi. Tenang dan tetap diam. Abang segera pulang. Jangan tutup telepon!” tanpa basa basi aku segera berlari pulang. ****! Mereka datang disaat yang tidak tepat.

..

.

Aku sampai dirumah dan melihat gerbang dan pintu depan sedang terbuka lebar. Aku langsung masuk mencari Ebi tanpa memperdulikan seisi rumah yang berantakan seperti seseorang telah sengaja mengacak-acak isi rumah. Aku menuju halaman samping rumah yang biasa kami gunakan untuk menjemur pakaian, aku membuka gentong besar disudut dan benar saja aku menemukan Ebi dengan tubuh setengah basah meringkuk dalam gentong yang seperempat terisi itu.

“ABANG~” Ebi langsung memelukku sambil menangis begitu tau aku yang membuka gentong itu, wajahnya yang masih ketakutan terlihat jelas. Aku mengusap punggung Ebi untuk menenangkannya.

“Maafin abang.” hanya itu yang bisa aku katakan, aku tidak mau berkata apa-apa lagi takut Ebi berpikir yang tidak-tidak.

“Tadi rentenir itu datang, Ebi denger ketukan tapi karena Ebi gak jawab mereka masuk rumah. Untung dulu abang nyuruh Ebi sembunyi disini pas situasinya darurat.” Ebi bercerita setelah dirinya keluar dari gentong itu. Aku mendengarkannya dan mengusap kepalanya sebagai pujian karena dia mengikuti apa yang sudah aku ajarkan padanya. Kami masuk kedalam rumah agar Ebi bisa segera berganti pakaian, kemudian kami membereskan barang-barang yang berantakan diseluruh rumah. Kami berdua bergerak tanpa kata, hanya terdengar suara-suara dentingan perabot rumah.

“Abang.” panggil Ebi padaku yang sedang membersihkan tumpahan dari tempat abu orang tua kami di ruang tamu. Aku menoleh sejenak pada Ebi yang juga sedang bersih-sersih didapur, yah bisa dilihat bahwa rumah kami tidak terlalu besar. “Abang kok jam segini udah pulang?” tanya Ebi padaku. Aku terdiam sejenak dan kembali bersih-bersih.

“Abang lagi sift sore.” jawabku berbohong. Tentu saja aku akan berbohong.

“Abang bohong, kan?” tanya Ebi sambil berjalan kearahku. Aku menelan ludahku dengan keras.

“Abang gak bohong.” aku menatap Ebi yang menatap curiga padaku. Aku tersenyum agar bisa mengelabuhi Ebi.

“Bang. Abang tuh pembohong terburuk yang pernah Ebi temui.” Ebi berkata sambil menunjuk didepan hidungku yang mulai berkedut. “Nah, kan. Abang bohong.”

“Ck. Iya deh Abang bohong.” aku menyingkirkan tangannya dari hadapanku dan melanjutkan pekerjaanku. Ebi meraih lenganku dan menggenggamnya.

“Cerita dong, Bang.” goda Ebi sambil memainkan alisnya. Aku menepis pelan tangan Ebi dari lenganku, karena aku tau jiwa kepo Ebi sangat tinggi dan dia bisa melakukan hal aneh agar aku mau mengatakan yang sebenarnya. Dan benar saja, dengan cepat Ebi meraih lengan ku dan menggigitnya.

“Aduh. Aduh. Lepasin abang. Sakit ini~”

“Cerita dulu, Bang.” Ebi tidak mau melepas gigitannya walau aku mencoba menarik paksa lenganku, tapi itu hanya terasa sakit, sepertinya Ebi dulu reinkarnasi anjing pitbul yang suka menggigit.

“Oke, deh. Abang cerita tapi lepasin Abang dulu.” pintaku dengan melebihkan ekspresi kesakitan diwajahku.

“Janji?”

“Iya, janji.” Ebi pun melepas giginya dari lenganku yang sedikit berotot, tapi tangannya masih tidak mau lepas, sepertinya Ebi benar-benar segera ingin mendengar cerita yang sebenarnya tidak ingin aku rahasiakan.

“Jadi gimana?”

“Ehmm… sebenarnya,” aku sedikit ragu mengatakannya, takut jika Ebi akan memiliki pikiran aneh dan mencoba menyarankannya padaku. Mata Ebi terlihat antusias menatapku membuatku semakin tidak ingin mengatakan yang sebenarnya terjadi, tapi tentu saja Ebi akan tahu jika aku berbohong.

“Apa, Bang?” Ebi yang mulai tidak sabar bertanya sambil menggoyangkan lenganku.

“Sebenarnya… Abang.. terakhir kerja… hari ini.” aku sengaja melambatkan ejaan kalimatku. Aku menatap Ebi yang dari tadi memegang lenganku disampingku. Ebi menunduk sedikit lesu, tapi sedetik kemudian ekspresinya berubah dan tertawa. Aku bingung dengan perilakunya.

“Aduh, Bang. Sakit perut aku ketawa. Kirain apaan, wajah abang udah tegang kayak tiang listrik, Hahaha,,,, Aduh, duh.” mendengar itu aku hanya bingung dan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Apa ini? Kurasa adik perempuanku sudah sedikit gila karena sering diteror penagih hutang.

“Bang, jangan tegang gitu lah. Kita berdua udah gede, urusan kayak gini bisa dipikirin sama-sama. Kita cuma berdua, trus abang mau ngeluh kesiapa kalo bukan ngeluh sama Ebi. Inget ya, Bang. Ebi gak pernah main rahasia-rahasian sama Abang, jadi Ebi harap abang juga gak ada rahasia sama Ebi.” aku terdiam mendengar ucapan Ebi. Kami memang sudah dikatakan cukup dewasa, dan mungkin saja benar seharusnya aku tidak berahasiakan apapun dari adik perempuanku satu-satunya ini.

Aku tersenyum dan meyadari ternyata adikku yang selama ini selalu aku lindungi sudah dewasa, dan harusnya aku sadar bahwa suatu saat dia punya jalan pikirannya sendiri.

“Makasih Udah ngertiin abang.” aku memeluk Ebi erat didadaku, mencoba mencurahkan seluruh kasih sayangku padanya. Ebi membalas pelukanku.

“Bang. Ebi sesak napas.” aku segera melepas pelukanku dan duduk disofa ruang tamu untuk merehatkan tubuhku sejenak. Fiuh~~ sepertinya bebanku sedikit berkurang, sekarang aku tinggal mencari pekerjaan baru untuk menghidupi kebutuhan kami berdua, dan- Oh ****! Aku lupa bahwa beasiswa Ebi juga pasti berhenti karena aku sudah dipecat dari perusahaan, atau tidak, Ebi mendapat beasiswa karena dia berprestasi, apakah keluar ku dari perusahaan juga membuat beasiswa Ebi berhenti? AAKKKRRGGHH! Ini membuatku frustasi. Tapi jika memang beasiswa itu berhenti jangan sampai Ebi tau, aku harap itu. Besok aku akan menanyakan hal itu keperusahaan.

Next \=\=\=>>

See you next chapter (⁠人⁠ ⁠•͈⁠ᴗ⁠•͈⁠)

1.2

-Bei-

Sudah 5 jam aku duduk diruang tunggu depan ruangan bos, aku tetap menunggu meski sekertaris bilang bahwa kemungkinan bos tidak datang karena aku belum membuat janji ketemu, tapi memang bos mau menemui mantan security perusahaannya yang telah membuat rugi dirinya? Tentu saja tidak, maka dari itu disinilah aku berada memaksa menunggu bos datang walau lelah dan sesekali aku ingin memejamkan mataku karena nyamannya AC ruangan.

Aku memejamkan sebentar mataku, namun aku terkejut bangun dikarenakan suara sekertaris yang membangunkanku.

“Bos sudah datang. Tapi beliau masih ada rapat.” kata sekertaris itu. Aku ingin menyerah tapi aku ingat jika ini bukan perihal beasiswa Ebi, aku tidak akan melakukan hal sejauh ini.

“Terimakasih.” sekertaris wanita itu kembali ketempat duduknya sedangkan aku tentu saja kembali menunggu bos yang entah kapan akan bisa aku temui.

---------

Jalanan malam ini terasa sepi, memang biasanya sepi tapi hari ini lebih terasa sepi. Mungkin pikiranku yang kacau dan tubuh yang sudah lelah. Kata kata dari bos masih terngiang-ngiang dipikiranku.

“Sekarang kamu tinggal pilih. Beasiswa adikmu atau ganti kerugian perusahaan?” ya. Setelah penantian panjang kali lebar kali tinggi, aku bisa menemui bos untuk pertama kali sejak aku bekerja disana, walaupun pertemuan kami setelah aku dalam keadaan dipecat.

“Tapi, Bos. Bukannya beasiswa adik saya itu termasuk beasiswa berprestasi? Jadi kenapa itu juga terdampak setelah saya dipecat?” tanpa ragu aku bertanya pada bos.

“Bukannya aku sudah kasih kamu pilihan? Atau kamu mau ganti rugi sebanyak 2 milyar demi beasiswa?” dihadapanku kali ini sepertinya bukan manusia, tapi iblis berwajah manusia. Kenapa tidak ada keadilan untukku?

Cih! Aku tidak akan sudi menginjakkan kakiku kembali ke perusahaan konyol itu.

..

.

“Ebi, Abang pulang.” aku berteriak memanggil adikku begitu aku sampai dirumah, karena sekarang menunjukkan jam 9 malam pasti dia sudah berada dirumah. Aku meletakkan tubuhkku disofa ruang tamu menunggu Ebi yang biasa menghampiriku sambil menyapa ‘Bang, Udah pulang’ dengan senyum manisnya untukku. Aku memejamkan mataku sejenak melepas penat yang sembari tadi aku tahan, namun aku belum mendengar suara adikku.

“Ebi.” panggilku lagi. Kini aku agak meninggikan suaraku agar terdengar olehnya. Karena tidak ada jawaban aku segera bangun dan berjalan kekamar adiku, aku membuka pintu kamarnya dan tidak ada siapa-siapa disana. Aku menyusuri seluruh ruangan yang ada dirumahku, membuka setiap pintu, setiap sudut, dan setiap titik yang biasa dia buat untuk sembunyi, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Ebi dimanapun. Dengan panik dan kalangkabut, aku keluar dari rumah melihat kejalanan.

“EBI!” aku mencari dan terus memanggil namanya. Seorang Tetangga yang melihatku berteriak halaman rumah segera mendatangiku.

“Bei. Kamu nyari si Ebi?” tanya tetangga tersebut.

“Tante tau nggak Ebi tadi keluar kemana?” aku berharap tetanga tersebut tau kemana Ebi hilang.

“Tadi tante liat, paman kamu kesini. Agak lama didalam rumah trus tiba-tiba dia keluar sambil nyeret Ebi naik sepeda motor. Nggak tau deh mereka pergi kemana.” aku menelan ludahku dengan kasar. Bajingan! Jika paman datang kerumah pasti dia akan melakukan sesuatu yang harus aku yang membereskannya. ****! Kenapa masalah sekarang datang bertubi-tubi.

Setelah aku berterimakasih kepada tetanggaku yang hebat bak cctv itu. Aku segera berlari ke pemberhentian bus terdekat. Aku tau kemana seharusnya paman membawa Ebi. Sialan! Bajingan mesum!

----------

{Bar Judi}

Aku menatap tempat penuh dosa dihadapanku dengan tatapan geram. Sudah bisa dipastikan bahwa Ebi berada dalam tempat itu, karena aku pernah sekali datang kemari saat ada rentenir yang datang kerumah kami menagih hutang atas nama Jarot, yaitu orang yang selama ini aku sebut paman meski aku membencinya.

Aku meraba knuckle* yang berada disaku celanaku, ini adalah senjata andalanku untuk pertarungan jarak dekat milikku yang selalu aku bawa kemana-mana. Aku memasuki pintu masuk bar judi itu dengan memasang wajah seolah aku sudah biasa berada disana agar para penjaga tidak curiga padaku, sesekali aku menyapa mereka dengan tatapanku. Begitu aku masuk, aku melihat sekelilingku, didalam bar ini benar-baner banyak orang sedang bermain judi entah itu kartu, taruhan atau yang lain. Semerbak bau alkohol bercampur parfum menusuk hidungku yang sensitif. Aku berjalan pelan sambil mengamati orang-orang yang sedang asyik dengan dunia fananya, disudut bar aku menemukan paman Jari yang sedang bertaruh judi kartu. Aku mengamati mereka dari jauh untuk memastikan dia tidak melihatku. Sekarang misiku adalah mencari tempat dimana Ebi ditahan.

Aku mengamati bar judi ini, bar ini terletak ditengah pertokoan yang memang selalu ramai saat malam, dan yang terpenting adalah bar ini hanya memiliki satu lantai, tidak ada tangga apapun yang artinya ada ruang rahasia yang berada dibalik tembok atau dibawah lantai. Aku berjalan berkeliling diam-diam sambil sesekali menghentakkan kakiku pelan untuk mengecek apakah ada ruangan kosong dibawah tanah, sesekali aku mengamati kemana orang-orang dengan penampilan rapi akan duduk, karena biasanya merekalah yang sering memakai jasa layanan wanita penghibur.

Aku melihat pria tinggi berjas maroon masuk dengan gaya agak sombong dari cara berjalannya yang mengangkat sedikit kepalanya dengan tatapan dan bibir yang datar aku bisa memastikan bahwa pria itu diormati disini. Pria itu diikuti juga oleh orang-orang berwajah sangar dibelakangnya, bisa dipastikan bahwa mereka adalah bodyguard. Melihat kesempatan itu aku pura-pura berbaur dibelakang para bodyguard dan mengikuti langkah mereka, meski aku tak tau kemana mereka akan pergi tapi aku yakin mereka bisa memberiku petunjuk. Dan benar saja pria itu masuk ketempat yang bertuliskan hanya karyawan, disamping pintu itu terdapat pintu lagi yang mengharuskan masuk menggunakan sidik jari. Pria itu masuk keruangan tersebut diikuti bodyguardnya, akupun ikut menyelinap masuk. Ctak! Pintu tertutup kembali.

“Kalian bisa berjaga disekitar sini.” pria itu menoleh secara tiba-tiba kebelakang, membuatku sedikit bersembuyi dibelakang para bodyguard yang bertubuh besar. Aku diam-diam menyelinap pergi setelah pria itu tidak menoleh kebelakang lagi.

“Baik, tuan.” para bodyguard itupun bubar mengikuti perintah pria itu. Aku mengendap-endap dan mengintip setiap ruangan yang semua pintunya terdapat kaca agak buram ditengahnya. Sial! Bagaimana aku bisa menemukan Ebi.

Ini ruangan ke-5 yang aku intip, tapi anehnya didalam tidak ada suara dan lampu dari dalam menyorot merah dari kaca pintu, ini sangat aneh untuk tempat seperti ini. Aku mencoba membuka ruangan tersebut namun pintu itu terkunci. Aku melepas hair pin yang biasa aku gunakan untuk menghalau poniku yang agak panjang, aku menggunakannya untuk membobol pintu tersebut. Clak! Kunci Pintu tersebut terbuka, aku segera membuka pintu pelan dan benar saja didalam ada beberapa wanita muda yang duduk disofa, mereka diam sambil menundukkan kepalanya, sebagian dari mereka kaget ketika tau aku memasuki ruangan. Aku mencari-cari sosok Ebi dalam ruangan tersebut tapi aku tidak menemukannya. Disudut ruangan aku melihat seseorang yang tangan kakinya diikat dan kepalanya ditutup kain hitam, aku segera menghampirinya dan membuka penutup kepala itu, dan benar saja itu adalah Ebi yang sedang pingsan, pipinya terlihat merah dan agak membiru, Ebi pasti pingsan setelah dipukul.

“Ebi. Bangun. Abang disini.”Aku menggoncangkan tubuhnya yang ringkih.

“Ab-abang?” Ebi sedikit membuka matanya.

“Ayo kita pulang.” ajakku. Aku memapah dan memaksa Ebi agar bangun setelah melepas ikatan ditangan dan kakinya. Para wanita itu menatapku dengan ekspresi aneh dan sebagian ada yang diam-diam menggeleng seolah memperingatkanku sesuatu.

“Permisi duluan, Mbak.” dengan sungkan aku berpamitan dengan mereka. Aku memapah Ebi dan siap-siap membuka pintu tapi begitu aku membukanya aku telah disambut oleh sebuah tendangan yang melayang keperutku, sontak itu membuatku terhuyung. Para wanita didalam menjerit ketakutan. Tanpa pikir panjang aku mengeluarkan knuckle* dan menghajar pria bertubuh sangar yang menendangku itu, dan tentu saja mereka yang terkena pukulanku akan langsung kesakitan dan lebam ditubuh mereka.

Aku menarik Ebi keluar begitu melihat musuhku tidak berdaya, namun suara gaduh membuat para penjaga menghampiri kami, mau tidak mau aku dan Ebi harus lari.

“Ebi. Tetap dibelakang Abang. Jangan lepas dari abang.” aku menyuruh Ebi agar tidak terpisah dariku. Ebi mengangguk dengan ketakutan, Ebi meraih pucuk kemeja hitamku sebagai pegangannya. Aku menatap tajam kearah para penjaga yang berdiri didepanku, mereka telah siap untuk menyerangku begitu pula ku sudah siap melawan mereka.

Bugh!

Plak!

Ctak!

Crack!

Suara pukulan, tendangan, patah tulang terdengar dari tubuh para penjaga itu. Aku bertarung seperti orang kerasukan saat ini tidak ada kata belas kasihan atau kata maaf untuk orang-orang busuk seperti mereka. Aku sedikit terengah-engah namun aku tidak menyerah tapi karena kalah jumlah aku segera mengajak Ebi berlari keluar sebelum bala bantuan mereka datang.

Kami berhasil keluar dari ruangan tersembunyi itu, tapi para penjaga itu mengejar kami. Bugh! Aku mendapat pukulan di pelipis yang membuatku terjatuh kehilangan kesadaran sesaat. Pelayan yang melihatku berkelahi berteriak dan itu membuat semua orang menoleh pada pencipta keributan. Melihat situasiku yang sudah agak terpojok, aku menyuruh Ebi untuk keluar dari Bar.

“Ebi, dengerin abang. Keluar dari sini. Jangan menoleh kebelakang dan jangan sampai tertangkap.” kataku pada Ebi.

“Abang.” Ebi terlihat menangis. Perasaan tidak tega muncul didadaku. Tapi aku mendorongnya agar lekas keluar. Ebi menuruti perkataanku dan segera berlari keluar disaat orang-orang fokus pada keributan.

Aku bangkit dan meludah kesamping untuk menyinggung dan mengalihkan perhatian mereka dari Ebi yang kabur. Para penjaga itu mulai menyerangku, dengan segala tenaga yang tersisa aku mencoba menyerang balik mereka, aku tidak akan mati ditempat ini.

1~2~3~4~5~

Para penjaga itu mulai tumbang, entah berapa jumlah mereka tapi yang pasti perkelahian ini telah menghabiskan tenagaku tapi aku puas karena kemenangan ada padaku. Sekarang waktunya penyelesaian.

Aku berjalan kearah paman bajingan yang sedari tadi duduk sendirian dikursi judinya, namun belum sampai aku meraih kerah bajunya paman sialan itu lebih dulu berdiri dan menampar wajahku yang sudah lebam disana-sini.

Plak!

Aku tertawa karena mendapat tamparan darinya, aku segera membalasnya dengan pukulan dari tenagaku yang tersisa dengan sekuat tenaga. Paman sialan itu terhuyung dan terjatuh, dari wajahnya terlihat bahwa dia sangat kesakitan.

“Bei. Jangan lakukan ini pada paman.” Paman Jarot seperti sedang memohon padaku. Aku tersenyum psyco.

“Hei. Setelah semua yang paman lakuin ke kita?” tanyaku dengan nada mengejek.

“Paman lakuin itu semua demi kalian. Demi kalian terbebas dari jerat hutang yang Brian dan Selena sialan yang sudah mati itu.” paman Jari mengatakannya seolah tanpa bersalah.

“Jangan sebut Pa dan Ma seperti itu!” aku marah mendengar paman menyebut orangtuaku seperti itu.

“Membantu? Seharusnya paman kerja! Bukan membantu dengan judi yang membuat aku dan Ebi ketakutan karena didatangi preman-preman yang nagih hutang paman! Paman tau?! Paman gak pernah bantu melunasi hutang!” aku meninggikan suaraku pada paman Jarot. Rasanya hati ini dongkol dan ingin berkata kasar dihadapannya.

“Bei harap ini terakhir kalinya kita saling bertemu.” kataku pada paman.

“Bei. Ingat kalau paman yang besarin kalian berdua.” mendengar kata itu aku merasa jijik dan marah. Tapi ini adalah kenyataan.

“Jangan temui Bei atau Ebi. Ebi akan lunasi hutang paman yang tersisa.” aku memberikan sedikit belas kasihan pada paman bajingan didepanku.

“Kita bukan keluarga lagi.” aku mengatakannya dengan datar agar aku terlihat sangat meyakinkan. Aku pun pergi dari tempat terkutuk itu dan berharap aku tidak akan kembali kesini lagi. Aku sangat berharap hidup kami tidak diusik paman bajingan itu lagi.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Noted :

* Knuckle atau Keling (indonesia) adalah sebuah senjata yang terbuat dari logam yang dapat dipasang diempat buku jari terdepan dari tangan, biasa digunakan untuk pertarungan fisik jarak dekat.

Next \=\=\=\=>

see you next chapter (⁠ ⁠˘⁠ ⁠³⁠˘⁠)⁠♥

2

-Varo-

Aku duduk dikursi kebanggaanku sambil memainkan bolpoin. Aku memejamkan mataku dan menelaah laporan dari bawahanku. Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk semua orang yang bekerja untukku, Karena apa?

“Maaf, Bos. Banyak orang-orang kita yang sekarang sedang cedera dan dirawat dirumah sakit. Mereka dihajar oleh orang yang belum diketahui identitasnya.” Ari selaku kepala keamanan melapor padaku. Aku memijat kepalaku mencoba berpikir apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Disaat aku akan menghadiri pertemuan penting dan membutuhkan pengawalan khusus tetapi banyak dari anak buahku yang sedang cedera. ****!

“Kerahkan yang tersisa untuk mengawalku dipertemuan malam nanti.” aku menghembuskan nafas berat. Pikiranku entah kemana, belum lagi aku harus mempersiapkan dokumen negoisasi untuk pertemuan penting nanti malam.

Aku mengisyaratkan pada Ari untuk pergi jika sudah tidak ada laporan lagi. Kini aku berada diruangan kerjaku yang terlihat gelap meski sekarang menunjukkan jam 10 pagi. Aku memikirkan kejadian semalam di bar milik Yoki, aku bahkan belum sempat meninjau bagaimana orang itu dapat menghajar hampir seluruh bodyguard yang aku bawa dan keamanan bar itu. Sial! Kabarnya orang itu juga mengacaukan tempat para wanita pemuasku. Aku tidak akan diam dan akan mencari tau siapa orang yang telah lolos dari mata elangku.

..

.

“Sepertinya anda mengganti pengawal anda, Mr. Varo.” seorang pria berumur kisaran hampir 50 tahun dan berperawakan keturunan india menyambutku dengan sindiran begitu aku masuk. Orang diseberang meja dihadapanku adalah Mr. Darshon, partner bisnis kami dibidang impor ekspor besi dan logam. Aku tersenyum miring seolah menertawakan kata-katanya.

“Dan aku berharap kesepakatan kita tidak berubah, Mr. Darshon.” kataku menyindirnya. Orang dihadapanku itu menegangkan rahangnya, tangannya mengepal diatas meja. Sepertinya aku berhasil membuatnya deram denganku.

“Anda masih keras kepala seperti biasa, Mr. Varo. Saya hanya berharap anda bisa bersikap lebih lunak seperti almarhum ayah anda.” orang itu menyengeritkan senyum, seolah telah berhasil menggoyahkan mentalku dengan menyebut orang yang aku hormati. Aku hanya melipat tanganku didada dan bersandar pada kursi.

“Jika kalian tidak berbuat curang dengan produk-produkku, mungkin aku akan lebih lunak kepada kalian.” aku membalasnya dengan hal yang memang seharusnya menjadi topik pertemuan kami kali ini. Mr. Darshon terlihat geram dengan ucapanku.

Brak! Orang tua india itu berdiri dan menggebrak meja yang tebuat dari marmer.

Clak!

Clak! Seketika pengawalku dan pengawal Mr. Darshon saling menodongkan pistol pada lawan bersiap untuk menembak. Mr. Menatap tajam padaku kemudian melihat sekeliling, sepertinya dia sadar akan tindakannya yang memancing keributan. Mr. Darshon kembali keposisi duduknya kemudian merapikan jasnya yang berantakan.

“Jika dari awal kalian memberiku sedikit kelonggaran, semua ini tidak akan terjadi. Lagi pula kita sudah bekerja sama sejak ayahmu masih ada.” orang tua itu mencoba bernegosiasi padaku. Aku mengisyaratkan pada Ari yang sejak tadi berdiri dibelakangku untuk menyerahkan dokumen yang telah aku siapkan kepada Mr. Darshon.

“Apa ini?” tanya mr. Darshon setelah melihat sekilas pada dokumen didepannya. Sepertinya orang tua ini berpura-pura bodoh.

“Korupsi, penyelundupan, pengurangan kualitas, suap.” aku menyinggung sedikit isi dokumen. “Apa aku perlu menyebut semua bukti kecuranganmu?” Aku menantangnya. Terlihat ekspresi geram diwajah Mr. Darshon, Tapi aku tidak peduli.

“Apa yang sebenaranya anda inginkan?”

“Tidak banyak. Hanya menggantikannya sesuai nominal.” mr. Darshon membuka halaman terakhir dari halaman dokumen, seketika matanya yang lebar melotot melihat nominal yang tertulis disana.

“Bajingan gila! Dari mana aku akan mendapatkan uang sebanyak ini!?” Mr. Darshon mengecam. Aku menyinggungkan senyum jahat.

“Sudah kuduga anda akan mengatakan hal ini, Mr. Darshon. Jadi aku memiliki solusi yang lebih mudah.” aku menyuruh Ari memberikan dokumen lain pada mr. Darshon.

“Tandatangani itu untuk pengalihan hak perusahaan anda padaku.”

“Bajingan!” Mr. Darshon berdiri dan menodongkan pistolnya padaku, seketika seluruh pengawal dari kedua pihak ikut menodongkan pistol. Dengan tenang aku menyingungkan senyum dan berdiri.

“Itu terserah anda, Mr. Darshon. Bahkan jika anda mati saat ini, itu akan lebih mudah untukku mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Oh, aku lupa memberitahu anda bahwa saat ini kalian kalah jumlah.” mendengar itu Mr. Darshon perlahan menurunkan pistolnya, sepertinya dia masih memiliki keinginan untuk hidup. But, I’m sorry. Mr. Darshon menandatangani dokumen peralihan perusahaan tepat didepan mataku. Segera Ari mengambil dokumen dan mengikutiku yang sudah dulu keluar ruangan. Tak lama kemudian terdengar suara adu tembak dari ruangan tersebut. Yeah! I’m win again!

..

.

Aku menikmati secangkir kopi dimeja makan, dokumen ditablet milikku tidak lepas dari pandanganku saat ini, walaupun aku terihat sibuk sebisa mungkin aku tetap menikmati rutinitas keseharianku seperti saat ini.

“Apa kamu sudah menemukan orang itu?” aku bertanya pada Ari yang seperti biasa berdiri dibelakangku.

“Belum, Tuan.” aku meletakkan tablet diatas meja makan dengan kesal.

“Apa yang kalian lakukan selama dua hari kemarin. Ha?!” aku sedikit meninggikan suaraku karena kesal.

“Maaf, Tuan. Saya sudah menyuruh anak-anak untuk menyelidiki orang tersebut.”

“Kenapa kalian tidak cepat seperti biasa?” aku mengambil kembali tabletku diatas meja dan mebuka dokumen perjanjian dari salah seorang partner dibidang penyimpanan barang ekspor impor.

“Maafkan kami, Tuan. Tapi, saya mendengar dari anak-anak bahwa orang itu dulu bekerja di perusahaan TiangPoi.” seketika aku menghentikan jariku dari tablet. Aku memikirkan rencana nyeleneh dikepalaku.

“Tetap awasi orang itu sampai kalian mendapat identitas lengkapnya.” Ari mengangguk dan segera pergi dari hadapanku karena melihat seseorang turun dari tangga menuju meja makan yang sama denganku. Aku kembali sibuk dengan tablet dihadapanku tanpa memperdulikan siapa yang datang, aku hanya melirik sekilas dari sudut mataku. Seorang wanita dengan piyama merah dan parfum Dolce Peony Eau de Parfum seolah sudah menjadi ciri khas dirumah ini. Wanita itu segera duduk dikursi yang telah dipersilahkan oleh pelayan, sekilas wanita itu melirik kearahku yang tidak peduli dengannya.

“Ehem, Pagi anakku.”

“...” aku hanya diam menanggapinya. Wanita dengan penampilan seolah seperti penggoda ini adalah ibuku meski aku tidak ingin menyebutkannya.

“Apa kamu gak ingin nyapa orang tercantik dirumah ini?” Aku memutar bola mataku mendengarnya.

“Pagi, Ma.”

“No. No. Panggil wanita cantik ini dengan sebutan ‘Nona’, anak muda.” aku meletakkan tabletku dan menatap wanita yang penuh dengan kemauan nyeleneh didepanku.

“PAGI, NONA.” aku menekan setiap kata yang kuucapkan agar wanita itu puas. Dan benar saja wanita dihadapanku mengembangkan senyumnya puas. Harus aku akui bahwa wanita dihadapanku yang harusnya aku panggil ibu atau apalah itu, dia masih terlihat sangat muda diusianya yang hampir 45 tahun, jika kebetulan aku dan dia sedang keluar bersama untuk menghadiri acara besar, orang-orang sering mengira dia adalah istriku. Tapi, dengan wajahnya itu ibuku sering tidur dengan sembarang pria sejak ayah meninggal, aku sudah lelah mengingatkannya bahwa aku tidak ingin memiliki adik baru seumpama dia hamil bersama pria lain. Dan, seluruh kekayaan yang dimiliki keluarga kami adalah warisan dari kakek Amarin atau orang tua dari ibu.

“Mama harap Volca bisa ikut sarapan tiap pagi.” mama tiba-tiba menyeletuk dengan meyebut adik laki-lakiku.

“Varo harap mama gak ikut campur sama masa remaja Volca.” balasku. Aku bisa melihat mama terlihat mengaduk-aduk makanan dihadapannya dengan lesu. Walaupun tingkah mama kadang absurd dan nyeleneh untuk ukuran orang yang memiliki pengaruh tapi sifat keibuannya kadang muncul, mungkin mama sedang kerasukan kuntil anak sehingga rindu anaknya.

Mama terlihat tidak nafsu makan lagi dan pergi dari meja makan tanpa berpamitan padaku. Aku hanya menghela napas.

..

.

Aku duduk dikursi merah didalam ruangan dengan pencahayaan yang remang-remang. Aku menyilangkan kakiku dengan angkuh dihadapan orang yang berlutut dihadapan kakiku, wajah orang itu penuh lebam dan berlumuran darah. Aku menendangnya sekali lagi saat orang itu bersaha menggapai kakiku.

“Aku harap ini peringatan terakhir untukmu.” Aku mengambil cerutu dari saku jasku, dengan sigap Riko mengulurkan nyala korek api dicerutuku. Dia adalah pengawal yang sering aku ajak untuk pertemuan-pertemuan penting selain Ari. Aku menghembuskan asap pelan, menikmati setiap rasa pahit yang terasa dimulutku.

“Ampun Mr. Varo. Beri saya tenggat waktu satu bulan lagi.” orang dibawahku memohon dengan kesakitan.

“Waktu? Aku sudah memberimu waktu.”

“Ma-maafkan saya Mr. Varo. Perusahaan saya baru saja mengalami kerugian besar. Saya tidak ada uang lagi untuk membayar hutang.”

Aku melempar cerutuku yang masih tersisa kemudian menginjaknya tepat dihadapan orang itu. Aku sedikit membungkuk dan berbisik dihadapan orang itu.

“Itu bukan urusanku.”

Aku berdiri dan mengisyaratkan pada Riko untuk menghabisi orang tersebut. Riko mengangguk dan segera memerintah Bodyguard lain untuk menghabisinya. Aku keluar dari ruangan itu dan diikukti oleh Riko. Dari dalam ruangan terdengar erangan demi erangan, mendengarnya saja membuatku tersenyum bahagia.

Duar!

Duar!

Suara tembakan terdengar lagi dari dalam. Aku kaget dan segera menoleh pada Riko yang ikut kaget mendengar suara tembakan.

“Apa mereka benar-benar menghabisinya?” aku bertanya pada Riko. Aku tidak memerintahkan untuk membunuhnya.

“Tidak tau, Tuan. Saya akan melihat kedalam.”

Saat Riko akan masuk, dari arah pintu aku melihat TiangPoi, orang yang tadi berlutut dengan wajah babak belur berlumuran darah, kini orang itu menodongkan pistol pada kami. Dengan sigap Riko mengeluarkan pistol dan siaga menghadang TiangPoi.

“VARO!” TiangPoi berteriak padaku sambil tertawa. Sebuah mobil hitam muncul dan dari dalamnya keluar lima orang dengan pakaian preman, mereka menodongkan pistol padaku dan Riko. Sial! Sudah kuduga ini akan terjadi. Kini aku hanya bisa mengangkat kedua tanganku.

“Apa lagi?” aku bertanya dengan tenang. Tapi TiangPoi malah tertawa memperlihatkan giginya yang merah karena darah.

“Sudah kuduga kau akan melakukan ini.” TiangPoi terus tertawa sambil menodongkan pistolnya semakin dekat denganku, Riko kalang kabut karena kalah jumlah.

“Kau selalu bersikap kasar padaku, Varo.” Tiangpoi menodongkan pistolnya tepat dikepalaku. “Kau bahkan tidak pernah memiliki belas kasihan. Sekarang bagaimana rasanya jika seseorang menodongkan pistol padamu, VARO!” Orang itu terus berbicara sambil tertawa.

“Kau pikir aku takut?” aku menantangnya. Tiangpoi terlihat geram dan semakin mendorong pistolnya padaku.

“Aku harap kematianmu memberi kebahagiaan pada orang lain.”

Aku menyinggungkan senyum pada Tiangpoi sebelum..

Dor!

Anak buah Tiangpoi mulai berjatuhan, Tiangpoi panik dan segera melarikan diri. Aku segera ikut melarikan diri dan sembunyi. Rupanya rencanaku untuk menyembunyikan sebagian bodyguard tidak sia-sia.

“Habisi orang itu.” perintahku pada Riko. Aku mengeluarkan pistol dari pinggangku dan menembak kearah musuh yang terlihat. Namun baru beberapa kali tembakan peluruku habis. Aku melihat sekelilingku dan segera berlari sembunyi lagi aku berharap bodyguardku bisa mengurus sisanya. Kedua kubu saling adu tembak dan saling mengejar. Aku mengikuti arah Riko mengejar bajingan yang membuat keributan, Sial! Kali ini aku tidak akan mengampuninya!.

Aku mengejar Tiangpoi yang berlari kearah gang kosong, sudah bisa ditebak seperti difilm-film bahwa penjahat akan berlari ke gang sepi atau daerah yang jarang dijangkau manusia. Tiangpoi berhenti disudut gang yang buntu, dia tampak kebingungan mencari jalan keluar. Aku mendekat kearahnya dan melayangkan tinjuku sampai orang itu tersungkur, pistol terlepas dari tangannya.

“Awalnya aku tidak berniat membunuhmu. Tapi karena kau memulainya dulu, aku tidak akan segan mencabut nyawamu.” aku memberinya pukulan saat dia akan meraih pistolnya. Tiangpoi kembali terhuyung , dia mengelap darah dibibirnya sambil tertawa.

“Ayo, bunuh aku jika itu memang maumu.” Tiangpoi menantangku. Orang ini sepertinya tidak mempunyai rasa jera. Aku menarik kerahnya dan memukul wajahnya bertubi-tubi. Orang dihadapanku mulai lemas, aku mengendorkan cengkramanku, membiarkannya tergeletak ditanah membiarkannya mati.

Aku membalikkan tubuhku dan menyalakan rokok. Namun,

Bruak!!

Orang itu menghantamku dengan balok kayu dipunggungku. Aku tersungkur ditanah dan rokokku masih ditangan. Orang itu segera pergi dengan tertatih begitu mengetahui aku masih selamat. Aku membuang rokok yang baru saja aku nyalakan tentu saja aku akan mengejar pria bajingan itu. Aku berjalan cepat, sengaja membiarkan bajingan itu menyeret kakinya yang mungkin patah karena tendanganku. Orang itu melemparkan benda-benda yang ada disekitarnya padaku sambil terus menyeret kakinya.

“Sepertinya aku tidak perlu mengasihanimu lagi.” aku terus mendekat sampai jarak kami tinggal empat meter, orang itu seperti mulai kelelahan. Aku mengambil ancang-ancang dan menendangnya dengan sekuat tenaga, membuat orang itu tersungkur dan menabrak seseorang yang tidak sengaja lewat tempat sepi ini.

“Aish..!” seorang pemuda tampak agak marah karena dirinya tiba-tiba ditabrak. Tiangpoi bajingan itu terlihat sedikit mengeliat.

“Hei! Minggir!” aku mengusir pemuda itu. Pemuda itu sedang berdiri dan menatapku dangan curiga.

“Cih! Seharusnya kau meminta maaf!” pemuda itu tampaknya tidak peduli dengan orang tergeletak yang tadi menabraknya. Pemuda itu segera pergi namun Tiangpoi menahan kakinya.

“Tolong.”

“Pak Tiang!”

..

.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

19/06/2022

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!