4

-Bei-

Aku pulang dengan tubuh babak belur. Aku menatap pintu gerbang rumahku yang tingginya dua meter. Aku tidak berani masuk karena tidak ingin Ebi melihatku dengan keadaan seperti ini, apalagi aku sudah dikeluarkan dari pekerjaan baruku karena aku terlalu lama meninggalkan tempat saat bertugas. Aku mengirup nafas dan menghembuskannya berulang kali untuk mengumpulkan keberanianku. Aku melangkah kedalam halaman rumah, tapi suasana tampak sepi dan pintu rumah terbuka.

“Ebi, Abang pulang.” tidak ada jawaban. Aku masuk kedalam rumah dan melihat ruang tamu berantakan. Lagi. Aku segera mancari keberadaan Ebi. Aku menuju gentong air dan membukanya, tapi Ebi tidak disana. Aku berlari kembali masuk kerumah, saat melewati kamar mandi aku melihat tetesan merah dilantai, dengan panik aku membuka pintu kamar mandi, benar saja ada Ebi didalam yang sedang duduk diatas toilet sambil memakaikan perban ke lengan kanannya. Aku segera memluk Ebi dengan erat, bersyukur karena dia masih selamat.

“Aduh, Bang. Lengan Ebi sakit.” aku melepaskan pelukanku dan memandangnya khawatir.

“Kamu gak diapa-apain kan sama mereka?” Ebi menggeleng.

“Mereka datang kayak biasa dan ngacak-ngacak rumah. Ebi gak sengaja kena pecahan vas pas bersih-bersih.” aku memeluk Ebi sekali lagi. Sepertinya aku tidak tega jika mengatakan bahwa aku sudah dipecat lagi, tapi jika aku tidak segera melunasi hutangku, para preman rentenir itu akan terus mengusik kehidupanku dan Ebi.

Aku memapah Ebi kembali kekamarnya dan membantunya membalut luka dilengannya. Aku memandang wajah Ebi yang tampak tenang tidak seperti biasa, tapi aku tidak peduli selama dia baik-baik saja.

“Ebi.”

“Hm?”

“Maafin abang.” entah kenapa aku tiba-tiba ingin meminta maaf. Aku hanya merasa belum bisa menjadi abang yang baik untuk Ebi.

“Gak papa kok, bang. Ebi juga salah karena gak nelpon abang.” Ebi membalas pelukanku. Entah mengapa hari ini Ebi tidak panik dan lebih pendiam tidak seperti biasa.

“Eh, bang. Katanya abang mau pulang seminggu sekali, sekarang belom ada seminggu abang udah pulang?” aku melepaskan pelukanku dan memandang Ebi.

“Gak papa kok. Abang Cuma kangen Ebi.” Aku tidak tahu harus berkata apa lagi pada adik perempuanku ini.

“Trus, kapan abang balik kerja?”

“Hmm, mungkin besok.” Aku tersenyum. Bersusaha agar kebohonganku tidak terdeteksi. Ebi pun ikut tersenyum manis.

“Abang pasti laper. Ebi masakin dulu buat abang.” Ebi berdiri dan berjalan menuju dapur. Akupun menyusul Ebi kedapur untuk membantunya.

“Abang bantuin.”

“Gak usah, Bang. Mending abang rawat diri abang, sama sekalian bantu bersihin pecahan vas yang tadi.” Ebi berkata dengan menatap beberapa memar yang terpampang diwajahku, anehnya dia tidak menanyakannya. Aku menuruti permintaan Ebi dan segera mengambil sapu dan pel lantai untuk membersihkan darah Ebi.

“Oh ya, Bang. Besok kalo abang bangun siang trus gak ketemu Ebi, Ebi lagi ngajar les.” Aku menjawabnya dengan senyum mengiyakan.

..

.

Jam menunjukkan pukul enam sore, tapi bar masih sepi. Hari ini aku sengaja datang ke bar tempat terakhir kali aku memutuskan ikatan keluarga dengan paman yang sebenarnya aku tidak ingin menyebutnya seperti itu. Sebenarnya aku tidak ingin datang ketempat ini, tapi demi menemukan orang yang bisa memperkerjakanku itu, aku merelakan ego. Aku memutuskan untuk menunggu orang itu diluar bar, akan sangat beresiko jika pegawai bar itu mengenali orang yang pernah mengobrak-abrik tempatnya.

1 jam, 2 jam, 3 jam…

Entah sudah berapa lama aku menunggu sambil bersembunyi. Sekarang jam menunjukkan pukul 22.05 di layar ponselku. Karena sudah sangat lama, aku memutuskan masuk kedalam bar dengan sembunyi-sembunyi. Suasana didalam bar rangat ramai, entah karena memang selalu ramai atau karena sekarang akhir pekan. Aku melihat sekeliling, orang-orang dengan riang gembira berjudi, mabuk dan merokok didalam, bahkan ada yang berciuman tapi sepertinya tidak ada yang peduli dengan urusan pribadi orang lain.

Aku duduk disudut bar agar bisa mengamati sekelilingku, dan benar saja tidak lama sekelompok orang berperawakan garang masuk kedalam bar, dari siluet cahaya yang remang-remang dan warna-warni, aku sudah bisa menebak bahwa orang itu adalah orang yang saat ini aku cari. Mereka memasuki ruangan yang sama dibelakang meja bartender, aku mengikuti mereka diam-diam. Aku masuk ketempat itu dengan perlahan. Namun, aku bingung karena tidak ada orang didalam ruangan rahasia itu, padahal jelas jelas aku melihat mereka masuk keruangan ini.

“Mencariku?”

“Anjir!” aku reflek terkejut saat menoleh kebelakang, Tepat saat aku masih kebingungan dengan kehilangan jejak orang yang aku cari, orang itu muncul entah dari mana. Aku memasang posisi siap bertarung saat orang itu mendekat padaku.

“Sudah kuduga kamu akan muncul.” Orang itu berjalan melewatiku dan duduk disofa yang berada ditengah ruangan.

“Kalo gak terpaksa, aku juga ogah datang.” Aku bergumam. Orang itu malah tersenyum melihatku.

“Jadi, apa kau berubah fikiran?” aku mengatupkan bibirku erat, ingin sekali bibirku berkata ‘aku bersedia menjadi bodyguard.’ Tapi aku menahannya saat ini.

“Aku masih memikirkannya.” Mungkin sedikit basa-basi bisa meluluhkan pikiran orang ini.

“Oh, jadi kamu lebih milih bayar kerugian atas kekacauan dari pada menjadi bodyguardku.”

Aku menelan ludahku yang terasa keras. Aku ingin sekali mambayarnya tapi dengan keadaanku sekarang siapa yang mau memperkerjakanku? Apalagi dengan uang segitu banyak yang tidak mungkin akan aku dapatkan dengan cepat.

“Kenapa kamu pengen banget jadiin aku bodyguard?”

“…” orang angkuh itu tidak menjawab.

“Cih, gak jelas.” Aku mendecih kesal. Orang itu seperti tidak menyampaikan alasan lain.

“Aku gak pernah minta pertanggung jawaban karena udah nyulik adikku, jadi harusnya kalian gak minta ganti rugi.” Aku masih membela diri.

“Aku? Mungkin maksudmu pamanmu?” orang itu tersenyum mengejek.

“Kalian nyulik dan mukulin aku ditempat kerja.”

“Kamu menghabisi hampir setengah bodyguardku.” Aku diam menggigit bibirku. Aku tidak pernah tau perbuatanku ternyata fatal.

“Jadi, berapa bayaran yang aku terima setelah dipotong ganti rugi?” aku memberanikan diri. Sepertinya aku sudah tidak punya pilihan lain.

“Tentukan nominal.”

“50 juta.” Aku mengatakannya tanpa pikir panjang. Orang itu tertawa sambil menuangkan minuman keras ke gelas.

“Cuma segitu?” aku heran mendengar perkataannya.

“Masih mending lah, dari pada minta ngelunasin hutang plus bayarin kuliah.” Aku meracau pada diriku sendiri.

“Oke, deal.”

“Ha?” orang itu berdiri dan berjalan kearahku.

“Aku bakal lunasin seluruh hutang dan kuliah adikmu.” Aku terbelabak kaget mendengarnya.

“Eh, tapi aku Cuma asal ngo—“

“Tapi!” orang itu memotong perkataanku.

“Kamu gak boleh putus kerja jadi bodyguardku kecuali aku memecatmu.”

“Gila!”

“Aku harap kamu gak menyesal.” Orang itu tersenyum licik dan dengan santai orang itu bejalan keluar ruangan. Salah satu bodyguard orang itu muncul dan memberikan secarik kertas bertuliskan alamat padaku. Aku yang masih tidak percaya hanya terdiam mematung. Pasti aku sedang kerasukan setan saat ini.

..

.

Aku memandang pintu gerbang berwarna hitam yang menjulang tinggi didepanku sampai leherku sakit. Seluruh sudut pintu gerbang terdapat cctv yang pastinya akan memata-matai setiap orang yang berada dijangkauannya. Melihatnya saja aku sudah bisa menebak seberapa kaya orang yang memilikinya.

“Anjay. Kayak difilm-film.”

Krieettt!!!

Pintu gerbang terbuka sebelum aku membunyikan bell. Sepertinya orang-orang dibalik monitor cctv yang melakukannya. Aku masuk melalui gerbang tersebut, dan didalam adalah pemandangan yang lebih membuatku kagum. Tempat ini telihat seperti mansion mewah tapi dengan gaya modern, struktur bangunan yang simpel dan menjulang tinggi seperti gedung apartement dengan halaman yang sangat luas, saking luasnya aku harus berjalan beberapa menit untuk sampai dihalaman utama rumah itu. Aku tidak bisa membayangkan apa saja yang ada didalam sana.

“Selamat siang.” aku menyapa seorang pria dengan perawakan tinggi besar yang berdiri didepan pintu utama.

“Ikut aku.” Orang itu langsung menyuruhku. Sepertinya dia orang yang tidak sopan, padahal aku sudah berusaha bersikap sopan. Aku mengikuti orang tersebut naik lift dan tiba dilantai entah berapa aku lupa. Aku terus mengikuti orang itu sampai orang itu menyuruhku masuk ke sebuah ruangan dengan pintu berwarna hitam. Anjay, sepertinya ditempat ini hampir semuanya berwarna hitam. Mungkin pemiliknya kurang bahagia. Hehehe.

“Masuk. Ada tuan Varo didalam. Jadi bersikaplah sopan.” Orang itu terdengar seperti memperingatkanku. Cih! Suka-suka aku lah. Aku menuruti orang itu dan masuk keruangan tersebut seorang diri.

“Permisi.” Aku masuk dengan sopan. Orang-orang yang ada didalam ruangan tersebut menatapku sehingga membuatku terdiam dan tidak berani bergerak.

“Kemarilah. Jangan berdiri dibelakang pintu.” Seorang pria berperawakan agak kecil menyuruhku datang. Aku berjalan dan berdiri didepan meja yang sepertinya sedang digunakan acara berkumpul saat ini. Aku merasa gugup dan tegang saat ini. Seperti sedang presentasi tugas waktu kuliah.

“Tuan Varo.” Seorang pria tinggi bekulit putih dengan mata agak sipit datang dan langsung duduk disofa bersama seorang wanita yang sudah sejak tadi berada disana. Dia adalah orang yang aku temui kemarin. Sepertinya dia adalah bos disini.

“Ari, Berikan materinya agar dia belajar.” Orang yang bernama Varo itu, maksudku Tuan Varo memerintahkan pria berperawakan kecil yang ternyata bernama Ari. Ari memberiku sebuah ponsel baru dan meminta ponsel milikku. Aku ragu tapi tuan Varo terus menatapku sehingga aku terpaksa menyerahkan ponsel milikku.

“Gunakan ponsel itu mulai sekarang. Obrolan pribadi dilarang kecuali dengan telepon rumah.” Aku memandang dengan tanda tanya pada Ari, tapi dia hanya memberiku isyarat agar mengiyakan perkataan tuan Varo.

“Baik, Tuan Varo.” Terpaksa aku mengiyakan. Tempat apa ini yang bahkan tidak memperbolehkan hal sepele semacam itu.

“Saya pamit, Tuan Varo.” Ari berpamitan dan mengajakku keluar.

“Tunggu!” seorang wanita yang tadi duduk disebelah tuan Varo menghentikanku. Sebenarnya aku tahu sejak tadi wanita itu menatapku, tapi aku tidak berani menatapnya balik karena mungkin saja dia adalah istri tuan Varo.

“Ya, Nyonya.” Aku bersikap sopan.

“Apa lagi, Ma?” aku sedikit membelakkan mataku mendengar tuan Varo memanggilnya seperti itu. Sepertinya aku sudah salah paham disini.

“Gak ada. Cuma pengen tau nama bodyguard baru.” Nyonya yang belum aku ketahui namanya itu memandangku dengan mata cantiknya.

“Nama saya Abei. Abei Lie.” Aku melihat nyonya menyunggingkan senyum aneh, namun aku tidak berani menatapnya lama.

“Oke, kalian sudah bisa pergi.” Aku segera pamit dan keluar dari hadapan tuan Varo dan Nyonya.

“Abei.” Ari tiba-tiba memanggilku saat kami sudah keluar dari ruang tuan Varo.

“Pelajari materi yang ada di ponsel itu.”

“Baik, Pak Ari.”

“Panggil Ari saja. Jangan terlalu kaku.” Ari menepuk pundakku. Sepertinya aku sudah salah mengira bahwa Ari akan galak seperti Tuan Varo.

“Siap.” Aku hanya cengengesan.

“Oh ya, kamarmu ada diruangan nomor 7 dilantai 2. Cari sendiri agar kamu bisa terbiasa.”

“Baik.”

“Oh, dan satu hal lagi.” Ari mendekat dan membisikkan sesuatu padaku.

“Jangan pernah tergoda wanita yang ada hubungannya dengan keluarga ini.”

“Ha?” Aku cengo mendengarnya. Ari menepuk pundakku dan pergi meninggalkanku.

..

.

Thankyou (⁠づ⁠ ̄⁠ ⁠³⁠ ̄⁠)⁠づ

see you next chapter (⁠~⁠‾⁠▿⁠‾⁠)⁠~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!