-Varo-
Aku duduk dikursi kebanggaanku sambil memainkan bolpoin. Aku memejamkan mataku dan menelaah laporan dari bawahanku. Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk semua orang yang bekerja untukku, Karena apa?
“Maaf, Bos. Banyak orang-orang kita yang sekarang sedang cedera dan dirawat dirumah sakit. Mereka dihajar oleh orang yang belum diketahui identitasnya.” Ari selaku kepala keamanan melapor padaku. Aku memijat kepalaku mencoba berpikir apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Disaat aku akan menghadiri pertemuan penting dan membutuhkan pengawalan khusus tetapi banyak dari anak buahku yang sedang cedera. ****!
“Kerahkan yang tersisa untuk mengawalku dipertemuan malam nanti.” aku menghembuskan nafas berat. Pikiranku entah kemana, belum lagi aku harus mempersiapkan dokumen negoisasi untuk pertemuan penting nanti malam.
Aku mengisyaratkan pada Ari untuk pergi jika sudah tidak ada laporan lagi. Kini aku berada diruangan kerjaku yang terlihat gelap meski sekarang menunjukkan jam 10 pagi. Aku memikirkan kejadian semalam di bar milik Yoki, aku bahkan belum sempat meninjau bagaimana orang itu dapat menghajar hampir seluruh bodyguard yang aku bawa dan keamanan bar itu. Sial! Kabarnya orang itu juga mengacaukan tempat para wanita pemuasku. Aku tidak akan diam dan akan mencari tau siapa orang yang telah lolos dari mata elangku.
…
..
.
“Sepertinya anda mengganti pengawal anda, Mr. Varo.” seorang pria berumur kisaran hampir 50 tahun dan berperawakan keturunan india menyambutku dengan sindiran begitu aku masuk. Orang diseberang meja dihadapanku adalah Mr. Darshon, partner bisnis kami dibidang impor ekspor besi dan logam. Aku tersenyum miring seolah menertawakan kata-katanya.
“Dan aku berharap kesepakatan kita tidak berubah, Mr. Darshon.” kataku menyindirnya. Orang dihadapanku itu menegangkan rahangnya, tangannya mengepal diatas meja. Sepertinya aku berhasil membuatnya deram denganku.
“Anda masih keras kepala seperti biasa, Mr. Varo. Saya hanya berharap anda bisa bersikap lebih lunak seperti almarhum ayah anda.” orang itu menyengeritkan senyum, seolah telah berhasil menggoyahkan mentalku dengan menyebut orang yang aku hormati. Aku hanya melipat tanganku didada dan bersandar pada kursi.
“Jika kalian tidak berbuat curang dengan produk-produkku, mungkin aku akan lebih lunak kepada kalian.” aku membalasnya dengan hal yang memang seharusnya menjadi topik pertemuan kami kali ini. Mr. Darshon terlihat geram dengan ucapanku.
Brak! Orang tua india itu berdiri dan menggebrak meja yang tebuat dari marmer.
Clak!
Clak! Seketika pengawalku dan pengawal Mr. Darshon saling menodongkan pistol pada lawan bersiap untuk menembak. Mr. Menatap tajam padaku kemudian melihat sekeliling, sepertinya dia sadar akan tindakannya yang memancing keributan. Mr. Darshon kembali keposisi duduknya kemudian merapikan jasnya yang berantakan.
“Jika dari awal kalian memberiku sedikit kelonggaran, semua ini tidak akan terjadi. Lagi pula kita sudah bekerja sama sejak ayahmu masih ada.” orang tua itu mencoba bernegosiasi padaku. Aku mengisyaratkan pada Ari yang sejak tadi berdiri dibelakangku untuk menyerahkan dokumen yang telah aku siapkan kepada Mr. Darshon.
“Apa ini?” tanya mr. Darshon setelah melihat sekilas pada dokumen didepannya. Sepertinya orang tua ini berpura-pura bodoh.
“Korupsi, penyelundupan, pengurangan kualitas, suap.” aku menyinggung sedikit isi dokumen. “Apa aku perlu menyebut semua bukti kecuranganmu?” Aku menantangnya. Terlihat ekspresi geram diwajah Mr. Darshon, Tapi aku tidak peduli.
“Apa yang sebenaranya anda inginkan?”
“Tidak banyak. Hanya menggantikannya sesuai nominal.” mr. Darshon membuka halaman terakhir dari halaman dokumen, seketika matanya yang lebar melotot melihat nominal yang tertulis disana.
“Bajingan gila! Dari mana aku akan mendapatkan uang sebanyak ini!?” Mr. Darshon mengecam. Aku menyinggungkan senyum jahat.
“Sudah kuduga anda akan mengatakan hal ini, Mr. Darshon. Jadi aku memiliki solusi yang lebih mudah.” aku menyuruh Ari memberikan dokumen lain pada mr. Darshon.
“Tandatangani itu untuk pengalihan hak perusahaan anda padaku.”
“Bajingan!” Mr. Darshon berdiri dan menodongkan pistolnya padaku, seketika seluruh pengawal dari kedua pihak ikut menodongkan pistol. Dengan tenang aku menyingungkan senyum dan berdiri.
“Itu terserah anda, Mr. Darshon. Bahkan jika anda mati saat ini, itu akan lebih mudah untukku mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Oh, aku lupa memberitahu anda bahwa saat ini kalian kalah jumlah.” mendengar itu Mr. Darshon perlahan menurunkan pistolnya, sepertinya dia masih memiliki keinginan untuk hidup. But, I’m sorry. Mr. Darshon menandatangani dokumen peralihan perusahaan tepat didepan mataku. Segera Ari mengambil dokumen dan mengikutiku yang sudah dulu keluar ruangan. Tak lama kemudian terdengar suara adu tembak dari ruangan tersebut. Yeah! I’m win again!
…
..
.
Aku menikmati secangkir kopi dimeja makan, dokumen ditablet milikku tidak lepas dari pandanganku saat ini, walaupun aku terihat sibuk sebisa mungkin aku tetap menikmati rutinitas keseharianku seperti saat ini.
“Apa kamu sudah menemukan orang itu?” aku bertanya pada Ari yang seperti biasa berdiri dibelakangku.
“Belum, Tuan.” aku meletakkan tablet diatas meja makan dengan kesal.
“Apa yang kalian lakukan selama dua hari kemarin. Ha?!” aku sedikit meninggikan suaraku karena kesal.
“Maaf, Tuan. Saya sudah menyuruh anak-anak untuk menyelidiki orang tersebut.”
“Kenapa kalian tidak cepat seperti biasa?” aku mengambil kembali tabletku diatas meja dan mebuka dokumen perjanjian dari salah seorang partner dibidang penyimpanan barang ekspor impor.
“Maafkan kami, Tuan. Tapi, saya mendengar dari anak-anak bahwa orang itu dulu bekerja di perusahaan TiangPoi.” seketika aku menghentikan jariku dari tablet. Aku memikirkan rencana nyeleneh dikepalaku.
“Tetap awasi orang itu sampai kalian mendapat identitas lengkapnya.” Ari mengangguk dan segera pergi dari hadapanku karena melihat seseorang turun dari tangga menuju meja makan yang sama denganku. Aku kembali sibuk dengan tablet dihadapanku tanpa memperdulikan siapa yang datang, aku hanya melirik sekilas dari sudut mataku. Seorang wanita dengan piyama merah dan parfum Dolce Peony Eau de Parfum seolah sudah menjadi ciri khas dirumah ini. Wanita itu segera duduk dikursi yang telah dipersilahkan oleh pelayan, sekilas wanita itu melirik kearahku yang tidak peduli dengannya.
“Ehem, Pagi anakku.”
“...” aku hanya diam menanggapinya. Wanita dengan penampilan seolah seperti penggoda ini adalah ibuku meski aku tidak ingin menyebutkannya.
“Apa kamu gak ingin nyapa orang tercantik dirumah ini?” Aku memutar bola mataku mendengarnya.
“Pagi, Ma.”
“No. No. Panggil wanita cantik ini dengan sebutan ‘Nona’, anak muda.” aku meletakkan tabletku dan menatap wanita yang penuh dengan kemauan nyeleneh didepanku.
“PAGI, NONA.” aku menekan setiap kata yang kuucapkan agar wanita itu puas. Dan benar saja wanita dihadapanku mengembangkan senyumnya puas. Harus aku akui bahwa wanita dihadapanku yang harusnya aku panggil ibu atau apalah itu, dia masih terlihat sangat muda diusianya yang hampir 45 tahun, jika kebetulan aku dan dia sedang keluar bersama untuk menghadiri acara besar, orang-orang sering mengira dia adalah istriku. Tapi, dengan wajahnya itu ibuku sering tidur dengan sembarang pria sejak ayah meninggal, aku sudah lelah mengingatkannya bahwa aku tidak ingin memiliki adik baru seumpama dia hamil bersama pria lain. Dan, seluruh kekayaan yang dimiliki keluarga kami adalah warisan dari kakek Amarin atau orang tua dari ibu.
“Mama harap Volca bisa ikut sarapan tiap pagi.” mama tiba-tiba menyeletuk dengan meyebut adik laki-lakiku.
“Varo harap mama gak ikut campur sama masa remaja Volca.” balasku. Aku bisa melihat mama terlihat mengaduk-aduk makanan dihadapannya dengan lesu. Walaupun tingkah mama kadang absurd dan nyeleneh untuk ukuran orang yang memiliki pengaruh tapi sifat keibuannya kadang muncul, mungkin mama sedang kerasukan kuntil anak sehingga rindu anaknya.
Mama terlihat tidak nafsu makan lagi dan pergi dari meja makan tanpa berpamitan padaku. Aku hanya menghela napas.
…
..
.
Aku duduk dikursi merah didalam ruangan dengan pencahayaan yang remang-remang. Aku menyilangkan kakiku dengan angkuh dihadapan orang yang berlutut dihadapan kakiku, wajah orang itu penuh lebam dan berlumuran darah. Aku menendangnya sekali lagi saat orang itu bersaha menggapai kakiku.
“Aku harap ini peringatan terakhir untukmu.” Aku mengambil cerutu dari saku jasku, dengan sigap Riko mengulurkan nyala korek api dicerutuku. Dia adalah pengawal yang sering aku ajak untuk pertemuan-pertemuan penting selain Ari. Aku menghembuskan asap pelan, menikmati setiap rasa pahit yang terasa dimulutku.
“Ampun Mr. Varo. Beri saya tenggat waktu satu bulan lagi.” orang dibawahku memohon dengan kesakitan.
“Waktu? Aku sudah memberimu waktu.”
“Ma-maafkan saya Mr. Varo. Perusahaan saya baru saja mengalami kerugian besar. Saya tidak ada uang lagi untuk membayar hutang.”
Aku melempar cerutuku yang masih tersisa kemudian menginjaknya tepat dihadapan orang itu. Aku sedikit membungkuk dan berbisik dihadapan orang itu.
“Itu bukan urusanku.”
Aku berdiri dan mengisyaratkan pada Riko untuk menghabisi orang tersebut. Riko mengangguk dan segera memerintah Bodyguard lain untuk menghabisinya. Aku keluar dari ruangan itu dan diikukti oleh Riko. Dari dalam ruangan terdengar erangan demi erangan, mendengarnya saja membuatku tersenyum bahagia.
Duar!
Duar!
Suara tembakan terdengar lagi dari dalam. Aku kaget dan segera menoleh pada Riko yang ikut kaget mendengar suara tembakan.
“Apa mereka benar-benar menghabisinya?” aku bertanya pada Riko. Aku tidak memerintahkan untuk membunuhnya.
“Tidak tau, Tuan. Saya akan melihat kedalam.”
Saat Riko akan masuk, dari arah pintu aku melihat TiangPoi, orang yang tadi berlutut dengan wajah babak belur berlumuran darah, kini orang itu menodongkan pistol pada kami. Dengan sigap Riko mengeluarkan pistol dan siaga menghadang TiangPoi.
“VARO!” TiangPoi berteriak padaku sambil tertawa. Sebuah mobil hitam muncul dan dari dalamnya keluar lima orang dengan pakaian preman, mereka menodongkan pistol padaku dan Riko. Sial! Sudah kuduga ini akan terjadi. Kini aku hanya bisa mengangkat kedua tanganku.
“Apa lagi?” aku bertanya dengan tenang. Tapi TiangPoi malah tertawa memperlihatkan giginya yang merah karena darah.
“Sudah kuduga kau akan melakukan ini.” TiangPoi terus tertawa sambil menodongkan pistolnya semakin dekat denganku, Riko kalang kabut karena kalah jumlah.
“Kau selalu bersikap kasar padaku, Varo.” Tiangpoi menodongkan pistolnya tepat dikepalaku. “Kau bahkan tidak pernah memiliki belas kasihan. Sekarang bagaimana rasanya jika seseorang menodongkan pistol padamu, VARO!” Orang itu terus berbicara sambil tertawa.
“Kau pikir aku takut?” aku menantangnya. Tiangpoi terlihat geram dan semakin mendorong pistolnya padaku.
“Aku harap kematianmu memberi kebahagiaan pada orang lain.”
Aku menyinggungkan senyum pada Tiangpoi sebelum..
Dor!
Anak buah Tiangpoi mulai berjatuhan, Tiangpoi panik dan segera melarikan diri. Aku segera ikut melarikan diri dan sembunyi. Rupanya rencanaku untuk menyembunyikan sebagian bodyguard tidak sia-sia.
“Habisi orang itu.” perintahku pada Riko. Aku mengeluarkan pistol dari pinggangku dan menembak kearah musuh yang terlihat. Namun baru beberapa kali tembakan peluruku habis. Aku melihat sekelilingku dan segera berlari sembunyi lagi aku berharap bodyguardku bisa mengurus sisanya. Kedua kubu saling adu tembak dan saling mengejar. Aku mengikuti arah Riko mengejar bajingan yang membuat keributan, Sial! Kali ini aku tidak akan mengampuninya!.
Aku mengejar Tiangpoi yang berlari kearah gang kosong, sudah bisa ditebak seperti difilm-film bahwa penjahat akan berlari ke gang sepi atau daerah yang jarang dijangkau manusia. Tiangpoi berhenti disudut gang yang buntu, dia tampak kebingungan mencari jalan keluar. Aku mendekat kearahnya dan melayangkan tinjuku sampai orang itu tersungkur, pistol terlepas dari tangannya.
“Awalnya aku tidak berniat membunuhmu. Tapi karena kau memulainya dulu, aku tidak akan segan mencabut nyawamu.” aku memberinya pukulan saat dia akan meraih pistolnya. Tiangpoi kembali terhuyung , dia mengelap darah dibibirnya sambil tertawa.
“Ayo, bunuh aku jika itu memang maumu.” Tiangpoi menantangku. Orang ini sepertinya tidak mempunyai rasa jera. Aku menarik kerahnya dan memukul wajahnya bertubi-tubi. Orang dihadapanku mulai lemas, aku mengendorkan cengkramanku, membiarkannya tergeletak ditanah membiarkannya mati.
Aku membalikkan tubuhku dan menyalakan rokok. Namun,
Bruak!!
Orang itu menghantamku dengan balok kayu dipunggungku. Aku tersungkur ditanah dan rokokku masih ditangan. Orang itu segera pergi dengan tertatih begitu mengetahui aku masih selamat. Aku membuang rokok yang baru saja aku nyalakan tentu saja aku akan mengejar pria bajingan itu. Aku berjalan cepat, sengaja membiarkan bajingan itu menyeret kakinya yang mungkin patah karena tendanganku. Orang itu melemparkan benda-benda yang ada disekitarnya padaku sambil terus menyeret kakinya.
“Sepertinya aku tidak perlu mengasihanimu lagi.” aku terus mendekat sampai jarak kami tinggal empat meter, orang itu seperti mulai kelelahan. Aku mengambil ancang-ancang dan menendangnya dengan sekuat tenaga, membuat orang itu tersungkur dan menabrak seseorang yang tidak sengaja lewat tempat sepi ini.
“Aish..!” seorang pemuda tampak agak marah karena dirinya tiba-tiba ditabrak. Tiangpoi bajingan itu terlihat sedikit mengeliat.
“Hei! Minggir!” aku mengusir pemuda itu. Pemuda itu sedang berdiri dan menatapku dangan curiga.
“Cih! Seharusnya kau meminta maaf!” pemuda itu tampaknya tidak peduli dengan orang tergeletak yang tadi menabraknya. Pemuda itu segera pergi namun Tiangpoi menahan kakinya.
“Tolong.”
“Pak Tiang!”
…
..
.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
19/06/2022
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments