8.2

Seperti yang diperintahkan oleh Varo, Bei tetap menjadi Bodyguard Nona Widya meski dalam hati Bei enggan dan sedikit trauma karena merasa dirinya hampir dilecehkan. Nona Widya bertanya apa yang dilakukan Varo pada Bei, dan Bei mengatakan bahwa Tuan Varo berbaik hati memaafkan dirinya. Bei terpaksa harus berbohong demi kelangsungan hidupnya. Bei kini harus fokus pada misinya dan tidak mau berduaan dengan Nona Widya lagi, sebisa mungkin Bei akan menyeret Lala dalam situasi apapun saat mengawal Nona Widya.

Sudah beberapa hari ini Bei menjadi Bodyguard Nona Widya kembali. Kini Bei sudah berdiri dibalkon ruang kerja Varo untuk melaporkan aktivitasnya seperti biasa.

“Nona Widya pergi dan berkumpul bersama istri pemegang saham, setelah itu Nona Widya hanya pergi ke salon dan pulang.” Bei memberi laporan pada Varo sesingkat mungkin. Varo yang sedang merokok menghadap keluar balkon hanya diam mendengar laporan dari Bei. Meski beberapa hari belakangan tidak ada yang aneh dari laporan Bei, tapi Varo merasa itu hanya sesaat karena orang yang dipanggilnya Nona Tua itu pasti tahu bahwa dirinya sedang diawasi anaknya yang posesif dan garang.

Varo menghembuskan asap rokoknya ke udara, sesekali mengetukkan jarinya ke pagar penghalang balkon.

“Nona Tua itu pasti sedang menunggu sampai aku lengah.” ucap Varo. Varo menggosokkan ujung cerutunya pada asbak untuk memadamkannya. Bei tidak mengerti apa yang dimaksud tuannya tersebut tapi mencoba mengangguk agar tuannya puas.

“Ya, Tuan.” Bei asal bicara. Varo tertawa ditenggorokannya dan berbalik kearah Bodyguard muda yang berdiri dibelakang tidak jauh darinya.

“Dulu aku berpikir kamu sangat pintar dan lihai.” ucap Varo. Bei merasa bangga karena dipuji atasannya.

“Tapi ternyata kamu lebih bodoh dari pada yang aku kira.” Varo melanjutkan. Seketika Bei mengendurkan perasaannya yang tadinya bangga.

“Maafkan saya, Tuan.” hanya itu kata yang bisa Bei ucapkan meskipun dia belum mengerti sepenuhnya ucapan Varo. Varo berjalan masuk kembali keruangan kerjanya diikuti Bei dibelakangnya. Varo duduk dikursi kerjanya sedangkan Bei belum berani pergi karena belum disuruh pergi oleh Varo. Varo mengambil sesuatu dilaci mejanya dan menyerahkannya pada Bei. Itu adalah sebuah kartu ATM.

“Ambil ini.” Varo menyodorkan kartu tersebut. Bei mengambil kartu tersebut dari meja Varo dan melihatnya sebentar dengan tanda tanya dikepalanya.

“Untuk apa kartu ini, Tuan?” tanya Bei.

“Seperti janjiku dulu. Meski pekerjaanmu belum maksimal tapi aku sudah berjanji. Dan biaya kuliah adikmu sudah aku bayar langsung ke universitas.” ucap Varo. Bei yang mendengarnya seketika tersenyum cerah tidak seperti beberapa hari belakangan. Ya! Hari yang paling indah adalah hari gajian. Hehe…

“Terimakasih Tuan Varo.” Bei tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

“Ya. Sekarang keluar dari ruanganku.” Varo mengusir Bei yang terlihat masih bergembira. Tapi meski ucapan Varo dingin dan ketus, itu tidak menyakiti hati mungil Bei yang sedang gembira. Tanpa banyak bicara lagi Bei segera pamit dan keluar dari ruangan Varo.

Setelah Bei keluar dari ruangan, Varo memastikan lagi bahwa saat ini dirinya benar-benar sendirian. kemudian Varo tersenyum, sangat aneh. Bukan aneh karena Varo tersenyum. Tapi Varo berpikir Bei sangat aneh dan masih kekanakan. Varo tahu bahwa para Bodyguardnya memang orang aneh dan tidak biasa. Dan setelah Bei menjadi bagian dari Bodyguardnya, Varo tahu bahwa masih ada orang yang bersikap lebih aneh dan kekanakan.

“Sepertinya aku salah merekrut Bodyguard. Dia masih terlalu kekanakan dan gegabah.” Varo berkata pada dirinya sendiri.

Yah,, meski Bei agak aneh, kekanakan dan gegabah. Tapi itu adalah bagian dari hiburan untuk para bodyguard lain.

Setelah itu dikamar Bei. Milky berkata bahwa akan ada hari bebas untuk bodyguard yang biasanya dilakukan bergilir dan dijadwal. Milky juga berkata bahwa bodyguard yang sedang bebas diperbolehkan menggunakan ponsel pribadi dan pergi keluar dan bersenang-senang. Mendengar itu Bei merasa bertambah gembira dan berharap dirinya memperoleh giliran hari bebas tersebut. Bei sangat rindu pada adiknya dan berharap bisa bertemu dengannya atau mengobrol sebentar lewat ponselnya yang sudah berminggu-minggu tidak disentuhnya.

Milky yang melihat perasaan gembira yang terlihat diwajah Bei hanya bisa tersenyum. Milky segera menyuruh Bei untuk istirahat karena tahu bahwa untuk orang yang masih muda seperti Ebi pasti terasa berat menjalani hidupnya ditempat seperti ini.

..

.

Ebi memandang layar ponselnya tanpa berkedip, seolah takut dia akan melewatkan suatu yang penting. Bukan tanpa alasan, tapi itu karena saat ini dirinya dan beberapa temannya sedang menunggu hasil ujian dan ingin melihat jumlah IPK yang didapatkannya lewat web akademik universitas.

“Satu menit lagi.” kata salah satu teman Ebi yang ikut duduk dibangku semen di halaman fakultas. Ebi mengatupkan kedua tangannya, berdoa agar IPK nya tidak turun dan masih tetap diangka tiga atau jika bisa sempurna diangka empat.

“Masuk! Masuk!” teman Ebi yang lain berseru. Segera Ebi masuk ke akun mahasiswanya tapi karena sepertinya banyak mahasiswa lain yang juga mengakses web secara bersama menyebabkan web akademik sedikit lebih lambat.

“Anjir lemot!”

“Keluar!”

“Yes! Gak ngulang!”

“Yah,,”

Berbagai macam reaksi terlihat. Ebi juga diam-diam memeriksa IPKnya. Matanya yang agak sipit sedikit menunjukkan keterkejutan. IPK Ebi naik disemester ini. Ebi tersenyum lebar sebelum salah satu teman perempuannya memiringkan kepala usilnya untuk melihat kearah ponsel Ebi.

“Wiihh,, tiap semester makin tinggi aja.” ucap perempuan usil tersebut.

“Hehehe..” Ebi tersenyum gembira. Teman-teman Ebi yang lain saling membandingkan nilai IPK masing-masing. Mereka tidak membenci jika IPK temannya ada yang lebih tinggi. Kehidupan yang langka di kampus. Teman-teman Ebi sangat loyal, entah itu karena budaya teknik yang menjunjung tinggi loyalitas atau memang Ebi berada disekitar teman yang tepat.

Teman-teman Ebi masih membahas tentang nilai IPK dan lain-lain. Kemudian Ebi meminta meminta ijin untuk keluar dari perbincangan sebentar karena ingin menelpon. Ebi mengambil ponselnya dan berdiri tidak jauh dari bangku semen tempatnya tadi. Setelah dirasa tidak banyak orang, Ebi segera mencari nomor orang yang sudah lama tidak menghubunginya.

“Aku harap Abang angkat telpon aku kali ini.” Ebi berharap dan mulai menempelkan ponselnya ke telinga. Hati Ebi berdebar karena khawatir bercampur ingin marah tapi semua tidak bisa dilampiaskannya karena orang yang menyebabkan amarahnya tidak bisa dihubungi.

“Tck!” Ebi berdecih dengan keras dan kembali mencoba menghubungi nomor yang tidak menjawab panggilannya sama sekali. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya Ebi menyerah dan membuka aplikasi pesan dan mengetik disana.

“Abang, IPK Ebi naik!” - send

“Abang kalau luang kabari Ebi.” - send

“Jangan mati! Cuma Ebi yang boleh bunuh Abang, Hehehe..” send

Ebi memandangi lagi pesan yang sudah dikirimnya dan menggesek pesan tersebut kebawah untuk melihat pesan-pesannya yang dikirim dulu. Ebi menceritakan semuanya pada Abangnya lewat pesan tersebut. Mulai dari rentenir yang tidak datang kerumahnya lagi, atau tentang ponselnya yang rusak, dan Ebi juga bercerita tentang pengalaman KKN nya. Ebi juga berkata bahwa Abangnya tidak usah khawatir tentang uang saku atau apapun, karena Ebi masih bisa bekerja sampingan dan itu cukup untuk makan dan ongkosnya kuliah. Meski Abangnya yang dulu pamit untuk bekerja dan kadang memberinya uang, Ebi tidak berharap gaji Abangnya itu untuk dirinya. Cukup mereka untuk melunasi hutang dan hidup Ebi yang sendirian dirumah sudah aman.

Ebi menghela nafas berat. Dirinya ingin marah tapi disisi lain khawatir dengan Abangnya, satu-satunya keluarganya karena sejak kejadian yang mengerikan itu pamannya tidak pernah muncul lagi dirumah.

“Huh!”

“Lagi mikir Apa?” sebuah suara dari belakang Ebi membuat dirinya berbalik kebelakang dan menemukan pria yang tidak ingin ditemuinya saat ini. Ekspresi Ebi berubah menjadi kesal karena orang tinggi yang dihadapannya saat ini.

“Apa?” tanya Ebi dengan ketus. Volca tertawa ditenggorokannya.

“Gak papa. Cuma lucu aja ngeliat ekspresi kamu yang langsung berubah pas tau aku dateng.” Volca menggoda Ebi. Ebi yang mendengarnya melotot marah tapi karena matanya agak sipit malah terlihat lucu.

“Ngapain kamu disini?” Ebi bertanya dengan sinis.

“Ehm,, kira-kira kenapa ya?” Volca sengaja memancing Ebi. Sebenarnya Ebi tau apa maksud Volca datang tapi Ebi memilih pura-pura lupa.

“Ngapain anak ekonomi main ke teknik? Gak jelas banget.” Ebi segera meninggalkan Volca dan kembali ke kelompok temannya yang sebagian masih duduk dibangku semen dan Tentu saja Volca mengikuti Ebi.

Ebi segera duduk diikuti Volca yang duduk didepan Ebi. Teman Ebi yang masih berada ditempat tersebut hanya bisa bertanya-tanya diwajah mereka.

“Kenapa dia disini?” teman perempuan Ebi yang tadi usil sekarang bertambah usil dengan berbisik pada Ebi. Ebi hanya mengangkat bahunya tanda tidak tahu.

“Ehem,, Mas ganteng nyari siapa disini?” kini teman perempuan usil itu bersikap genit dengan pura-pura menyibakkan rambutnya kebelakang telinga, padahal jelas dia memakai hijab. Sialnya si Volca malah tersenyum melihatnya dan kemudian beralih menatap Ebi yang bersikap acuh tak acuh.

“Cuma nyari Ebi. Dia udah janji mau kencan sama aku.” Volca berkata dengan percaya diri yang menyebabkan pemilik nama yang disebutkan mengerutkan kening dan memaki diwajahnya. Teman perempuan Ebi yang usil dan genit tertegun sebentar, ekspresinya sama dengan orang-orang yang masih duduk bangku sama sejak tadi.

“Loh,, Kenapa kamu gak bilang kalo udah punya pacar, Ebi? Dasar jahat.” temen perempuan usil itu memukul pelan lengan Ebi dengan manja, tidak terima jika teman pintarnya ternyata mempunyai pacar tanpa sepengetahuannya.

“Ehm, kita belum pacaran kok. Cuma mau kencan. Itupun kalau IPK ku lebih tinggi dari punya Ebi.” Volca berkata sambil tersenyum. Ebi memutar bola matanya dengan kesal.

“Aku gak akan pernah kencan masa manusia over eksis kayak kamu.” ucap Ebi dengan kesal.

“Kencan aja gih,, aku tau dia pangerannya Ekonomi. Lumayan kan.” teman perempuan Ebi yang usil tersebut berbisik padannya. Ebi mengerutkan keningnya dan cemberut kemudian menatap Volca yang tersenyum.

“Dih, ogah.” ucap Ebi dan segera mengambil tasnya dan pergi. Volca segera pamit pada orang-orang yang berada dibangku tersebut dan mengikuti Ebi pergi. Namun baru beberapa langkah teman perempuan Ebi yang usil itu berteriak.

“3.83!”

“RITA!” Ebi berteriak pada teman usilnya itu dan orang yang bernama Rita hanya meringis sambil mengangkat kedua jempolnya dengan pura-pura polos. Volca hanya bisa tersenyum karena saat ini dirinya ditatap dengan tajam oleh Ebi. Ebi segera pergi dengan cepat diikuti oleh Volca.

Sepertinya Volca akan benar-benar bergi berkencan kali ini.

..

.

1/10/2022

Thankyou ┻⁠━⁠┻⁠︵⁠└⁠(⁠՞⁠▽⁠՞⁠ ⁠└⁠)

See you next Chapter ლ⁠(⁠^⁠o⁠^⁠ლ⁠)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!