Bei sedikit pusing karena minuman beralkohol yang diberikan temannya, Ali. Tapi pikirannya masih sadar, dirinya segera pulang karea dirinya tau akan beresiko jika dirinya pulang dalam keadaan mabuk parah sehingga Bei pulang dengan kepala sedikit pusing. Bei teringat kembali tawaran Ali untuk ikut bekerja dengannya di dermaga sebagai security, tapi Bei tidak tega meninggalkan Ebi sendirian, apalagi bayang-bayang pamannya, bukan, tapi orang brengsek yang menyebut dirinya paman akan kembali masih menghantuinya.
Bei berjalan pelan sedikit sempoyongan, kakinya diseret sepanjang trotoar. Ingatannya kembali saat dirinya dan adiknya masih kecil. Dulu setelah orang tua Bei meninggal dan menitipkan Bei dan adiknya ke paman brengseknya, tapi yang paman lakukan hanya berjudi, mabuk dan berhutang dimana-mana. Dari kecil Bei dan Ebi sudah terbiasa mendengar penagih hutang yang berteriak dan menerobos rumahnya mencari pamannya. Dan kini setelah Bei dewasa penagih hutang sering meminta uang pada Ebi dan mengatakan bahwa semua hutang sebenarnya milik peninggalan orang tua Bei. Huft,,,, entahlah, yang sekarang Bei inginkan hanya melunasi semua hutang yang mereka miliki.
Bei terus berjalan sampai ke tempat sepi yang biasa dirinya lewati setelah pulang bekerja sift. Jalanan yang sepi dan jarang orang lewat tapi jalan ini adalah rute tercepat untuk sampai kerumah.
“Mungkin ini terakhir kali aku akan lewat jalan ini.” Bei melanjutkan perjalanan melewati bangunan yang lusuh dan gelap.
Bugh!
Seseorang menabrak Bei dan membuatnya terjatuh, bokongnya sakit karena langsung menapak pada jalanan yang keras.
“Aish..!” Bei mengeluh dan mencoba berdiri. Bei sebenarnya ingin marah kepada orang yang tiba-tiba menabraknya, tapi dilihatnya orang itu terlukai lemas dan babak belur, Bei pun mengurungkan niatnya. Sepertinya ada orang sedang berkelahi ditempat ini.
“Hei! Minggir!” seseorang dari dalam kegelapan muncul didepan Bei. Itu adalah pria tinggi tampan dengan wajah garang. Bei yang sedikit membaca situasi segera pergi karena tidak ingin ikut campur urusan orang lain. Namun, sebuah tangan menahan kaki Bei.
“Tolong.”
“Pak Tiang!” Bei terkejut karena melihat mantan bosnya babak belur dibawahnya. Pria berwajah garang yang berada disitu juga sedikit terkejut karena Bei mengenali orang yang sedang dihajarnya. Varo juga merasa tidak asing dengan wajah Bei.
“Hei! Jangan ikut campur!” Varo mengancam Bei. Wajah Varo sedikit tidak terlihat karena cahaya jalanan yang remang-remang. Bei menatap pak Tiang yang masih menarik celananya. Bei tidak ingin ikut campur meski itu adalah urusan orang yang pernah dia kenal.
“Ehm,, Maaf. Bukannya mau ikut campur. Tapi ini celana saya gak bisa ditarik.” Bei berusaha bercanda agar tidak menyinggung orang yang sepertinya ingin segera membuat Bei pergi. Varo mendecak kesal karena Tiangpoi belum mati dan sekarang malah kedatangan pemuda entah dari mana.
“Aku bilang cepetan pergi!” Varo meninggikan suaranya. Varo menghampiri Bei dan mendorongnya, membuat Bei terjatuh. Varo menendang Tiangpoi berkali-kali dihadapan Bei. Sebenarnya Bei ingin pergi tapi orang dihadapannya terlihat sangat brutal dan tidak manusiawi. Bei berdiri dan menepuk bahu Varo.
“Eh, Bang. Kasihan dia udah mau mati.” Bei melihat pemandangan dihadapannya dengan agak ngeri. Varo berhenti sejenak dan menoleh pada Bei yang tidak jauh darinya.
“Aku udah bilang, jangan ikut campur!” Varo kembali menendang Tiangpoi yang sudah lemas dan tidak bergerak, sepertinya kekesalannya sedang memuncak. Bei yang sudah tidak tega pun menarik Varo agar mundur.
“Bang!”
Plak!
Varo menepis tangan Bei dan tidak sengaja menamparnya. Bei terdiam sejenak, tamparan tersebut membuat Bei sadar sepenuhnya dari alkohol. Varo menatap Bei yang tatapannya tiba-tiba berubah dihadapannya, hati Varo sedikit menciut karena belum pernah dirinya melihat tatapan seperti pembunuh didepannya secara langsung, karena selama ini tidak ada yang berani menatapnya dengan tatapan seperti itu.
Bei yang sedikit tersulut emosi mencengkeram kerah pria tinggi dihadapannya dan membantingnya diudara. Varo yang belum siap langsung merasakan punggungnya menabrak aspal. Brak! Belum sempat Varo melawan, Bei melakukan kuncian dilehernya, mereka berdua bergelut ria diatas aspal.
“Sudah aku bilang berhenti, harusnya abang berhenti.” Bei mempererat kunciannya membuat Varo mulai kehilangan akal sehat karena kehabisan oksigen.
“A-Ak,,” Varo mencoba bicara namun kata-katanya tersangkut ditenggorokan. Varo tidak ingin dirinya kalah hanya karena dirinya kurang waspada pada serangan Bei diawal. Dan Varo juga gengsi jika menyerah sekarang. Tapi jika melawan sepertinya akal sehatnya mulai menipis. Akhirnya Varo lemas dan tidak bergerak. Sadar karena tidak ada perlawanan lagi, Bei melonggarkan kunciannya. Dua orang sudah pingsan.
…
..
.
Thankyou(●♡∀♡)
see you next chapter (༎ຶ ෴ ༎ຶ)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments