Sementara di jalan lain.
Bunga tertunduk sedih, sejak tadi ia berusaha menyembunyikan air matanya yang terus menetes. Tak ada suara, mereka berdua tenggelam dalam kesunyian. Mobil pun berhenti di halaman rumah mewah milik Tuan Kenshin. Briyan turun lebih dulu serta membukakan pintu untuk kakak iparnya. Bunga turun tanpa menoleh sedikitpun kearah Briyan. Lelaki itu hanya tersenyum kecut, sebelum dia membawakan semua barang-barang milik Bunga.
Pelayan di rumah Tuan Kenshin sudah berdiri membukakan pintu untuk nona mereka. Tak ada senyum yang terlihat di wajah Bunga.
"Selamat datang Nona." Sapa pelayan.
Bunga hanya mengangguk dan tentu saja pelayan itu sedikit bingung, tak seperti biasanya Bunga berwajah seperti itu, semua pelayan juga tahu bahwa Nonanya ini terkenal ramah, namun kenapa tiba-tiba berubah menjadi dingin. Ah mereka pikir, mungkin Nonanya itu kelelahan karena sehabis berbelanja.
Sesampainya di ruang tengah.
"Sayang, Kamu sudah datang?"
Tanya Rio pelan, yang entah sejak kapan Rio pulang dari kantornya dan Bunga pun tak melihat mobil putih milik Rio terparkir di halaman, lelaki itu terlihat khawatir. Bunga segera memaksa bibirnya untuk tersenyum di hadapan suami tercinta. Rio mendekat, kemudian merangkul mesra pundak Bunga.
"Kamu keliatan lelah!"
"Hanya sedikit."
Bunga seperti tak punya semangat untuk menjawab setiap pertanyaan yang di lontarkan Rio. Rio membawanya ke sofa empuk untuk duduk, dia tersenyum.
"Aku khawatir padamu, ponselmu tidak aktif."
"Kak, ini barang-barang belanjaanmu, Aku harus meletakannya di mana?"
Tiba-tiba saja Briyan datang. Mengalihkan pembicaraan mereka.
"Letakan saja di situ."
Briyan menjawab dan segera berlalu.
Rio mengambil tangan Bunga untuk ia genggam. Memperhatikannya penuh cinta.
"Sayang, ada apa dengan lehermu?"
Tanya Rio heran. Bunga merabai lehernya yang sedikit terdapat tanda merah.
"Ada apa memangnya?"
Rio terdiam sejenak.
'Apakah itu bekas ciumanku semalam? tapi Aku tak melihatnya tadi pagi.' Rio bertanya di dalam batin.
"Kamu melihat apa?" Bunga penasaran di buatnya.
"Tidak ada, mungkin itu bekas ciumanku tadi malam."
Nada Rio terdengar kecewa. Bunga bisa merasakannya.
"Ya sudah, Aku ingin kembali ke kamar, apakah pekerjaanmu sudah selesai?"
"Belum."
"Lalu, kenapa kamu pulang?"
"Aku mengkhawatirkanmu. Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Apa?"
"Ponselmu."
"Semalam Aku lupa mengisi baterainya."
"Lain kali, jangan membuatku sangat khawatir, Aku hampir-hampir gila mencarimu."
Bunga hanya diam memandanginya saja.
'Rio maafkan Aku, Aku tak bisa menjaga bibir yang hanya milikmu, Briyan si jahat telah mengambilnya.' Bunga membatin dengan intonasi kecewa.
"Kenapa diam? Apa ada yang salah pada ucapanku?" Rio mengelus pipi Bunga.
Aliran darahnya mendadak kencang. Jantungnya pun sejak tadi berdetak sangat hebat. Rio perlahan menyatukan bibir mereka dan menciumnya dengan manis.
PRANG!
Tiba-tiba terdengar benda jatuh ke lantai.
Mereka berdua segera melepaskan ciuman itu dan menoleh, buru-buru seorang pelayan bersujud di kaki Rio.
"Maafkan saya Tuan, jangan pecat saya Tuan," ucap pelayan wanita di rumah Rio memohon-mohon. Rio beranjak bangun dari tempat duduknya.
"Bangunlah."
Perintah Rio datar dan secara perlahan-lahan pelayan menegakkan badannya.
"Apa kamu melihatnya dengan jelas?"
"Ya Tuan."
"Simpanlah untuk dirimu sendiri, lalu bersihkan serpihan kaca itu."
"Baik tuan, terima kasih."
Pelayan wanita memberi hormat serta bergegas membersihkan pecahan beling di lantai.
Rio menjawab singkat, sambil menarik lengan Bunga pelan. Mereka berdua kemudian berjalan menaiki tangga untuk menuju ke kamar. Briyan yang sejak tadi melihatnya di ujung ruangan langsung tersenyum sinis.
"Aku benci kemesraan itu, lihat saja, Aku tidak akan pernah berhenti untuk menganggumu!" Ancamnya kesal.
Sementara di atas sana, Rio dan Bunga masih berdiri saling berhadapan.
"Sayang, ku lihat hari ini kamu sangat berbeda."
Rio tak luput memperhatikan gerak-gerik Bunga.
"Kenapa Kamu bertanya seperti itu?" Bunga pun ikut menatapnya.
"Apa yang terjadi. Matamu seperti habis menangis?"
"Tidak ada apa-apa, mataku hanya bengkak sedikit sisa menangis tadi malam."
"Maafkan Aku sudah membuatmu sedih."
Rio memeluknya, Bunga tak menjawab, ia benamkan saja wajahnya pada dada Rio. Dia sedih karena sikap Briyan yang telah melecehkannya namun dia juga tidak mungkin jujur.
"Aku baik-baik saja Rio. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Aku." Jelas Bunga terdengar manja. Rio tersenyum.
"Baiklah Aku akan pergi, tapi sepulang kerja nanti Aku tidak akan melepaskanmu!"
"Apa maksudmu?"
"Tentu saja menganggu isteri cantikku tanpa henti." Jawabnya serius.
"Ah, kamu ini."
Rio tertawa sambil mengelus kepala bunga dan melepaskan pelukannya. Bunga ikut tersenyum, Rio mengangguk lalu pergi.
Bunga merasa kepalanya berdenyut sakit. Dia duduk di tepi sprimbed dengan membawa sejuta luka yang pedih. Memegangi bibirnya, ia berpikir bagaimana mungkin pria lain ikut menikmati bibirnya. Dia merasa sangat tidak rela jika Briyan menyentuhnya. Satu hal yang selalu ia prinsipkan, dia bukan wanita murahan. Entah mengapa tiba-tiba saja air matanya kembali menetes. Jika saja waktu itu Reza tidak datang tepat waktu, kemungkinan besar Briyan sudah pasti memperkosanya.
"Reza! Sejak kapan dia ada di sini? Apakah dia mengikutiku? Apa yang dia lakukan di jepang, bukankah di indonesia dia sudah mendapatkan posisi pekerjaan yang baik?" Ucap Bunga penasaran, berbicara pada dirinya sendiri.
Bunga kemudian teringat akan ponselnya. Segera ia ambil tas dan menemukan ponsel genggamnya, Briyan sudah memberikannya sebelum mereka turun dari mobil. Dia menatap lekat layar ponselnya. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments