MOBIL sport berwarna merah melaju dengan kecepatan sedang, sejak beberapa menit yang lalu. Tak ada suara dari dalam mobil itu, kedua penumpang dan satu supir seolah terhanyut dalam lamunan mereka. Yang terdengar hanya deruan mesin mobil, bunyi klason serta kebisingan hiru pikuk dari keramaian kota ini.
Bunga sedikit canggung menghadapi suasana seperti sekarang, dia teramat tegang, bibir merahnya sejak tadi berkomat kamit melafazkan sesuatu. Dia takut, takut akan kedinginan lelaki di sampingnya ini. Jika Rio benar-benar marah, apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus perduli? Atau mengabaikannya saja. Ah, Rio membuatnya seperti mati kutu.
"Rio."
Panggil Bunga pada akhirnya. Namun suara itu terdengar hambar sedikit bergetar. Lelaki berwajah khas yang memiliki segala kesempurnaannya hanya menoleh, tak ada ekspresi sama sekali.
"Ap-apa kamu mendengar seluruh pembicaraanku sejak tadi?" Tanya Bunga ragu.
Dia tak juga menatap wajah Rio dengan jelas. Karena ia tidak memiliki keberaniaan untuk menatap dengan pandangan meneliti. Terlalu sulit. Sejak tadi dia hanya merasa seperti seogok debu tanpa rupa. Rio terdengar menghela nafasnya dalam, sedalam pandangan kedua matanya.
"Kenapa, jika Aku mendengarnya?" Rio balik bertanya.
"Ak-aku hanya bertanya."
"Sudahlah, jika begitu kamu tidak memiliki rasa penasaran pada pertanyaan konyolmu. Jadi apa perlu Aku menjawabnya?"
Pandangan Rio berubah menatap ke arah jalanan. Bunga menunduk sejenak.
'Menyebalkan!' Batin Bunga dalam hati.
Sejak tadi Rio berusaha menahan emosi namun Bunga seakan memancingnya.
"Kamu tak cukup pintar untuk misimu yang bodoh itu." Ujar Rio lagi.
Seketika Bunga menegakkan pandangannya.
"Apa maksudmu?" Bunga bertanya dengan nada bergetar-getar.
"Ku bilang Kau bodoh!"
Bunga segera memejamkan mata, darahnya seakan mendidih mendengar makian Rio, bagaimana mungkin mulut Rio tidak bisa berbicara lebih halus lagi. Apakah begitu caranya memperlakukan orang?
"Kenapa? Apa Kau marah? Tentu saja Kau marah. Coba saja untuk membantahku lagi. Akan kubelah dadamu, serta mengambil hatimu lalu kucincang dan memasaknya di paci."
Wajah Bunga mendadak pucat. Dia menatap lagi kearah lelaki di sampingnya. Sama sekali tidak berperasaan, jauh dengan ketampanan yang dia miliki dan Rio lebih mirip pembunuh berdarah dingin. Bunga berkidik seram membayangkannya.
Bunga terus menatapnya.
"Apakah kamu juga akan memakannya untuk dirimu sendiri?" Bunga masih di selimuti rasa penasaran.
"Tentu saja Aku akan memakannya hingga habis. Tanpa sisa, dengar itu baik-baik!"
Bunga langsung mengerutkan dahinya, AC didalam mobil, tidak membuatnya terpengaruh sama sekali, dengan keringat yang tiba-tiba membasahi pelipisnya. Itu adalah keringat berlebihan, akibat ketakutan yang Bunga rasakan saat sekarang.
Rio menatapnya kembali. "Apa kau takut?"
"Kamu sangat menakutiku."
"Jika begitu bersiaplah menghadapi kematianmu sekarang. Benikno cepat kemudikan mobil ini, melajulah ke tempat yang kosong Aku akan segera mengeksekusikan perempuan pembangkak ini!" Perintah Rio tegas.
"Siap Tuan!"
Benikno tak kalah tegas. Dia sedikit tersenyum tipis, sambil menolehkan wajahnya ke lain sisi. Tentu saja Bosnya tidak betulan.
Seketika mata Bunga membesar layaknya telur ayam. "Kamu serius? Ampuni aku, Aku berjanji tidak akan membantahmu lagi Rio." Rengeknya datar.
"Apa kau bisa menepati janjimu? Mana Aku percaya."
"Ku mohon jangan belah dadaku, Aku masih ingin hidup Rio."
Rio tersenyum sinis mendengarnya.
"Aku tidak perduli, Aku akan segera membelah dadamu."
"Turunkan Aku di sini, kamu benar-benar membuatku ketakutan Rio. Ayolah atau Aku akan berteriak!" Ancam Bunga masih dengan raut ketakutannya.
"Lakukan jika kau bisa!"
"Baik Aku akan melakukannya. Tolooooong!" Teriak Bunga lantang.
Rio terkejut.
"Bunga, apa-apaan kau ini." Ujarnya setengah panik.
Rio segera membekap mulutnya. Dan perempuan itupun memberontak, berharap tangan Rio bisa dengan mudahnya Bunga singkirkan.
"Jika kau berteriak lebih keras lagi orang-orang akan mendengarnya, lalu mengira Aku menculikmu, dasar perempuan bodoh!" Omel Rio tak habis pikir.
Bunga terdiam, nafasnya naik turun. Sementara Rio mendesah kesal.
"Apa yang ada di pikiranmu, selain pikiran negatif. Bagaimana mungkin Aku akan serius membunuhmu, Kamu adalah perempuan yang baru saja kunikahi."
"Kamu selalu mengancamku!" Bunga membantah.
Kedua mata beningnya berkaca-kaca. Rio bisa melihatnya walaupun samar-samar.
"Ya Tuhan Kau menangis?" Tanya Rio lirih.
Rasa emosi yang sempat meluap tadi berubah menjadi kelembutan. "Aku cuma bercanda Bunga, Aku tidak serius. Maafkan Aku." Jelasnya kemudian. Sambil melepaskan bekapan dari mulut mungil Bunga.
Bunga tak langsung menjawab, diapun menangis sekencang-kencangnya.
'Kenapa sifatnya sangat kekanak-kanakan. Jika begini terus Aku bisa grazy so grazy.' Gumam Rio masih menampakan kekesalannya.
Dengan sigap dia tarik gadis itu kedalam pelukannya. "Diamlah perempuan bodoh Kau sangat merepotkan!" Umpat Rio tegang.
Benikno yang melihat adegan itu seketika tertawa dan suaranya terdengar jelas.
"Benikno, berani sekali kau tertawa begitu kencang dihadapanku! Apa kau juga mau Aku buat begini?!" Marah Rio pada Asistennya.
"Maaf Tuan saya benar-benar tidak bisa mengontrol rasa geli, sejak tadi bibirku ini serasa di gelitiki. Nona muda lucu sekali." Ungkap Benikno sangat jujur.
Sementara Rio mendengus kesal. Bunga tak lagi menangis, dia merasa sedikit tenang berada didalam dekapan maut sang suami. Aih, tentu saja sejak tadi dia mencium aroma maskulin yang tersembunyi dari balik jas milik Rio.
Rio sangat menjaga kebersihan diri dan penampilannya, tidak heran jika wanita banyak yang melirik kepadanya. Bunga bisa di katakan satu-satunya perempuan beruntung, karena bisa menikah dengan pria setampan dan sekaya Rio. Semua wanita sangat mendambakan bisa tidur didalam pelukan hangat dari sang pemilik dada bidang Rio. Sebagian wanita pasti iri serta dengki.
Tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah Bunga. Benikno segera membukakan pintu untuk Tuan dan Nona mudanya. Mereka sudah turun.
"Ben, terima kasih kau telah mengantarku, sekarang beristirahatlah."
"Baik, sama-sama Tuan." Jawabnya penuh hormat.
Lelaki berperawakan tinggi jangkung serta memiliki kumis yang sedikit tipis lalu menegakkan kepalanya dan masuk kembali ke dalam mobil. Benikno kembali ke kamar hotel, untuk mengistirahatkan badannya yang sepertinya letih.
Rio kemudian merangkul pundak isterinya untuk membawanya masuk. Namun Bunga masih berdiri mematung.
"Ada apa? Ayo kita masuk." Ajak Rio.
"Masuklah dulu?"
"Udara di luar sangat dingin, tidak baik buat kesehatanmu."
Bunga hanya menggeleng.
"Apa kau masih marah terhadapku? Aku hanya bercanda lagi pula Aku sudah meminta maafkan?" Rio masih terus membujuknya.
Dan Bunga tetap pada pendiriannya. Wajah imutnya tidak menampakan kebahagian di situ. Sehingga menimbulkan tanda tanya didalam benak Rio. Sejauh ini dia belum bisa memahami perasaan perempuan sepenuhnya. Rio lalu tersenyum.
"Kamu tidak ingin bergerak, baiklah jika begitu."
Rio akhirnya harus bertindak seperti ini.
Di angkatnya tubuh Bunga.
"Hai! Apa yang kamu lakukan Rio, lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri."
Bunga memberontak, tapi itu tidak menggoyahkan pertahanan Rio untuk menurunkan Bunga begitu saja. Dengan jari jemari yang lihai, Rio memencet tombol bel disamping pintu.
TING TUNG
"Rio! Jangan kurang ajar lepaskan Aku!"
Bunga meronta-ronta, sambil memukul punggung Rio dengan kedua tangan nya. Rio tetap tidak memperdulikan nya, beberapa detik kemudian pintupun di buka oleh Bi inah.
"Tuan Rio apa yang terjadi pada Nona Bunga, apakah Nona sakit?" Tanya Bi Inah terlihat panik.
"Tidak Bi, Nona hanya ingin bergaya romantis." Jawab Rio beralasan.
Pembantu itu langsung tersenyum, menampakan giginya yang masih rapi dan putih.
"Wah, sudah seperti didalam sinetron saja sih Tuan."
"Bi, tolongin Bunga Bi!"
"Kok malah nolak sih Non, bukannya itu sangat menyenangkan Non."
Bi Inah menggeleng-geleng kepalanya melihat kelakuan kedua majikannya itu.
"Duh romantis banget sih Non Bunga sama Den Rio. Jadi keinget masa muda dulu." Ucap Bi inah lirih. Sambil kembali menutup pintu.
DI KAMAR.
Rio menurunkan tubuh Bunga ke atas sprimbed, dan menghirup oksigen yang serasa mau habis.
"Apa kau lega sekarang?" Tanya Rio setelah tenaganya terkumpul.
"Ya, Aku lega sekali, terimakasih sudah menggendongku sampai ke kamar." Jawab Bunga datar.
Namun wajahnya masuh terlihat manyun. "Oh iya, Aku masih penasaran soal kamu tahu keberadaanku di caffe itu, siapa yang sudah memberitahumu?"
"Tidak ada." Rio mengangkat sebelah alisnya.
"Lalu?"
"Tanyakan sendiri pada dirimu."
"Apa Maksudmu?"
"Apa perlu aku menjawabnya dengan jujur? Akukan sudah bilang bahwa kau adalah perempuan bodoh."
"Apa-apaan kamu ini, bisakah kamu tak mengatai Aku perempuan bodoh."
Bunga menampakan kemarahan di wajahnya, namun lelaki itu cuma tersenyum sinis.
"Kenapa kau menjadi marah? Seharusnya Aku yang marah, karena kau telah menemui si Reza tanpa seizinku."
"Kamu cemburu, kukatakan sekali lagi Aku dan Reza hanya berteman, kami juga tidak memiliki hubungan apa-apa. Kenapa kamu harus merasa cemburu?"
"Aku hanya takut kau akan jatuh hati kepadanya."
"Oh ya, kenapa tiba- tiba kamu merasa takut?"
"Suami mana yang tidak takut jika isterinya dekat dengan lelaki lain. Kau ini seperti anak kecil. Sekarang Aku ingin bertanya padamu, dengarkan baik-baik, Apa kau pernah merasa jatuh cinta?" Tanya Rio bernada suara pelan.
"Kenapa kamu ingin tahu? kamu mencoba mengungkit masa lalukan? Dan Aku tidak akan mengatakan apa pun."
"Apa salahnya jujur, apakah dengan kejujuranmu, hatimu menjadi sakit! Masa lalu memanglah masa lalu, jika itu pahit kau tak perlu mengenangnya atau menyalahkan hidupmu terus menerus." Bantah Rio panjang lebar.
"Aku tidak ingin mengingatnya. Aku ingin hidup pada masa depanku."
Bunga menjawab dengan mata berkaca-kaca. Rio kini semakin menatapnya tajam. Kenapa ia semakin penasaran akan masa lalu Bunga.
"Kamu menangis, ah kenapa begitu cengengnya dirimu?"
Rio mendekati Bunga, dan mengangkat dagu itu dengan pelan.
"Apa kau sedih? Sekarang masa lalu itu sudah tertinggal jauh. Katakan good bye untuk masa lalumu."
"Jika begitu kenapa kamu sangat ingin tahu masa laluku?"
Rio tersenyum.
"Baiklah jika kau keberatan, Aku tidak akan bertanya. Sekarang tidurlah."
Rio langsung mengecup bibir Bunga dengan hangat. Kali ini tak ada penolakan dari Bunga, sepertinya Bunga semakin terbiasa mengimbangi setiap kecupan yang diberikan Rio. Rio melepaskan kecupan itu dan berkata.
"Good night dear, Sweet dream."
Diapun bangkit menanggalkan pakaian yang ia kenakan dan ikut membaringkan tubuhnya. Suasana malam itu terasa dingin serta sunyi. yang terdengar hanyalah suara jangkrik. Bernyanyi-nyanyi dengan bahasanya sendiri.
Rio masih merasa gelisah, dia tidak bisa tidur malam ini.
'Apa yang sebenarnya Bunga sembunyikan dariku, kenapa Aku merasa bahwa dia bukan sekedar berteman dengan Reza. Lalu apa? Mantan? Tapi, tadi tidak kutemukan inbok pribadinya berbalas chat menggunakan kata-kata mesra layaknya kekasih? Aku melupakan sesuatu. Harusnya tadi kubaca lebih banyak inbok di facebook Bunga. Ah Rio kau bodoh! Aku tidak habis pikir. Ada apa dengan diriku? Aku hanya tidak rela jika Bunga berdekat-dekatan dengan pria itu. Reza, wajahnya juga tak kalah tampan.'
Batin Rio terus berperang dengan perasaannya sendiri. Lalu diapun mencoba untuk memejamkan matanya.
Disisi lain Bunga merasa bahwa pernikahan ini benar-benar seperti mimpi yang terjadi dalam semalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments