Penyesalan Suami : Aku Bukan Anak Kecil
"Apa dia akan menjemputku hari ini? Dia tahu kan sekarang waktunya aku ke kota? Aku tidak ingin terus di sini? Aku rindu Buna.. aku rindu Dhek Iya dan Dhek Iyu? Apa kabar Oma dan Nenek? Aku ingin pulang?"
Akhirusannah telah tiba, juga hari penyerahan ijazah tanda kelulusan dan penjemputan para santri. Riuh tawa, juga diselingi tangis haru, tanda syukur dari para orang tua yang menyambut putra putrinya kembali ke rumahnya, menghiasi halaman pondok pesantren Bambu Teduh siang itu.
Peluk hangat seorang ibu dan ayah melebur rindu yang menggunung bagi putra- putri mereka terus berlangsung.
Mereka semua berbahagia, berharap setiap bab ilmu dari putra putri yang mereka dapat di tempat itu, segera teraplikasikan dalam kehidupan mereka di depan. Ilmu mereka menjadi penuntun meraih bahagia di dunia dan akhirat.
Kini saatnya para santri berangkat. Berangkat menuju ke perjalanan panjang dalam kehidupan, membawa bekal ilmu yang mereka raup, untuk menjelajah dunia baru, dimana fase nya sudah berubah, dari remaja menjadi dewasa.
Tidak terkecuali, bagi gadis bermata bulat di tepi tenda. Tiga tahun sudah, Nila habiskan di dalam bangunan bertingkat dan berderet rapih dengan masjid besar di depanya itu.
Ini adalah hari penantianya, ujung hari yang dia rindukan, tiba masanya. Nila akan meninggalkan pondok itu, kembali ke kota kelahiranya. Berkumpul hangat dengan kakak dan adiknya, juga suami yang dirindukan.
Selain itu, dia juga akan segera memerankan peranya secara utuh menjadi istri seperti pernjianya tiga tahun silam.
Sayangnya jika teman- teman Nila merekahkan senyum, menggapai cinta yang banyak dari keluarga mereka, hati Nila dirundung gelisah penuh harap.
Hati Nila sepi di tengah keramaian. Semua gambaran bahagia Nila yang semalam memenuhi anganya, lenyap. Sekarang Nila hanya bisa nikmati angan itu dari melihat kawan santrinya, tapi tidak dengan dirinya.
Nila berdiri, melihat ke ujung jalan dan rumah besar di komplek besar itu, hati Nila terus meronta dengan penuh tanya, kenapa gerbang pintu pondok tetap sama.
Kenapa jumlah, juga pemandangan bentuk mobil yang terparkir di halaman rumah dhalem yang dia tempati tak kunjung bertambah dan berubah.
Sedari pagi masih kosong, tatapan Nila tak lepas dari setiap kendaraan yang datang, menanti sesosok yang dirindukan datang, membuka mobil perlahan ikut duduk di deretan bangku orang tua dan keluarga santri yang tengah di sediakan. Entah itu orang tuanya atau suaminya.
Namun sepertinya, Nila hanya bisa menelan pedih semua harapan itu. Perlahan keramaian mulai menyusut, satu persatu temanya berpamitan meninggalkanya, menyambut gandengan hangat keluarga mereka lalu pergi. Tawa dan senyum, orang tua kawanya menjadi kenangan manis yang membekas di ingatan Nila, sebagai tanda perpisahan.
“Ayo, Ning Nila... kita pulang dulu, ya!” pamit Bu Romlah, ibu Aisyah sahabat sekamar Nila.
“Iya... Bu. Hati- hati di jalan ya!” jawab Nila saat Aisyah dan kedua orang tuanya mendekat ke Nila dan berpamitan.
“Pokoknya, kita harus saling kabar- kabar ya. Nanti kuliah dimana? Kita ketemuan. Aku akan sangat merindukanmu” tutur Aisyah menggandeng lengan Nila.
Nila pun mengangguk tersenyum. "Iyah, Insya Alloh!"
Aisyah dan keluarganya, kemudian berjalan menjauh meninggalkan Nila.
Kini Nila sendirian, menjadi santri kelas tiga terakhir yang masih berdiri di tenda acara akhirusannah bersama adik- adik kelas panitia. Walau perlahan menghilang, sayup- sayup Nila mendengar percakapan Aisyah dan Bu Romlah, membicarakanya.
“Kok Ning Nila sendirian nggak dijemput orang tuanya?”
“Ibu..Ibu lupa? Kan Nila mantunya Abah kyai, ya Nila pulangnya ke rumah “Dhalem sama Ummi Nyai... itu rumah besar yang di samping pondok,”
“Oh ya... tapi kok Ibu nggak lihat Gusnya, suaminya Ning Nila yang mana?”
..........
Nila menelan ludahnya berusaha memejamkan mata, meminta telinganya untuk tidak mendengar kelanjutan jawaban sahabatnya. Itu pertanyaan yang terus mencabik hatinya.
Nila pun menyeret kakinya yang berat, Nila melangkah kembali ke dalam komplek pesantren.
“Baba..., Buna... aku ingin dijemput kalian?” jerit Nila menahan tangis sembari mempercepat langkahnya.
Nila berjalan menunduk menghindari tatapan adik- adik kelas yang menyapanya ramah dan hormat.
Nila Gunawijaya, adalah seorang Putri dari keluarga Gunawijaya, pengusaha besar di Negeri itu.
Dia memang sudah menjadi menantu kyai tempat dia menimba ilmunya itu, sejak awal masuk menjadi santri. Nila diperistri Gus dari tempatnya mondok itu atas karena perjodohan, kedua orang tua Nila dan guru besar Nila.
Gus yang memperistri Nila, bernama Rendi Akbar Maulana. Dia adalah, seorang putra tampan, berpendidikan tinggi. Sayangnya Rendi tidak berkenan melanjutkan perjuangan ayahnya mengabdi di pesantran. Dia memilih berkelana sendiri di kota lain dan berprofesi sebagai Dosen di universitas besar di ibukota.
Hanya saja, tiga tahun sudah Nila menjadi istri, tiga tahun pula dia tinggal di pesantren itu, sematan Istri Gus Rendi hanya sebatas gelar dan sandang kehormatan.
Jangankan bersua bersama suaminya dan bermesra. Rendi tak pernah sekalipun menjenguk Nila, menyempatkan menemui Nila pun tidak atau meminta Nila pulang ke rumah Ndalem saat dirinya datang pun tidak.
Padahal beberapa kali Rendi pulang ke rumah Ndalem yang hanya berjarak beberapa meter dari Pondok. Nila selalu hanya diberitahu temanya sepulang mengaji, katanya temanya melihat mobil suami Nila pulang.
Nila menjadi istri titipan yang entah kapan diambil, Nila tetap menjadi remaja dan santri madrasah aliyah pada umumnya. Tinggal di salah satu bilik pesantren itu, mengikuti setiap kegiatan pondok, menerima ilmu, ujian juga bermain bersama teman- temanya.
“Ning Nila...?” sapa salah satu adik kelas Nila yang tengah membereskan bangku sisa acara. Ning adalah sematan sebutan anak atau keluarga kyai di Pesantren itu.
Nila terpaksa berhenti dan menoleh.
“Iyah nduk, ada apa?” tanya Nila tersendat menahan tangis.
“Tadi Ummi Nyai nyariin, Ning Nila...,” tutur adik kelas Nila itu.
“Oh ya..?” jawab Nila.
“Ummi Nyai sedang menuju ke kamar Ning Nila,” tutur adik kelas itu memberi tahu lagi.
“Baiklah. Maturnuwun ya...,” jawab Nila singkat berterima kasih.
Nila pun mempercepat langkahnya mendengar sang Ibu mertua mencarinya.
Ternyata benar di kamar yang sudah sepi karena penghuninya sudah berkemas dan pergi, Perempuan berjilbab besar, yang mempunyai kuasa tertinggi di pondok itu dan disegani semua santriwati, tampak duduk menunggu.
“Assalamu'alaikum. Ummi...,” sapa Nila ke ibu mertuanya.
“Waalikum salam, Nak,” jawab Ummi tersenyum menyambut Nila.
Nila pun maju, berjalan menunduk meraih tangan Ummi dan menciumnya.
“Ummi tadi menyapa tamu, beberapa orang tua santri kan teman Abah, eh Ummi mau kenalkan kamu, kamu udah nggak ada, kamu kemana?" tanya Ummi lembut dan penuh hangat.
Masih dengan wajah menunduk, Nila mengangguk tersenyum manis.
“Maaf, Ummi, tadi Nila ke depan sebentar!” jawab Nila.
“Oh ya sudah! Ayo.. pulang! Di sini sepi.” tutur Ummi mengajak Nila pulang ke rumah ndalem.
“Enggih, Ummi!” jawab Nila.
Rumah Ndalem adalah sebutan, untuk rumah milik Kyai pemilik pondok pesantren.
Nila pun dengan tunduk dan patuh mengikuti ibu mertuanya. Umminya itu memang sangat meyayangi Nila. Bahkan yang menginginkan pernikahan Nila dan Rendi adalah Ummi.
Karena Nila menantu dari Abah Kyai, santri adik- adik kelas Nila yang bertugas piket di rumah ndalem memuliakan Nila sebagai keluarga gurunya. Mereka pun, membantu Nila mengemasi dan membawa barang- barang Nila.
Jika, teman- teman Nila meninggalkan pondok dijemput keluarganya dan pergi dengan mobil ke kampung halamanya yang jauh, Nila hanya berjalan kaki, melintasi pagar dan jalan.
Nila masuk ke rumah Ummi, lebih tepatnya memasuki kamar besar milik lelaki yang katanya menjadi suaminya.
“Istirahatlah, Nduk..., Ummi ada tamu. Kamu capek kan?” ucap Ummi lagi sesampainya di kamar Rendi.
“Enggih, Ummi,” jawab Nila.
Ummi kemudian tersenyum menepuk bahu Nila dan menutup kamar Nila.
Seperginya Ummi, Nila sendirian. Walau Ummi baik, tapi dia adalah sesosok mertua sekaligus guru. Ada batas kesopanan yang Nila jaga. Nila tetap merasa canggung dan takut ke mertuanya. Nila juga tak berani bermanja atau memeluk rindu Ummi.
Nila terdiam di kamar dingin itu. Tatapan Nila jatuh pada satu benda di depanya. Di dinding tembok, foto dirinya dan pria tampan yang mengucap ijab qobul atas dirinya 3 tahun lalu tertempel besar.
Nila menatapnya lekat- lekat. Sejurus kemudian, di kamar dingin dan sepi itu, air mata Nila menetes.
“Dimana kamu Mas? Kenapa kamu tidak menjemputku juga? Aku istrimu kan? Apa di hadapanmu aku masih anak kecil sehingga kamu tak sudi melihatku?”
“Aku sekarang sudah dewasa? Aku bukan anak kecil lagi?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Anonymous
m
2024-09-25
0
Maulana ya_Rohman
mampir thor
2023-06-24
0
Yani
Assalan"ualaikum mampir ah...
2023-05-21
0