“Nila pulang, Mas! Maaf!” ucap Nila singkat sembari membawa tasnya.
Di depan Jingga dan Nila, Rendi membeku, debar hatinya pada Jingga masih ada meski sekarang tidak bisa terbaca kemana arahnya.
Nila yang saat tadi bicara di ruang makan mendengar kata, ya sana pulang, merasa mendapat tiket lolos dari dosa meninggalkan rumah itu. Meski begitu, dalam langkahnya Nila masih menelan perih, Nila masih berharap Rendi mengejarnya melarangnya pulang atau menegaskan, aku tidak ingin bercerai atau minta maaf, atau menjelaskan kenapa Rendi mengaku lajang.
Sayangnya saat Nila berjalan Rendi malah berdiri mematung sama sekali tidak bertanya atau mencegah.
Sementara Jingga yang sejak awal menentang geregetan dan tidak sabar membawa Nila pulang.
“Jalan, Mbak!” ucap Jingga ke supir perempuanya setelah mereka berdua masuk ke dalam mobil.
Nila terus menunduk dalam diam.
Jingga kemudian menoleh tersenyum dan menggenggam tangan adiknya.
“Angkat wajahmu, Nila!” tutur Jingga lembut.
“Iya Kak!” jawab Nila menoleh.
Tangan Jingga yang tadi berada di atas telapan tangan Nila kini beralih menangkup wajah ayu nan manis Nila, ditatapnya adik cantiknya itu.
“Apa dia menyakitimu? Apa yang dia lakukan terhadapmu? Dia memukulmu? Menghardikmu?” tanya Jingga peduli.
Nila menggelengkan kepala.
“Jangan bohongi Kakak, Nila. Katakan! Kakak selalu ada untuk kamu!”
“Enggak Kak, Nila baik- baik saja!” jawab Nila.
Nila masih selalu memegang teguh, untuk menjaga aib Rendi, dia tidak terlalu terbuka secara gamblang apa saja yang dia alami.
“Dengar Nila, kamu tidak harus selalu baik- baik saja. Kamu berhak mengeluh dan mengungkapkan apa yang kamu rasa. Membahagiakan Baba tidak harus selalu menuruti semua kemauan Baba! Kamu sekarang sudah masuk dewasa kamu ngerti kan?” tanya Jingga lagi.
“Nila ngerti Kak!” jawab Nila.
Nila kan mau menikah dengan Rendi selain ingin bahagiakan Baba, dulu menganggap dan melihat Rendi begitu sempurnya. Diam – diam Nila yang baru masuk remaja, dalam bingkai hatinya yang tenang menaruh kagum pada Rendi.
“Sekarang belum terlambat, kudengar selama di Pesantren kamu tinggal di asrama?” tanya Jingga memastikan.
“Iya Kak!”
“Rendi belum menyentuhmu kan?” tanya Jingga lagi.
Nila menelan ludahnya ditanya tentang seperti apa rumah tangganya dan bagaimana hubunganya dengan Rendi, ada rasa malu. Nila dan Rendi suami istri tapi terasa aneh dan tidak saling kenal. Nila hanya menempati kamar Rendi dan bergaul dengan keluarganya saja. Nila ragu hendak cerita, tapi Jingga kakaknya.
“Belum Kak,” jawab Nila menunduk. “Mas Rendi menepati janjinya untuk tidak menyentuhku,”
“Huft Syukurlah. Selagi kalian belum nikah secara administrasi negara dan perceraian belum ribet, kalau dia memang menyakitimu, katakan pada Baba!” ucap Jingga masih ingin adiknya terbebas dari Rendi.
Mendengar nasihat Jingga Nila langsung membulatkan matanya dan menggelengkan kepala.
“Nggak Kak, jangan!” ucap Nila cepat.
Jingga pun semakin geram.
“Kenapa lagi Nila. Kamu minta jemput Kaka, dia pasti menyakitimu kan? Mata kamu juga sembab cerita makanya sama Kakak. Udah kalian cerai aja!” tutur Jingga menggebu.
Nila sebenarnya sudah siap dengan semua itu, tapi sedari tadi jawaban Rendi mengambang. Saat ditegaskan jawabanya tidak tegas antara berkilah atau sungguh menceraikan.
“Nila tidak mau berdosa Kak,” ucap Nila lagi dengan lembut.
“Hhh...,” Jingga pun menghela nafasnya gemas. “Dia tidak mengakuimu! Pasti juga tadi dia menyakitimu, terus sekarang kamu pulang dia juga diam aja kan? Sudah lupakan dia. Besok kita mulai daftar seleksi PTN, kamu bisa lanjut kuliah dan ambil jurusan yang kamu suka. Kamu akan bertemu dengan laki- laki pilihanmu!” jawab Jingga lagi.
“Tapi Mas Rendi belum melafadzkan dan mengiyakan hendak atau ingin menceraikanku. Dia belum menjelaskan kenapa dia berbohong pada teman- temannya Kak!” jawab Nila lagi.
“Ya terus apalagi yang dia harapkan!?” tanya Jingga gemas.
Nila kemudian tersenyum ke Jingga.
“Beri Mas Rendi dan Nila waktu Kak, Nila ingin lihat bagaimana kesungguhan Mas Rendi, apa benar- benar dia ingin mengakhiri semuanya? Apa dia akan meminta maaf dan menjemput Nila atau benar mengakhirinya. Jika memang 3 hari dia masih tidak ada kabar, Nila akan kembali membahasnya. Dan Nila ingin biar Mas Rendi yang mengatakanya pada Baba, sendiri, dia kan laki- laki. Nila tidak mau asal mengadu dan membuat Baba kaget,”
“Ijinkan Nila menjernihkan pikiran. Nila baru pulang, Nila masih lelah Kak, Nila butuh waktu dan mempertimbangkan semuanya, Nila kangen Buna dan adik- adik. Tolong jangan buat rumah jadi sedih dulu Kak!” ucap Nila ternyata masih memikirkan dampaknya kalau dia menceritakan kesedihanya.
Jingga masih menyimak dan mendengarkan.
“Jujur Nila cinta sama Mas Rendi Kak, keluarga Mas Rendi sangat baik ke Nila. Kita tidak boleh menyelesaikanya dengan emosi. Biarkan Mas Rendi dan Nila sama- sama berfikir!” tutur Nila lagi dengan tenang.
Jingga pun terdiam, ya Nila baru menempuh perjalanan jauh, seharusnya sekarang mereka melepas rindu dengan hangat. Sayangnya malah dipertemukan dengan situasi menyebalkan ini.
“Maafin Kaka!” ucap Jingga lirih sembari tersenyum kemudian memeluk Nila. “Kakak Cuma pengen kamu bahagia Nila, Kakak nggak pingin hidup kamu hancur!” bisik Jingga sembari mengelus pundak Nila.
“Nila adik, Kakak. Nila akan berdiri tegak. Kalau memang Mas Rendi bertanggung jawab, dia harusnya merasa mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan dengan Baba atau meminta maaf padaku!” ucap Nila lagi meyakinkan ke Jingga.
Kali ini Jingga mengangguk, Nila memang selalu lebih dewasa dalam menghadapi masalah tidak seperti Jingga yang terbiasa keinginanya didahulukan juga dimanjakan suaminya.
“Katakan pada Baba dan Buna kalau tadi kita ketemuan ya Kak. Katakan kalau Mas Rendi besok ada acara makanya Nila ikut Kakak!” ucap Nila lagi meminta agar Jingga menutupi aibnya.
Jingga menelan ludahnya gatal ingin menolak, tapi jika dipikir lagi, Jingga memang tidak rela, begitu pulang sampai ke rumah, Buna jadi sedih, lalu Baba dan kedua adik laki- lakinya langsung emosi
“Oke... welcome to your sweetroom. Buna, Ikun dan Amer merindukanmu!” ucap Jingga tersenyum. Mereka pun segera pulang ke rumah.
****
Sementara Rendi terduduk menelan berfikir di depan televisi.
“Kenapa aku jadi tidak berdaya begini menghadapi Jingga dan Nila. Repot sekali menikahi anak kecil,” gumam Rendi masih belum mengerti kenapa hatinya merasa tidak nyaman.
“Apa iya, Oma sakit gara- gara mendengar percakapanku? Aku sama sekali tidak berniat menceraikan Nila, yang benar saja, aku mengakui aku menikahi anak lulus SMP pada teman- temanku, kan aku malu? Gitu aja baper?” gumam Rendi lagi merasa dirinya benar.
“Bukan aku yang salah. Nila dan Jingga saja yang kekanakan dan cengeng, begitu aja pulang?” gumam Rendi lagi.
“Haduh... tapi gimana ngomongnya sama Baba Ardi?” gumam Rendi lagi.
Rendi pun mengusap tengkuknya mendadak panik. Sedari tadi kan Rendi belum memegang hape karena tertidur, Rendi kemudian memeriksa ponselnya.
Ternyata Ummi menelponya puluhan kali meminta dijemput, mobil Ummi ternyata mogok. Rendi pun segera menelpon balik.
“Assalamualaikum... Mi!” ucap Rendi.
“Waalaikum salam, kok baru angkat sih?” tanya Ummi
“Ummii... maaf Rendi ketiduran, Ummi dimana? Mobilnya gimana? Udah bener? Rendi kesitu ya!” ucap Rendi panik.
“Ummi udah di depan rumahmu, ini naik taksi!” jawab Ummi ternyata balik ke rumah Rendi memakai taksi.
Seketika itu, Rendi ngebleng dan gelagapan.
“Gawat, aku jawab apa, kalau tanya Nila kemana?” gumam Rendi kelimpungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Sandisalbiah
nah lu.. makan tu gengsi... alasan apa yg kamu bialng ke ummi.. mau bohong lagi... nyari alibi..
2023-06-20
0
Yani
Makan tu Rendi
2023-05-22
0
Cinta Suci
heheee mampus kau rendi
2023-05-17
0