Bahkan sehelai daun yang jatuh tidak membenci angin, dan ranting yang patah juga tidak akan lepas dari ijin Tuhan. Nila menyakini dan menyadari semua itu dengan pemahaman penuh juga dengan akal sehatnya.
Nila segera menyeka air matanya. Dia ingat tentang semua yang terjadi adalah pilihanya. Tujuan Nila adalah meraih pahala dan ridzo Alloh agar Nila mendapat berkah daari membahagiakan Baba. Nila harus kuat menerima konsekuensi menikahi pria yang sebenarnya mencintai kakaknya.
“Bismillah, aku pasti bisa melalui, ini. Alloh benci suudon kan? Mungkin Mas Rendi sibuk dan menunaikan janjinya pada Baba. Mungkin Mas Rendi sebentar lagi akan segera ke sini menjemputku. Dia pasti akan pangling melihatku. Aku harus dandan cantik agar Mas Rendi jatuh hati kepadaku?” batin Nila kemudian mengumpulkan semangat dan membuang semua pikiran buruknya.
Kesepakatan sebelum mereka menikah, memang Baba dan juga orang tua Rendi ingin Nila tumbuh dewasa dan selesai madrasah aliyah dulu sebelum menunaikan kewajiban sebagai istri sebagai mana mestinya. Rendi tahu menikahi anak di bawah umur jika ketahuan bisa kena pidana.
Jadi walau sedikit keterlaluan karena tidak pernah mengabari Nila, Nila tidak bisa menyalahkan Rendi sepenuhnya. Nila pun mengobati semua tanda tanyanya dengan berbaik sangka, sebab biaya hidup Nila masih ditanggung Rendi.
“Kata Ummi dan Buna, bukan sesuatu yang hina, dan justru berpahala kan memikat hati suami sendiri?” batin Nila lagi bertekad.
Nila kemudian membuka lemari suaminya, beberapa baju memang sudah disiapkan mertuanya untuk Nila. Nila pun mandi, mengganti pakaian pesantrenya dengan gamis cantik yang ada.
Nila berhias dan memakai wewangian. Nila percaya kalau Rendi akan segera menjemputnya setelah Uminya memberitahu Nila sudah di rumah. Nila akan segera mendampingi Rendi juga pulang ke Ibukota menemui keluarganya.
Nila kemudian membuka pintu kamar setelah dirinya menjelma menjadi istri yang cantik dan wangi. Nila tidak mau menjadi istri yang mengurung diri di kamar. Menjadi istri gus di tempat itu, Nila ingin berbaur dan beramah tamah dengan penghuni rumah.
Nila berjalan ke arah dapur, tempat santri- santri mengabdi menunaikan tugasnya, mereka sedang menyiapkan makanan bagi keluarga romo kyai termasuk Nila.
Sayangnya langkah Nila terhenti saat kupingnya menangkap percakapan sang Ummi di balik pintu. Sebenarnya Nila tidak ingin mendengarnya, tapi namanya di sebut, jadi hati Nila menuntut Nila menajamkan telinga dan mendengarnya.
“Nila itu, istrimu Rendi! Kamu nggak ingat dengan sigat taklik yang kamu baca? Dosa kamu kalau kamu gini terus?” omel Ummi Rendi.
Jantung Nila pun naik ritme degubanya, Nila tahu kemana arah pembicaraan Ummi dan itu cukup menyayatnya. Ummi sedang memarahi suaminya. Entah apa jawaban Rendi di balik telepon tidak begitu jelas. Ummi kembali bersuara keras.
“Apa kamu bilang? Jaga ucapanmu, Rendi? Kamu anak abah? Kamu ngerti kan aturan pernikahan? Abah, Umii dan Tuan Ardi itu mengupayakan yang terbaik untuk kalian, pernikahan ini bukan mainan! Perceraian itu hal yang dibenci Alloh dan didukung syaitan? Kami laki- laki!” omel Ummi lagi.
Kali ini Nila bukan hanya semakin cepat irama jantungnya, tapi nafas Nila tersendat dan tidak Nila sadari air mataya menetes. Kenapa Ummi sampai menyebutkan kata Perceraian?
Apa Rendi berniat menceraikanya? Apa Rendi benar- benar menolak pernikahan mereka dan tidak pernah menganggap Nila ada. Kali ini baik sangkanya Nila tidak mampu mengobati sakitnya lagi.
Nila pun segera menyeka air matanya dan berbalik arah tidak jadi ke dapur. Nila kembali kekamarnya.
“Baba... Buna....,” lirih Nila terisak, menumpahkan air matanya ke bantal yang ada.
Rindunya Nila kembali memuncak ingin mendapatkan pelukan hangat dari perempuan yang telah melahirkanya dan selalu menjadi peredamnya.
“Aku mau pulang aja!” batin Nila.
Nila kemudian berjalan ke arah laci dimana dia ingat menyimpan ponselnya di situ. Walau Nila diistimewakan oleh santri- santri karena dia mantu kyai. Berdasar dididkan dan pesan Buna, Sekolah dan mondok adalah melatih untuk takwa, hidup dalam kesederhanaan menuntut ilmu dan melatih diri disiplin. Jadi Nila tertib, ikut aturan pondok seperti yang lain, tidak membawa ponsel ke asrama.
Nila pun menyalakan ponselnya yang sudah 1 minggu dia tinggalkan di laci. Nila memang menyempatkan ke rumah Ummi seminggu sekali walau hanya menengok sebentar dan kembali ke asrama tidur bersama santri lain.
Lalu Nila segera menelpon orang tuanya.
Di saat yang bersamaan, orang tua Nila memang sedang berniat menelpon Mertua Nila meminta ijin menjemput Nila juga mengabari Nila.
"Astaghfirulloh Oma?" lirih Nila semakin bertambah tangisanya mendengar Omanya sakit.
"Sambungkan Telepon Buna ke Ummimu Nak. Kamu harus ijin ya. Kalau diijinkan. Nanti Kak Ikun dan supir jemput kamu!" tutur Buna dibalik telepon sana.
"Iya Buna!" jawab Nila patuh.
Tanpa bercerita pada Buna tentang masalahnya, juga dengan pura- pura tidak dengar apapun, Nila menghampiri Ummi. Ummi ternyata sudah tidak telponan dengan Rendi.
Nila pun menyerahkan ponsel ke Ummi agar berbicara dengan Bunanya. Buna pun menjelaskan kalau Oma Nila sakit dan nanyain Nila.
Ummi yang sebenarnya merasa sangat tidak nyaman karena Rendi tidak mau menjemput Nila justru menjadi terselamatkan ada alasan segera mengantar Nila tanpa Rendi. Ummi langsung mengiyakan bahkan bersedia mengantar.
"Innalillahi. Kalau begitu. Secepatnya saya antar Nak Nila," jawab Ummim
"Ah merepotkan. Kami saja uang jemput Nila?" jawab Buna
"Tidak...tidak...saya juga ingin jenguk Oma!" jawab Ummi beralasan. padahal Ummi juga merasa bersalah atas kelakuan anaknya.
Ummi merasa harus menemui Rendi.
Setelah menutup telepon, Ummi langsung meminta Nila bersiap pulang ke Ibukota.
"Sekarang Ummi?"
"Iyah Sekarang!" jawab Ummi.
Nila pun tersenyum semangat karena segera pulang menemui orang tuanya. Dengan secepat kilat. Nila mempersiapkan pulang kampung yang ke kota.
Siang itupun didampingi ibunya, Nila pulang. Selama perjalanan Nila dan Ummi tidak banyak bicara. Selain karena segan terhadap guru yang menjadi ibunya. Nila juga hatinya gundah gulana dipenuhi banyak prasangka dan rasa sakit.
Pertama bagaimana keadaan Omanya. Kedua nasih pernikahanya. Lalu apa yang akan Nila ceritakan pada keluarganya.
Ummi juga tampak memikirkan sesuatu. Ummi hanya berbicara seperlunya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam. Nila pun sampai ke rumah sakit tempat Oma dirawat. Nila langsung menjenguk Oma.
Nila yang meminta Ummi untuk mendahulukan jenguk Oma.
"Oma... Assalamu'alaikum. Ini Nila Oma?" sapa Nila berbisik menggenggam tangan Omanya setelah mencuci tangan dan bersih- bersih serta berganti pakaian.
Karena memang menunggu Nila, tangan Oma bergerak. Nila sangat senang, tidak lama Oma membuka matanya dan sadar. Nila pun menangis haru, Nila kemudian menemani Oma.
Amer kemudian menelpon keluarganya. Baba dan Jingga kembali ke rumah sakit.Mau tidak mau Ummi dan Buna, para besan itu bertemunya di rimah sakit.
Ummi jadi sangat malu karena tidak ada Rendi. Ummipun segera menelpon Rendi untuk datang ke rumah sakit.
Rendi tak punya alasan lain sehingga sekitar jam 19.00 tiba. Semua terlihat baik- baik saja di mata Keluarga Baba.
Rendi menyapa ramah ke Baba, Buna dan Amer serta ikun. Meski tangan Rendi sedikit gemetaran saat menjabat tangan Baba.
"Lama tidak bertemu Nak? Sehat?" tanya Baba merasa Rendi sedikit berbeda
"Ehm...Alhamdulillah sehat Ba!" jawab Rendi tetap santun.
Tatapan Rendi beralih ke arah kaca. Jantungnya pun berdegub kencang. Di balik kaca ruang rawat Oma, dua perempuan berjilbab tampak sedang menunggu Oma. Satu perempuan itu tubuhnya tampak membesar dengan menanggung nyawa lain.
Rendi menelan ludahnya. "Jingga hamil, dia tetap bahagia bersama pria itu?" batin Rendi hatinya hancur.
Dan perempuan di samping Jingga masih belum menoleh. Akan tetapi Rendi sedikit memicingkan matanya. Tubuh Nila tidak lagi semungil dulu. Tapi sekarang lebih berisi dan lebih tinggi.
"Mintalah pakaian ganti ke perawat jika ingin jenguk, Oma!" tutur Baba tahu Rendi melamun
"I- iya Ba!" jawab Rendi. Rendi pun meminta pakaian steril untuk bisa masuk ke ruang rawat.
Baba kemudian mengetuk pintu kamar rawat Nenek.
"Jingga. Nila. Suami Nila datang. Jingga keluarlah. Gantian sama Rendi?" bisik Baba dan di belakangnya Rendi siap masuk.
Nila dan Jingga menoleh.
Tanpa sengaja, Rendi dan Nila pun bertemu tatap dan saling pandang. Suami istri yang terpisah selama tiga tahun itu saling tertegun.
Bukanya bahagia suaminya datang, Nila yang sempat mendengar kata perceraian jadi menunduk murung mengalihkan pandanganya dari Rendi. Rendi memang terlihat lebih gagah dari 3 tahun lalu. Tapi Rasanya sangat sakit.
Rendi pun tertegun, jantungnya berdegub kencang tidak bisa dia jelaskan. Mata Rendi bahkan tidak bisa berkedip.
Gadis kecil yang dulu dia geli menatapnya, sekarang menjelma menjadi perempuan yang cantik jelita dengan mata teduhnya.
Sementara Jingga menghargai Babanya walau hatinya geram ingin tahu apa yang Nenek lihat.Jingga memilih hendak keluar sebentara.
"Oma...Jingga keluar dulu ya! Suami Nila datang?" ucap Jingga lembut pamit ke Oma
"Jangan keluar!" ucap Oma tiba- tiba sambil menggelengkan kepalanya lemah.
Nila dan Jingga pun terhenyak.
"Oma tidak mau melihat laki- laki itu!" tutur Oma lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Bzaa
wah kyknya ada sesuatu yang bikin oma ga suka rendi
2025-04-23
0
Yani
Bagus oma usir aja tu si Rendi
2023-05-21
0
yunike
berulah
2023-05-04
0