"Benar kata Kak Jingga, Nila. Kamu terlalu baik dan terlalu lugu. Kamu tidak menjadi anak durhaka hanya karena kamu mengecewakan Baba. Ada banyak cara bahagiakan Baba. Baba juga pasti mengerti kok? Amer lihat umminya Bang Rendi naik taksi balik ke rumah Kak Rendi tanpa Kak Rendi. Kamu dan Kak Jingga bohongin Baba kan?" sambung Amer bertanya.
Nila langsung terhenyak mendengar kata Amer.
"Ummi balik?" tanya Nila panik melotot.
"Ya!" jawab Amer.
Nila pun menelan ludahnya. Jika Ummi balik, Rendi pasti kena masalah. Ummi pasti akan segera tahu permasalahan mereka. Sepertinya Nila memang harus segera ambil ketegasan dan ambil jalan tengah.
"Ya. Kamu benar Mer. Kakak bohong. Nila telpon kakak untuk jemput. Bukan ketemu di jalan. Dan Kakak lihat sendiri. Rendi biarin Nila pulang bareng Kakak tanpa mencegahnya!" sambung Jingga mengadu ke Amer. "Keterlaluan sekali kan dia?" .
"Jadi kamu kalian bertengkar? Wah laki- laki macam apa, Bang Rendi?" cibir Amer kemudian.
Jingga dan Amer lalu duduk di samping kanan kiri Nila menatap Nila hendak memasang badan untuk Nila.
Jingga pun menggenggam tangan Nila kuat.
"Kamu terlalu berharga untuk sekedar menjadi pengganti kakak! Jangan takut, kamu nggak salah! Cerita ke kita. Kami kakakmu! Apa yang tadi dia lakukan ke kamu, sampai kamu meminta pulang? Sekarang kamu aman di sini!" ucap Jingga lagi untuk ke sekian kalinya merayu Nila bercerita .
"Iya Kak!" jawab Nila singkat.
Akhirnya Nila berfikir, setuju dengan semua pendapat kakak - kakaknya yang sudah dilontarkan sejak awal.
"Kakak akan lakukan apapun buat kamu, Nila. Apa dia memukulmu? Bagian mana? Cepat tunjukan? Dengar! Siapapun yang nyakitin kamu. Dia harus hadapi Kakak!" sahut Amer lagi.
Nila menunduk sebentar, ragu mau berbagi tentang rumah tangganya atau tidak. Nila berfikir dia mampu mengatasi sendiri dan menyimpan aib suaminya. Tapi Kakaknya dan keluarga besarnya ternyata bukan hanya peduli tapi sangat posesif.
"Nila sudah menanyakan tentang kata Oma, Kak. Itu sebabnya Nila putuskan untuk pulang ke sini!" jawab Nila bercerita.
Mendengar kalimat Nila yang pelan dan menyebut kata Oma. Amer mengernyit bingung. Amer kan tidak tahu tentang yang Oma dengar.
"Bagus….! Sekarang fokus ke kuliah aja. Lagian kalian hanya nikah siri, kalian belum campur juga kaan?" jawab Jingga semangat empat lima mendukung keputusan Nila.
"Iyah!" jawab Nila mengangguk.
Amer semakin bingung. "Ini ada apa sih? Kok Oma?"
"Setahu kakak. Jika benar kata Oma, Rendi tidak mengakuimu sebagai istri, gugurlah pernikahan kalian? Udah kamu di sini aja!" sambung Jingga lagi mengacuhkan Amer.
"What? Tunggu- tunggu. Gimana sih ini?" tanya Amer menyela.
"Oma sakit karena Nila, Mer. Oma denger Rendi bilang ke teman- temanya kalau dia masih lajang! Brengsek kan dia," adu Jingga ke Amer.
"Apa? Bang Rendi beneran tidak mengakui Nila?" tanya Amer mengepalkan tangan. "Wah kurang ajar!" gumam Amer.
"Dia itu manis di luar doang ke Baba. Dia harimau berbulu domba!" sambung Jingga sangat benci ke Rendi.
"Amer nggak ngira. Amer sakit hati dengar Bang Rendi ternyata gitu. Amer harus kasih pelajaran. Amer harus kasih tahu Baba!" ucap Amer lagi menggebu.
Nila semakin menunduk takut membayangkan akan ada perkelahian. Tapi Nila juga memang sudah menebak, itu sebabnya tadinya Nila meminta Jingga keep silent dulu. Eh malah Amer udah tahu ada aura kebohongan dan curiga.
"Kalian bicara apa sih?" tanya Buna tiba- tiba datang.
Tanpa Jingga, Amer dan Nila tahu. Buna yang menggandeng Iya dan Iyu, ikut mendengar juga percakapan anak- anaknya. Iya dan Iyu sudah selesai mengerjakan tugas sekolahnya dan meminta diantar ke kamar Nila.
Nila, Jingga dan Amer langsung terdiam mendengar pertanyaan Buna. Nila semakin gelagapan. Semua rencananya untuk keep silent gagal.
"Kakaak," Iya dan Iyu langsung menyerobot masuk ke kamar dan Nila dan naik ke kasur.
Kakaknya pun membiarkan mereka asik sendiri di belakang mereka duduk.
Sementara Buna menatap anak- anaknya satu persatu dengan tatapan curiga. Buna mendengar sayup- sayup. Kalimat yang jelas Buna dengar kalau Amer sangat marah dan ingin beri pelajaran.
"Kenapa tidak jawab pertanyaan Buna? Kalian sedang bahas apa? Ada apa dengan Rendi? tanya Buna curiga.
Jingga menunduk sembari melirik Nila, Nila gelagapan dengan kedua tanganya saling memilin sangat gelisah. Buna pun menatap Nila tajam.
"”Nila...,” panggil Buna tenang.
Nila masih menunduk dan memilin jarinya, Nila sangat takut menyakiti Buna dan Baba jika tahu ternyata kehidupanya tak sebaik yang Baba dan Buna harapkan.
Nila sangat sayang pada Baba dan Buna sejak kecil, bahkan Nila akan sangat sedih, jika sedikiit saja Baba bernada tinggi atau Buna cemberut.
“Nila jawab Buna ada apa ini? Mana cincin nikahmu?” tanya Buna lagi.
Tanpa Nila, Jingga dan Amer kira, bahkan Buna sedetail itu melihat gelagat Nila dan semua bagian tubuhnya.
Jingga dan Amer sebenarnya sama sekali tidak takut, malah sangat ingin ngadu ke Buna.
Tapi kali ini mereka memberi ruang untuk Nila jujur pada Buna mereka. Amer dan Jingga pun mengunci mulut mereka, dan ternyata ponsel Jingga yang terhubung ke Adip masih menyala, Adip jadi ikut dengerin.
“Maaf Buna,” ucap Nila akhirnya.
“Jadi anak- anak Buna sekarang pandai berbohong ke Buna? Kalian sembunyikan apa dari Baba dan Buna?” tanya Buna lagi.
"Maaf Buna?" ucap Nila lagi.
"Ada apa? Beritahu Buna! Buna ibumu kan?" tanya Buna ke Nila.
Nila menelan ludahnya mengangguk.
“Sebenarnya, Nila dan Mas Rendi tidak sedang baik- baik saja Buna. Mas Tidak sedang mengantar Ummi, dan Nila yang meminta kakak jemput Nila!” tutur Nila pelan dan ragu, mata Nila pun berkaca- kaca menjelaskanya.
"Hooh?" Buna mendengarnya langsung menghela nafas kaget dan menahan sesaknya.
Nila ragu menceritakan masalah kesedihan pada Bunanya dosa atau tidak, sebab dalam ilmu yang Nila pelajari, kepada orang tua, sebaiknya kita menceritakan hal yang bahagia, terhadap aib suami disembunyikan, tapi kedua kakak Nila sudahh lebih dulu tahu, dan Bunanya tanpa sengaja juga tahu dengan sendirinya.
Nila pun menunduk menahan air matanya agar tidak terlihat Buna. Nila takut akan respon Buna.
Berbeda dengan kekhawatiran Nila, setelah menghela nafasnya. Buna mengangguk sangat tenang, lalu ikut merapat mendekat ke Nila duduk di tepi kasur.
Amer pun memberi ruang ke Buna, memilih mundur masuk ke atas kasur belakang, duduk bersilah mendekat ke Iya dan Iyu yang asik sendiri main boneka Nila.
Kini mereka berenam duduk meriung di kasur Nila.
“Kenapa kamu baru cerita, Nak?” tanya Buna lembut mencoba, tersenyum ke Nila sembari membelai rambut Nila yang panjang dan lembut terurai.
Jingga dan Amer memilih diam, mereka yakin Buna mereka yang terbaik. Buna pasti akan dengar putrinya, Buna tidak akan mudah marah.
“Apa yang membuat kalian tidak baik- baik saja? Sejak kapan? Ada apa? Apa kamu mengalami kesulitan selama di pesantren? Mengeluhlah pada Buna. Buna ibumu, Buna ingin dengar ceritamu, jangan terlalu kuat Nak, kamu masih terlalu kecil untuk menjadi kuat. Buna masih ingin jadi ibumu!” ucap Buna lagi, malah Buna yang sekarang merasa bersalah sebab tidak tahu apapun tentang Nila putrinya.
Hati Nila bergetar mendengar penuturan Bunanya. Nila memendam semua gundahnya bukan tidak menganggap Buna ibu. Tapi Nila tidak ingin membuat Buna khawatir saat Nila jauh dari orang tuanya. Nila juga selalu berpositif thingking Rendi akan baik dan menerimanya.
“Oma dengar. Mas Rendi tidak mengakui Nila pada teman- temanya Buna. Itu sebabnya Oma sakit Buna!" ucap Nila sambil terisak.
Buna pun membulatkan matanya kaget.
"Nila mencoba konfirmasi tadi. Dan semua itu benar. Mas Rendi masih belum menerima Nila dan anggap Nila anak kecil, Mas Rendi malu punya istri Nila, dan selama tiga tahun ini Mas Rendi tidak pernah menemui Nila!” sambung Nila kini mengakui semua kebohonganya.
Amer yang mendengarnya mengeratkan rahang dan mengepalkan tanganya, sementara Jingga sudah gemas ingin menghasut Buna mengompori agar Nila cerai. Bahkan menurut Jingga, Nila sudah bukan istri Rendi lagi kalau begini ceritanya.
Tapi baik Jingga dan Amer menahan diri menunggu respon Buna.
Sementara Buna merasakan dadanya begitu nyeri mendengar cerita Nila, Buna juga melihat Nilamenitikan air mata, secara spontan Buna langsung memeluk Nila.
“Jadi kata baik- baik saja mu selama ini bohong Nak?” tanya Buna merasa sangat bersalah mempercayakan anak gadisnya yang amat berharga pada laki- laki yang salah.
“Maafin Nila, Buna...” ucap Nila terisak di pelukan Buna.
Setelah beberapa saat Buna mengurai pelukan Nila.
“Apa kata betahmu juga bohong? Apa Ummi Rendi memperlakukanmu dengan baik? Seharusnya kamu katakan sejak awal. Buna akan jemput kamu langsung!” tanya Buna lagi dengan rasa penuh salah.
Nila menggeleng tersenyum.
“Kalau itu jujur Buna. Teman- teman Nila di pesantren sangat baik, Nila betah di sana keluarga Mas Rendi juga baik, hanya saja Mas Rendi tidak. Semua alasan kenapa Mas Rendi tidak pernah datang itu bohong...!” jawab Nila lagi.
Ya, selama tiga tahun saat Nila libur semeter atau Buna dan Baba menjenguk. Baik Ummi dan Nila selalu menutupi kenapa Rendi tidak menjemput atau datang. Mereka selalu bilang Rendi ada tugas.
Bahkan di hari Raya, Rendi datang ke keluarga Baba, hanya seperlunya dan selalu beralasan saat disuruh menginap.
Semua terlihat baik- baik saja, dan mengira semua adalah benar karena Rendi profesional dan sibuk. Tidak ada yang mengira kalau Rendi itu menjauhi Nila dan enggan bersama Nila.
Buna pun mengangguk, mencoba mengerti Nila, sembari menyeka air mata Nila.
“Maafin Buna Nak. Maafin Buna, seharusnya Buna yang jemput kamu. Maafin Buna sudah jadi ibu yang salah, menelantarkanmu, dan membuat kamu sakit. Buna salah berfikir semua akan mudah. Buna salah mengambil keputusan mengijinkanmu menikah dini. Seharusnya Buna lebih tegas menentang Baba saat itu!” ucap Buna lagi.
Buna memang tidak setuju dengan rencana Baba dulu.
Nila yang dulu ngeyel ke Jingga jadi ikut merasa bersalah.
“Buna nggak salah, Nila yang salah karena tidak mendengar kata Kak Jingga!” ucap Nila lagi.
“Sekarang bukan waktunya salah- salahan, Nil Buna. Sekarang waktunya selesaikan masalah!” sahut Jingga akhirnya membuka suara.
“Iya Bun. Kita harus bahas ke Baba dan Pak Dhe Farid serta keluarga Bang Rendi. Sudah kita sudahi saja. Biar Nila kuliah saja, belum waktunya kan Nila mikirin kaya gini!” ucap Amer dengan tegas.
Sebenarnya perkataan Amer cukup menyinggung Nila. Walau bagaimanapun, Nila yang salah, tidak matang mengambil keputusan kala itu.
“Ya...Buna akan katakan pada Baba. Sudah, mulai sekarang Nila jangan pergi. Tinggal di sini! Ya! Rumahmu di sini!” ucap Buna memberi dukungan ke Nila
Mereka semua pun tersenyum lega lalu berpelukan.
“Ya sudah, Buna akan bicara dengan Baba, Iya.. Iyu... jangan nakal sama kaka ya!” ucap Buna berpamitan.
“Iya Buna!” jawab Iya Iyu.
Buna pun pergi. Kini Amer dan Jingga pun tersenyum memberi dukungan ke Nila sembari mengelus bahunya.
“Bang Adip mau ucapin selamat kelulusan ke kamu!” celetuk Jingga sambil menyodorkan ponselnya.
Nila dan Amer kemudian melotot ke Jingga kaget.
“Daritadi kakak sambil telponan?” tanya Amer.
Jingga mengangguk, sementara Nila langsung mengernyit malu.
“Sini, Amer mau ngomong!” sahut Amer malah Amer yang ingin ngobrol.
“Ish....,” desis Jingga.
Jingga pun memencet tombol loudspeaker dan suara Adip langsung terdengar. Iya dan Iyu yang dengar ikut antusias menyambut.
“Abaang!” serbu Iya dan Iyu langsung saling bergelayut ke Amer mengganggu agar nongol di kamera.
Jingga pun mendesis, cuma ucapin selamat ke Nila abis itu mau balik ke kamar bermesraan, malah geng boys yang mendominasi. Suasana sedih pun mengikis Kamar Nila, berubah jadi kembali riang lagi diisi celeteukan Iya dan Iyu berbincang dengan Adip.
Sayangnya di saat keriangan itu, kamar Nila kembali diketuk. Buna yang belum lama pergi datang lagi.
Nila jadi gugup pasti Baba marah.
“Ada apa Bun?” tanya Jingga.
Buna datang dengan wajah masam.
“Rendi dan Umminya datang!” ucap Buna kemudian.
“Gleg!” Nila langsung terhenyak menelan ludahnya.
Sementara Amer dan Jingga langsung mengeratkan rahangnya geram.
“Bentar ya Kak!” ucap Amer menyerahkan ponsel Jingga ke Iya dan Iyu. Amer bergegas turun.
“Biar Amer yang temuin. Nila di kamar aja!” ucap Amer tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Ida Blado
makanya anak kecil gk usah mikirin kawin,kalau pikiranya aja blm lurus
2023-04-17
0
Ida Blado
bahasanya ribet bgt ya "lagian suami kalian" ? di atas jg ada kalimat2 yg serupa,,,,,
2023-04-17
0
Bundanya Pandu Pharamadina
Nikla keluarganya harmonis kompak dan saling mendukung👍❤
2023-04-06
0