"Apa dia akan menjemputku hari ini? Dia tahu kan sekarang waktunya aku ke kota? Aku tidak ingin terus di sini? Aku rindu Buna.. aku rindu Dhek Iya dan Dhek Iyu? Apa kabar Oma dan Nenek? Aku ingin pulang?"
Akhirusannah telah tiba, juga hari penyerahan ijazah tanda kelulusan dan penjemputan para santri. Riuh tawa, juga diselingi tangis haru, tanda syukur dari para orang tua yang menyambut putra putrinya kembali ke rumahnya, menghiasi halaman pondok pesantren Bambu Teduh siang itu.
Peluk hangat seorang ibu dan ayah melebur rindu yang menggunung bagi putra- putri mereka terus berlangsung.
Mereka semua berbahagia, berharap setiap bab ilmu dari putra putri yang mereka dapat di tempat itu, segera teraplikasikan dalam kehidupan mereka di depan. Ilmu mereka menjadi penuntun meraih bahagia di dunia dan akhirat.
Kini saatnya para santri berangkat. Berangkat menuju ke perjalanan panjang dalam kehidupan, membawa bekal ilmu yang mereka raup, untuk menjelajah dunia baru, dimana fase nya sudah berubah, dari remaja menjadi dewasa.
Tidak terkecuali, bagi gadis bermata bulat di tepi tenda. Tiga tahun sudah, Nila habiskan di dalam bangunan bertingkat dan berderet rapih dengan masjid besar di depanya itu.
Ini adalah hari penantianya, ujung hari yang dia rindukan, tiba masanya. Nila akan meninggalkan pondok itu, kembali ke kota kelahiranya. Berkumpul hangat dengan kakak dan adiknya, juga suami yang dirindukan.
Selain itu, dia juga akan segera memerankan peranya secara utuh menjadi istri seperti pernjianya tiga tahun silam.
Sayangnya jika teman- teman Nila merekahkan senyum, menggapai cinta yang banyak dari keluarga mereka, hati Nila dirundung gelisah penuh harap.
Hati Nila sepi di tengah keramaian. Semua gambaran bahagia Nila yang semalam memenuhi anganya, lenyap. Sekarang Nila hanya bisa nikmati angan itu dari melihat kawan santrinya, tapi tidak dengan dirinya.
Nila berdiri, melihat ke ujung jalan dan rumah besar di komplek besar itu, hati Nila terus meronta dengan penuh tanya, kenapa gerbang pintu pondok tetap sama.
Kenapa jumlah, juga pemandangan bentuk mobil yang terparkir di halaman rumah dhalem yang dia tempati tak kunjung bertambah dan berubah.
Sedari pagi masih kosong, tatapan Nila tak lepas dari setiap kendaraan yang datang, menanti sesosok yang dirindukan datang, membuka mobil perlahan ikut duduk di deretan bangku orang tua dan keluarga santri yang tengah di sediakan. Entah itu orang tuanya atau suaminya.
Namun sepertinya, Nila hanya bisa menelan pedih semua harapan itu. Perlahan keramaian mulai menyusut, satu persatu temanya berpamitan meninggalkanya, menyambut gandengan hangat keluarga mereka lalu pergi. Tawa dan senyum, orang tua kawanya menjadi kenangan manis yang membekas di ingatan Nila, sebagai tanda perpisahan.
“Ayo, Ning Nila... kita pulang dulu, ya!” pamit Bu Romlah, ibu Aisyah sahabat sekamar Nila.
“Iya... Bu. Hati- hati di jalan ya!” jawab Nila saat Aisyah dan kedua orang tuanya mendekat ke Nila dan berpamitan.
“Pokoknya, kita harus saling kabar- kabar ya. Nanti kuliah dimana? Kita ketemuan. Aku akan sangat merindukanmu” tutur Aisyah menggandeng lengan Nila.
Nila pun mengangguk tersenyum. "Iyah, Insya Alloh!"
Aisyah dan keluarganya, kemudian berjalan menjauh meninggalkan Nila.
Kini Nila sendirian, menjadi santri kelas tiga terakhir yang masih berdiri di tenda acara akhirusannah bersama adik- adik kelas panitia. Walau perlahan menghilang, sayup- sayup Nila mendengar percakapan Aisyah dan Bu Romlah, membicarakanya.
“Kok Ning Nila sendirian nggak dijemput orang tuanya?”
“Ibu..Ibu lupa? Kan Nila mantunya Abah kyai, ya Nila pulangnya ke rumah “Dhalem sama Ummi Nyai... itu rumah besar yang di samping pondok,”
“Oh ya... tapi kok Ibu nggak lihat Gusnya, suaminya Ning Nila yang mana?”
..........
Nila menelan ludahnya berusaha memejamkan mata, meminta telinganya untuk tidak mendengar kelanjutan jawaban sahabatnya. Itu pertanyaan yang terus mencabik hatinya.
Nila pun menyeret kakinya yang berat, Nila melangkah kembali ke dalam komplek pesantren.
“Baba..., Buna... aku ingin dijemput kalian?” jerit Nila menahan tangis sembari mempercepat langkahnya.
Nila berjalan menunduk menghindari tatapan adik- adik kelas yang menyapanya ramah dan hormat.
Nila Gunawijaya, adalah seorang Putri dari keluarga Gunawijaya, pengusaha besar di Negeri itu.
Dia memang sudah menjadi menantu kyai tempat dia menimba ilmunya itu, sejak awal masuk menjadi santri. Nila diperistri Gus dari tempatnya mondok itu atas karena perjodohan, kedua orang tua Nila dan guru besar Nila.
Gus yang memperistri Nila, bernama Rendi Akbar Maulana. Dia adalah, seorang putra tampan, berpendidikan tinggi. Sayangnya Rendi tidak berkenan melanjutkan perjuangan ayahnya mengabdi di pesantran. Dia memilih berkelana sendiri di kota lain dan berprofesi sebagai Dosen di universitas besar di ibukota.
Hanya saja, tiga tahun sudah Nila menjadi istri, tiga tahun pula dia tinggal di pesantren itu, sematan Istri Gus Rendi hanya sebatas gelar dan sandang kehormatan.
Jangankan bersua bersama suaminya dan bermesra. Rendi tak pernah sekalipun menjenguk Nila, menyempatkan menemui Nila pun tidak atau meminta Nila pulang ke rumah Ndalem saat dirinya datang pun tidak.
Padahal beberapa kali Rendi pulang ke rumah Ndalem yang hanya berjarak beberapa meter dari Pondok. Nila selalu hanya diberitahu temanya sepulang mengaji, katanya temanya melihat mobil suami Nila pulang.
Nila menjadi istri titipan yang entah kapan diambil, Nila tetap menjadi remaja dan santri madrasah aliyah pada umumnya. Tinggal di salah satu bilik pesantren itu, mengikuti setiap kegiatan pondok, menerima ilmu, ujian juga bermain bersama teman- temanya.
“Ning Nila...?” sapa salah satu adik kelas Nila yang tengah membereskan bangku sisa acara. Ning adalah sematan sebutan anak atau keluarga kyai di Pesantren itu.
Nila terpaksa berhenti dan menoleh.
“Iyah nduk, ada apa?” tanya Nila tersendat menahan tangis.
“Tadi Ummi Nyai nyariin, Ning Nila...,” tutur adik kelas Nila itu.
“Oh ya..?” jawab Nila.
“Ummi Nyai sedang menuju ke kamar Ning Nila,” tutur adik kelas itu memberi tahu lagi.
“Baiklah. Maturnuwun ya...,” jawab Nila singkat berterima kasih.
Nila pun mempercepat langkahnya mendengar sang Ibu mertua mencarinya.
Ternyata benar di kamar yang sudah sepi karena penghuninya sudah berkemas dan pergi, Perempuan berjilbab besar, yang mempunyai kuasa tertinggi di pondok itu dan disegani semua santriwati, tampak duduk menunggu.
“Assalamu'alaikum. Ummi...,” sapa Nila ke ibu mertuanya.
“Waalikum salam, Nak,” jawab Ummi tersenyum menyambut Nila.
Nila pun maju, berjalan menunduk meraih tangan Ummi dan menciumnya.
“Ummi tadi menyapa tamu, beberapa orang tua santri kan teman Abah, eh Ummi mau kenalkan kamu, kamu udah nggak ada, kamu kemana?" tanya Ummi lembut dan penuh hangat.
Masih dengan wajah menunduk, Nila mengangguk tersenyum manis.
“Maaf, Ummi, tadi Nila ke depan sebentar!” jawab Nila.
“Oh ya sudah! Ayo.. pulang! Di sini sepi.” tutur Ummi mengajak Nila pulang ke rumah ndalem.
“Enggih, Ummi!” jawab Nila.
Rumah Ndalem adalah sebutan, untuk rumah milik Kyai pemilik pondok pesantren.
Nila pun dengan tunduk dan patuh mengikuti ibu mertuanya. Umminya itu memang sangat meyayangi Nila. Bahkan yang menginginkan pernikahan Nila dan Rendi adalah Ummi.
Karena Nila menantu dari Abah Kyai, santri adik- adik kelas Nila yang bertugas piket di rumah ndalem memuliakan Nila sebagai keluarga gurunya. Mereka pun, membantu Nila mengemasi dan membawa barang- barang Nila.
Jika, teman- teman Nila meninggalkan pondok dijemput keluarganya dan pergi dengan mobil ke kampung halamanya yang jauh, Nila hanya berjalan kaki, melintasi pagar dan jalan.
Nila masuk ke rumah Ummi, lebih tepatnya memasuki kamar besar milik lelaki yang katanya menjadi suaminya.
“Istirahatlah, Nduk..., Ummi ada tamu. Kamu capek kan?” ucap Ummi lagi sesampainya di kamar Rendi.
“Enggih, Ummi,” jawab Nila.
Ummi kemudian tersenyum menepuk bahu Nila dan menutup kamar Nila.
Seperginya Ummi, Nila sendirian. Walau Ummi baik, tapi dia adalah sesosok mertua sekaligus guru. Ada batas kesopanan yang Nila jaga. Nila tetap merasa canggung dan takut ke mertuanya. Nila juga tak berani bermanja atau memeluk rindu Ummi.
Nila terdiam di kamar dingin itu. Tatapan Nila jatuh pada satu benda di depanya. Di dinding tembok, foto dirinya dan pria tampan yang mengucap ijab qobul atas dirinya 3 tahun lalu tertempel besar.
Nila menatapnya lekat- lekat. Sejurus kemudian, di kamar dingin dan sepi itu, air mata Nila menetes.
“Dimana kamu Mas? Kenapa kamu tidak menjemputku juga? Aku istrimu kan? Apa di hadapanmu aku masih anak kecil sehingga kamu tak sudi melihatku?”
“Aku sekarang sudah dewasa? Aku bukan anak kecil lagi?”
“Thut... thut... thuut...,”
Alarm pada alat rumah sakit terus berbunyi, garis penanda kurva tanda tanda vital pada monitor tampak bergerak maju dan berkelok- kelok dengan gelombang yang naik turun.
Di atas bed rumah sakit, tubuh renta seorang perempuan tua terbaring lemah, anak dan cucu pun berdiri, menunggu belas kasih Tuhan untuk kesembuhanya.
“Oma... sadarlah. Oma harus kuat Oma. Oma...,” lirih seorang ibu hamil muda meneteskan air matanya.
“Berdo’a Nak,” bisik pria matang yang masih nampak pahatan ketampanan mudanya memberi dukungan.
“Baba... Jingga pulang ke sini, ninggalin suami Jingga, Jingga pengen lahiran ditungguin Oma, Ba... Oma kan mau jadi buyut. Oma harus sehat. Anak Jingga kan belum lahir, Oma harus sembuh!” lirih Ibu hamil itu mulutnya pleoat pleot sembari meneteskan air mata.
Dia adalah Jingga Gunawijaya, kakak perempuan satu- satunya Nila.
Laki- laki matang di samping Jingga mengangguk mengerti kegelisahan putri sulungnya yang tengah hamil itu. Dia adalah Baba Ardi Gunawijaya, ayah Nila. Pengusaha nomor satu di negara itu. Dia adalah ayah dari 7 putra- putri. Ayah yang selalu posesif dan teramat sayang pada putra putrinya, termasuk pada Nila.
“Baba ngerti, Nak. Baba ngerti, siapa yang ingin Oma sakit, ini kehendak Alloh. Dengar kan kata Buna? Sakit bisa menjadi pembersih dosa Oma. Berdoa, semua ada di tangan Alloh, Oma dengar kamu. Kamu harus semangat, kamu juga sebentar lagi melahirkan cucu Baba, kan? Yang tegar!” tutur Baba memberi dukungan Jingga.
"Iya Ba!" jawab Jingga menyeka air matanya.
Mereka kemudian maju, mendekat ke Oma Rita. Perempuan yang sedang mereka tangisi adalah Oma Rita, ibu Baba. Dia Oma Nila juga, Oma yang selalu dirawat Nila saat Nila di rumah.
Jingga kemudian menggenggam tangan keriput yang tampak putih dan lemah itu. Dulu tangan itu yang selalu menuruti semua kemauan Jingga lebih dari ibunya. Tangan itu juga yang selalu memanjakan Nila dan selalu marah jika ada yang menyakiti Nila.
Oma memang amat sangat menyayangi cucu perempuanya, Nila dan Jingga. Saudara Nila dan Jingga yang lain laki- laki semua. Jika Ibu dan ayah mereka berani memberi hukuman dan marah, Oma Rita selalu membela cucunya.
Saat Jingga pegang tangan Oma, tangan Oma yang sudah tiga hari koma bergerak.
“Oma..Oma..,” pekik Jingga kegirangan, Jingga kemudian menoleh ke Babanya. "Oma bergerak Ba!" ucap Jingga bahagia.
Baba Ardi mengangguk ikut gembira.
“Baba panggil dokter!” ucap Baba Ardi sangat semangat ibunya sadar lagi.
Jingga masih tetap menggenggam dengan hati yang penuh syukur dan sangat semangat. Oma akan jadi seorang buyut.
“I..ila..,” lirih Oma mengigau.
“Oma... Oma sudah sadar?” pekik Jingga lagi, menajamkan telinganya dan mendekatkan wajahnya ke Omanya.
“Oma...ini Jingga Oma,” lirih Jingga ke telinga Oma berharap Oma mendengar dan merespon.
“Ni..la,” lirih Oma lagi.
Jingga pun mengangguk, “Oma kangen Nila? Oma mau ketemu Nila? Oke.. Jingga akan jemput Nila kalau gitu!” tutur Jingga lagi sangat berharap Omanya bahagia dan meresponya dengan baik.
Sayangnya Oma masih memejamkan matanya, tanganya memang bergerak acak, tapi mulutnya kembali menutup.
“Hhh...,” Jingga pun menghela nafasnya kembali, dia harus menelan kecewa.
Sepertinya Oma, masih belum sadar. Panggilan Nila adalah respon bawah sadarnya. Oma hanya mengigau, atau masih somnolen.
“Oma...,” batin Jingga sangat berharap, Omanya sungguhan sadar. "Please Oma...kata Oma mau ketemu buyut Oma kan? Bertahanlah Oma...," batin Jingga meneteskan air matanya.
Tidak lama, dokter datang bersama Baba. Dokter segera memeriksa keadaan Oma.
"Bagaimana Dok. Kenapa Oma tidak merespon anak saya?"
Dokter menjelaskan Oma belum sepenuhnya sadar, dia sepertinya memikirkan cucunya yang bernama Nila itu. Mungkin mengkhawatirkan sesuatu. Atau amat sangat rinduk. Oma kemudian diberi obat lagi.
Baba dan Jingga pun mengangguk mengerti.
"Terima kasih Dok!" ucap Baba pamitan.
Setelah mendapatkan penjelasan Jingga dan Baba kembali keluar. Tidak lama adik laki-laki Jingga yang baru pulang dari kantor, yang bernama Amer datang.
Amer adalah Kakak Nila, dia baru selesai kuliah dan langsung meneruskan usaha Baba. Karena Jingga sedang hamil tua, Jingga dan Baba kebagian menunggu Oma saat siang hari, setelah jam 5 sore, gantian dengan Amer.
“Baba... kak Jingga? Gimana keadaan Oma?” tanya Amer menyapa Baba dan Nila.
“Oma sepertinya sangat merindukan Nila,” jawab Baba.
“Hoh?” pekik Amer memperjelas.
“Tadi Oma mengigau Nila,” sambung Jingga memberitahu.
Amer diam mengangguk. "Ya.. Nila harus dikabari Pah. Oma kangen Nila!" ucap Amer.
“Ya Baba akan pikirkan itu. Ya sudah... gantian Amer yang tunggu, Oma ya. Kalau ada apa- apa kabari Baba, Jingga kamu sedang hamil tua, ayo pulang!” tutur Baba menengahi dan membagi tugas ke putrinya.
“Ya Ba...,” jawab Jingga patuh
"Hati- hati di jalan Ba...," ucap Amer mencium tangan Babanua dan memeluk kakaknya.
"Jaga Oma dengan baik?" bisik Jingga.
Amer mengangguk.
Sepanjang jalan Baba dan Jingga sama- sama diam. Mereka memikirkan Oma mereka, dan karena oma menyebut nama Nila mereka jadi memikirkan Nila.
“Apa Oma ingin datang ke acara wisuda akhirusannah Nila, ya Ba?” tanya Jingga kemudian
Jingga baru pulang dari luar pulau karena suami Jingga menjadi pemimpin di pulau seberang.
Jingga baru pulang 2 hari lalu, Jingga tahu hari ini adalah hari kelulusan Nila, dia juga sedang hamil usia 8 bulan. Dia meninggalkan suaminya ingin menghadiri kelulusan Nila, juga hendak lahiran di rumah ibunya.
Sayangnya sesampainya di rumah, Omanya sedang di rumah sakit. Baba dan yang lain berfikir, Nila dijemput suaminya, itu sebabnya mereka semua memilih menunggu Oma.
“Iya... mungkin?" ucap Baba.
"Kasian Oma? Nila juga kapan pulang ya Ba?" tanya Jingga rindu adiknya.
"Ehm...," dehem Baba kepikirian sesuatu.
"Biru cerita," celetuk Baba.
"Cerita apa Ba?"
"Sebelum Oma sakit, pagi harinya Oma dan sikembar main, katanya kemarin mereka melihat Rendi di pusat perbelanjaan?” celetuk Baba lagi menirukan cerita anak mereka yang sekarang kelas 1 sd.
“Rendi?” tanya Jingga melotot.
Rendi adalah suami Nila. Sebenarnya dulu Rendi hendak dinikahkan dengan Jingga. Rendi jatuh hati ke Jingga, akan tetapi Jingga menolak dan lebih memilih menikah dengan laki- laki yang dicintainya. Akhirnya, karena Nilalah yang dinikahkan dengan Rendi.
“Entahlah, Biru hanya cerita liat Rendi, tapi saat Baba tanya ketemu dimana? Ngobrol apa? Katanya mereka tidak saling menegur hanya melihat. Baba mau tanya Oma, niatnya kita bahas penjemputan Nila, tapi Oma langsung sesak nafas!” tutur Baba lagi.
“Hooh...,” Jingga langsung mengepalkan tanganya dan di otaknya menyala lampu yang menghidupkan banyak tanda tanya. “Apa Oma melihat sesuatu yang menyakitkan dari Dosen bangkotan itu? Kalau kamu berani macam- macam ke adiku? Kalau sampai iya, kamu harus mati di tanganku?” batin Jingga timbul pikiran buruk.
"Oma sakit saat ditanya Rendi maksud Baba?'" tanya Jingga menegaskan
"Iya. Tapi Oma belum sempat ceritakan apapun? Baba tanya Si kembar mereka tidak jawab. Mungkin Oma sangat rindu Nila," ucap Baba lagi.
"Ya udah. Suruh Nila pulang Ba!"
“Kita telpon Rendi atau pihak pondok ya!” ucap Baba memutuskan.
“Ya. Tapi teleponya di rumah ya Ba. Kita pulang dulu, Ba.. kita certa sama Buna dulu!” jawab Jingga.
“Yah.. ayo!”
Bahkan sehelai daun yang jatuh tidak membenci angin, dan ranting yang patah juga tidak akan lepas dari ijin Tuhan. Nila menyakini dan menyadari semua itu dengan pemahaman penuh juga dengan akal sehatnya.
Nila segera menyeka air matanya. Dia ingat tentang semua yang terjadi adalah pilihanya. Tujuan Nila adalah meraih pahala dan ridzo Alloh agar Nila mendapat berkah daari membahagiakan Baba. Nila harus kuat menerima konsekuensi menikahi pria yang sebenarnya mencintai kakaknya.
“Bismillah, aku pasti bisa melalui, ini. Alloh benci suudon kan? Mungkin Mas Rendi sibuk dan menunaikan janjinya pada Baba. Mungkin Mas Rendi sebentar lagi akan segera ke sini menjemputku. Dia pasti akan pangling melihatku. Aku harus dandan cantik agar Mas Rendi jatuh hati kepadaku?” batin Nila kemudian mengumpulkan semangat dan membuang semua pikiran buruknya.
Kesepakatan sebelum mereka menikah, memang Baba dan juga orang tua Rendi ingin Nila tumbuh dewasa dan selesai madrasah aliyah dulu sebelum menunaikan kewajiban sebagai istri sebagai mana mestinya. Rendi tahu menikahi anak di bawah umur jika ketahuan bisa kena pidana.
Jadi walau sedikit keterlaluan karena tidak pernah mengabari Nila, Nila tidak bisa menyalahkan Rendi sepenuhnya. Nila pun mengobati semua tanda tanyanya dengan berbaik sangka, sebab biaya hidup Nila masih ditanggung Rendi.
“Kata Ummi dan Buna, bukan sesuatu yang hina, dan justru berpahala kan memikat hati suami sendiri?” batin Nila lagi bertekad.
Nila kemudian membuka lemari suaminya, beberapa baju memang sudah disiapkan mertuanya untuk Nila. Nila pun mandi, mengganti pakaian pesantrenya dengan gamis cantik yang ada.
Nila berhias dan memakai wewangian. Nila percaya kalau Rendi akan segera menjemputnya setelah Uminya memberitahu Nila sudah di rumah. Nila akan segera mendampingi Rendi juga pulang ke Ibukota menemui keluarganya.
Nila kemudian membuka pintu kamar setelah dirinya menjelma menjadi istri yang cantik dan wangi. Nila tidak mau menjadi istri yang mengurung diri di kamar. Menjadi istri gus di tempat itu, Nila ingin berbaur dan beramah tamah dengan penghuni rumah.
Nila berjalan ke arah dapur, tempat santri- santri mengabdi menunaikan tugasnya, mereka sedang menyiapkan makanan bagi keluarga romo kyai termasuk Nila.
Sayangnya langkah Nila terhenti saat kupingnya menangkap percakapan sang Ummi di balik pintu. Sebenarnya Nila tidak ingin mendengarnya, tapi namanya di sebut, jadi hati Nila menuntut Nila menajamkan telinga dan mendengarnya.
“Nila itu, istrimu Rendi! Kamu nggak ingat dengan sigat taklik yang kamu baca? Dosa kamu kalau kamu gini terus?” omel Ummi Rendi.
Jantung Nila pun naik ritme degubanya, Nila tahu kemana arah pembicaraan Ummi dan itu cukup menyayatnya. Ummi sedang memarahi suaminya. Entah apa jawaban Rendi di balik telepon tidak begitu jelas. Ummi kembali bersuara keras.
“Apa kamu bilang? Jaga ucapanmu, Rendi? Kamu anak abah? Kamu ngerti kan aturan pernikahan? Abah, Umii dan Tuan Ardi itu mengupayakan yang terbaik untuk kalian, pernikahan ini bukan mainan! Perceraian itu hal yang dibenci Alloh dan didukung syaitan? Kami laki- laki!” omel Ummi lagi.
Kali ini Nila bukan hanya semakin cepat irama jantungnya, tapi nafas Nila tersendat dan tidak Nila sadari air mataya menetes. Kenapa Ummi sampai menyebutkan kata Perceraian?
Apa Rendi berniat menceraikanya? Apa Rendi benar- benar menolak pernikahan mereka dan tidak pernah menganggap Nila ada. Kali ini baik sangkanya Nila tidak mampu mengobati sakitnya lagi.
Nila pun segera menyeka air matanya dan berbalik arah tidak jadi ke dapur. Nila kembali kekamarnya.
“Baba... Buna....,” lirih Nila terisak, menumpahkan air matanya ke bantal yang ada.
Rindunya Nila kembali memuncak ingin mendapatkan pelukan hangat dari perempuan yang telah melahirkanya dan selalu menjadi peredamnya.
“Aku mau pulang aja!” batin Nila.
Nila kemudian berjalan ke arah laci dimana dia ingat menyimpan ponselnya di situ. Walau Nila diistimewakan oleh santri- santri karena dia mantu kyai. Berdasar dididkan dan pesan Buna, Sekolah dan mondok adalah melatih untuk takwa, hidup dalam kesederhanaan menuntut ilmu dan melatih diri disiplin. Jadi Nila tertib, ikut aturan pondok seperti yang lain, tidak membawa ponsel ke asrama.
Nila pun menyalakan ponselnya yang sudah 1 minggu dia tinggalkan di laci. Nila memang menyempatkan ke rumah Ummi seminggu sekali walau hanya menengok sebentar dan kembali ke asrama tidur bersama santri lain.
Lalu Nila segera menelpon orang tuanya.
Di saat yang bersamaan, orang tua Nila memang sedang berniat menelpon Mertua Nila meminta ijin menjemput Nila juga mengabari Nila.
"Astaghfirulloh Oma?" lirih Nila semakin bertambah tangisanya mendengar Omanya sakit.
"Sambungkan Telepon Buna ke Ummimu Nak. Kamu harus ijin ya. Kalau diijinkan. Nanti Kak Ikun dan supir jemput kamu!" tutur Buna dibalik telepon sana.
"Iya Buna!" jawab Nila patuh.
Tanpa bercerita pada Buna tentang masalahnya, juga dengan pura- pura tidak dengar apapun, Nila menghampiri Ummi. Ummi ternyata sudah tidak telponan dengan Rendi.
Nila pun menyerahkan ponsel ke Ummi agar berbicara dengan Bunanya. Buna pun menjelaskan kalau Oma Nila sakit dan nanyain Nila.
Ummi yang sebenarnya merasa sangat tidak nyaman karena Rendi tidak mau menjemput Nila justru menjadi terselamatkan ada alasan segera mengantar Nila tanpa Rendi. Ummi langsung mengiyakan bahkan bersedia mengantar.
"Innalillahi. Kalau begitu. Secepatnya saya antar Nak Nila," jawab Ummim
"Ah merepotkan. Kami saja uang jemput Nila?" jawab Buna
"Tidak...tidak...saya juga ingin jenguk Oma!" jawab Ummi beralasan. padahal Ummi juga merasa bersalah atas kelakuan anaknya.
Ummi merasa harus menemui Rendi.
Setelah menutup telepon, Ummi langsung meminta Nila bersiap pulang ke Ibukota.
"Sekarang Ummi?"
"Iyah Sekarang!" jawab Ummi.
Nila pun tersenyum semangat karena segera pulang menemui orang tuanya. Dengan secepat kilat. Nila mempersiapkan pulang kampung yang ke kota.
Siang itupun didampingi ibunya, Nila pulang. Selama perjalanan Nila dan Ummi tidak banyak bicara. Selain karena segan terhadap guru yang menjadi ibunya. Nila juga hatinya gundah gulana dipenuhi banyak prasangka dan rasa sakit.
Pertama bagaimana keadaan Omanya. Kedua nasih pernikahanya. Lalu apa yang akan Nila ceritakan pada keluarganya.
Ummi juga tampak memikirkan sesuatu. Ummi hanya berbicara seperlunya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam. Nila pun sampai ke rumah sakit tempat Oma dirawat. Nila langsung menjenguk Oma.
Nila yang meminta Ummi untuk mendahulukan jenguk Oma.
"Oma... Assalamu'alaikum. Ini Nila Oma?" sapa Nila berbisik menggenggam tangan Omanya setelah mencuci tangan dan bersih- bersih serta berganti pakaian.
Karena memang menunggu Nila, tangan Oma bergerak. Nila sangat senang, tidak lama Oma membuka matanya dan sadar. Nila pun menangis haru, Nila kemudian menemani Oma.
Amer kemudian menelpon keluarganya. Baba dan Jingga kembali ke rumah sakit.Mau tidak mau Ummi dan Buna, para besan itu bertemunya di rimah sakit.
Ummi jadi sangat malu karena tidak ada Rendi. Ummipun segera menelpon Rendi untuk datang ke rumah sakit.
Rendi tak punya alasan lain sehingga sekitar jam 19.00 tiba. Semua terlihat baik- baik saja di mata Keluarga Baba.
Rendi menyapa ramah ke Baba, Buna dan Amer serta ikun. Meski tangan Rendi sedikit gemetaran saat menjabat tangan Baba.
"Lama tidak bertemu Nak? Sehat?" tanya Baba merasa Rendi sedikit berbeda
"Ehm...Alhamdulillah sehat Ba!" jawab Rendi tetap santun.
Tatapan Rendi beralih ke arah kaca. Jantungnya pun berdegub kencang. Di balik kaca ruang rawat Oma, dua perempuan berjilbab tampak sedang menunggu Oma. Satu perempuan itu tubuhnya tampak membesar dengan menanggung nyawa lain.
Rendi menelan ludahnya. "Jingga hamil, dia tetap bahagia bersama pria itu?" batin Rendi hatinya hancur.
Dan perempuan di samping Jingga masih belum menoleh. Akan tetapi Rendi sedikit memicingkan matanya. Tubuh Nila tidak lagi semungil dulu. Tapi sekarang lebih berisi dan lebih tinggi.
"Mintalah pakaian ganti ke perawat jika ingin jenguk, Oma!" tutur Baba tahu Rendi melamun
"I- iya Ba!" jawab Rendi. Rendi pun meminta pakaian steril untuk bisa masuk ke ruang rawat.
Baba kemudian mengetuk pintu kamar rawat Nenek.
"Jingga. Nila. Suami Nila datang. Jingga keluarlah. Gantian sama Rendi?" bisik Baba dan di belakangnya Rendi siap masuk.
Nila dan Jingga menoleh.
Tanpa sengaja, Rendi dan Nila pun bertemu tatap dan saling pandang. Suami istri yang terpisah selama tiga tahun itu saling tertegun.
Bukanya bahagia suaminya datang, Nila yang sempat mendengar kata perceraian jadi menunduk murung mengalihkan pandanganya dari Rendi. Rendi memang terlihat lebih gagah dari 3 tahun lalu. Tapi Rasanya sangat sakit.
Rendi pun tertegun, jantungnya berdegub kencang tidak bisa dia jelaskan. Mata Rendi bahkan tidak bisa berkedip.
Gadis kecil yang dulu dia geli menatapnya, sekarang menjelma menjadi perempuan yang cantik jelita dengan mata teduhnya.
Sementara Jingga menghargai Babanya walau hatinya geram ingin tahu apa yang Nenek lihat.Jingga memilih hendak keluar sebentara.
"Oma...Jingga keluar dulu ya! Suami Nila datang?" ucap Jingga lembut pamit ke Oma
"Jangan keluar!" ucap Oma tiba- tiba sambil menggelengkan kepalanya lemah.
Nila dan Jingga pun terhenyak.
"Oma tidak mau melihat laki- laki itu!" tutur Oma lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!