In Your Memories
Chap 1. Tundukkan Pandanganmu
"Tidak!"
Ben terbangun dari tidurnya dengan napas tak beraturan, wajah pucat, lengkap dengan bulir-bulir keringat di dahinya.
"Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Ben sembari bangun berdiri dari kursi hipnoterapi itu.
"Dua jam," jawab Julian, seorang ahli hipnoterapi yang sering didatanginya belakangan ini.
"Kenapa kau tidak membangunkanku?"
"Maaf, tapi kulihat tidurmu pulas. Jadi kubiarkan saja kau tidur. Karena memang itu yang paling kau butuhkan saat ini sejak kau kembali."
Ben membuang napasnya pelan. Kemudian merapikan kemejanya yang tampak kusut.
Benedict Cartier, pria 32 tahun. Berparas tampan, berperawakan tinggi dengan bentuk tubuh proporsional, dan berkulit putih itu dua tahun belakangan ini sering mendatangi ahli hipnoterapi. Itu pun jika ia memilik waktu luang.
Bukan atas keinginan Ben sendiri, melainkan atas desakan orangtuanya. Dengan alasan untuk membuat Ben lupa akan sebuah tragedi buruk yang menimpanya dua tahun lalu. Yang nyaris meninggalkan trauma bagi Ben sendiri.
Namun tanpa Ben sadari, bukan hanya sebuah kenangan buruk saja yang perlahan ia lupakan. Sebuah kenangan manis pun ikut terhapus dari memorinya secara perlahan. Sebuah kenangan manis yang datang berbarengan dengan sebuah kejadian buruk yang menimpanya dua tahun silam itu.
Belakangan ini, Ben sering mengalami mimpi buruk tentang sebuah tragedi kecelakaan pesawat yang dialaminya.
"Apakah mimpi buruk itu masih mengganggumu?" tanya Julian, pria yang berusia dua tahun diatasnya itu tidak lain adalah saudara sepupunya sendiri. Seorang hipnoterapi yang cukup ternama di kota Paris.
Ben mengangguk. "Terkadang."
"Carilah kegiatan lain, semisal liburan ke pantai. Buatlah dirimu dan pikiranmu itu rileks sebentar. Aku yakin, mimpi buruk itu tidak akan datang lagi mengganggumu."
Namun Ben menggeleng. "Tidak, tidak. Aku tidak ingin ke pantai. Kau tahu apa yang pernah aku alami berkaitan dengan pantai." Wajah Ben terlihat gusar. Tak ingin lagi ia mengingat kenangan buruknya akan pantai.
Dua tahun lalu Ben mengalami kecelakaan pesawat. Ben yang saat itu hendak ke London untuk meresmikan pembukaan cabang Benedict Star Hotel, tanpa terduga nasib naas justru menimpanya.
Pesawat yang Ben tumpangi saat itu terbakar di ketinggian 36.000 kaki. Lalu jatuh di perairan selat Inggris. Semua penumpang ketika itu dikabarkan tewas.
Namun siapa sangka sebuah keberuntungan masih berpihak kepada Ben. Ben yang beberapa hari terombang-ambing di lautan, lalu terdampar di sebuah pesisir pantai, tanpa sengaja ditemukan oleh seseorang.
Oleh sebab itulah, lautan selalu menyisakan kenangan buruk untuk Ben.
"Maaf, aku lupa soal itu. Oh ya ..." Julian bangun dari tempat duduknya, lalu membetulkan kacamatanya. Ia membawa langkahnya menghampiri Ben.
"Wanita itu, apa kau masih mengingatnya?" tanya Julian kemudian.
Ben menghela napas sejenak, menghembuskannya perlahan. Sejenak, tatapannya terlihat kosong. Namun detik kemudian, Ben menggeleng. Lalu mengendikkan bahu.
"Entahlah," sahut Ben singkat.
"Namanya, kau masih ingat?"
Ben membisu, menatap Julian datar. Kemudian ia kembali menggeleng pelan. Memang wajah dan nama wanita yang ditanyakan Julian kepadanya itu ia sudah melupakannya. Namun suaranya, entah mengapa masih terngiang di telinganya, walaupun samar.
...
Di sisi lain kota Paris.
"Hotel ini adalah hotel ternama di negeri ini. Memiliki cabang di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia. Kamu sangat beruntung Elea, bisa diterima bekerja di hotel pusat ini," ujar Jane sambil merapikan tempat tidur yang baru dipasangi seprai.
Sementara Eleanor, yang sering disapa Elea itu membantu Jane. Elea baru saja diterima bekerja sebagai Housekeeping di Benedict Star Hotel dengan bantuan Jane. Benedict Star Hotel merupakan salah satu hotel bergengsi di Paris.
Kedatangan Eleanor Wisse, wanita berusia 28 tahun ke Paris adalah untuk mencari pekerjaan. Sekaligus mencari seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya, hanya dengan bermodalkan sebuah foto dan sebuah nama yang tak lengkap.
"Semua juga berkat mu, Jane. Jika bukan tanpa bantuan mu, mana mungkin aku bisa diterima bekerja di hotel ini," ungkap Elea tulus.
"Karena kau baru di tempat ini, aku ingin memberitahu mu satu hal."
"Apa itu?"
"Tuan Ben, pemilik hotel ini tidak suka bila ditatap langsung oleh karyawannya."
"Ben?" Nama itu mengingatkan Elea akan seseorang yang membuatnya gundah dua tahun belakangan ini. Seseorang yang membuatnya nekat datang ke kota besar seorang diri hanya demi menemukannya. Tetapi sayangnya, Elea tidak mengetahui persis nama lengkap pria tersebut. Bahkan Elea tidak mengantongi alamat pria tersebut.
Yang Elea tahu, pria itu adalah pria sederhana, lembut dan baik hati. Pria yang pernah ditolongnya sewaktu terdampar di pesisir pantai dua tahun lalu. Namun malah menjalin kasih dengannya seiring waktu berjalan.
"Jangan menyebut namanya seperti itu. Panggil Tuan Ben. Jika Tuan Ben datang nanti, sebisa mungkin tundukkan pandangan mu. Jangan menatapnya secara langsung. Terkecuali jika Tuan Ben sendiri yang memintanya," terang Jane mengingatkan Elea tentang atasan mereka yang dikenal bersifat dingin.
"Orang seperti apa dia itu? Sombong sekali. Kenapa kita tidak boleh melihat wajahnya? Atau jangan-jangan wajahnya jelek?"
"Ssst! Jangan bicara sembarangan. Kalau kau tidak mau berurusan dengannya, jangan pernah berkata sesuatu yang buruk tentangnya. Tuan Ben orang yang sulit ditebak. Bisa-bisa kau malah dipecat."
"Ups!" Elea mempraktekkan gaya mengunci mulutnya sendiri. Kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya bersama Jane. Namun dalam hati ia begitu penasaran dengan atasan mereka itu. Namanya mirip dengan nama seseorang yang ia cari.
...
Usai bertemu Julian, Ben kembali ke Benedict Star Hotel. Di ruangannya ia duduk termenung dengan tatapan kosong menatap ke luar jendela.
Wanita itu, apa kau masih mengingatnya?
Pertanyaan Julian masih terngiang di telinganya. Hipnoterapi yang dijalaninya hanya sekedar untuk melupakan sebuah tragedi buruk yang terus mengganggunya saja. Namun sayangnya sebuah kenangan manis pun ikut terhapus dari ingatannya.
Samar-samar bayangan wanita itu datang dalam mimpinya belakangan ini. Siapa wanita itu, ia mungkin sudah melupakannya. Sebab wanita itu mungkin saja bukan siapa-siapa baginya.
"Kenapa bayanganmu terus saja datang menggangguku. Siapa kau sebenarnya?" gumam Ben dalam keresahannya.
Dalam waktu yang sama ponsel Ben berdenting. Sebuah pesan chat masuk ke ponselnya. Ben segera meraih ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya, lalu membuka isi pesan tersebut.
Camila
[Aku sangat merindukanmu, Dear. Bisakah kita bertemu malam ini? Tolong luangkan waktu untukku]
Ben mendesahkan napasnya berat begitu membaca isi pesan tersebut. Entah mengapa ada rasa enggan dalam hati untuk memenuhi permintaan Camila. Wanita yang telah menjadi kekasihnya setahun ini. Dan tidak lama lagi akan bertunangan dengannya.
Benedict
[Sesuai permintaanmu. Aku usahakan untuk meluangkan waktu]
Camila
[Harus itu. Jangan sampai kau lupa. Sampai jumpa nanti malam. Aku mencintaimu]
Ben kembali mendesahkan napasnya berat. Entah mengapa kalimat terakhir Camila itu seakan membuatnya tak senang.
Ben hendak bangun dari kursinya saat pintu ruangannya di dorong terbuka dari luar oleh seseorang. Dari pintu itu datang Mark, asistennya.
"Rapat evaluasi karyawannya sebentar lagi dimulai. Anda harus menghadirinya, Tuan," ucap Mark mengingatkan.
"Jadwalkan esok hari saja. Hari ini aku tidak bisa." Sembari memutar kursi ke posisi semula.
"Tapi, Tuan. Tuan Albert mendesak ku agar rapat evaluasi karyawan yang sering tertunda itu segera Anda laksanakan. Karena tidak lama lagi pesta pertunangan Anda akan diselenggarakan di hotel ini. Apalagi, baru-baru ini kami menerima karyawan baru. Jadi kita harus mengevaluasi tugas karyawan lama maupun karyawan baru. Tuan Albert hanya tidak mau kalau sampai terjadi kesalahan di pesta pertunangan Anda nantinya," terang Mark panjang lebar. Membuat Ben menghembuskan napasnya panjang.
Albert Cartier adalah pemilik Benedict Star Hotel, ayah kandung Ben. Albert adalah sosok ayah yang tegas, keras, disiplin, namun murah hati. Tetapi sayangnya, bila menyangkut masa depan hotel sekaligus masa depan putranya, seorang Albert tidak bisa diajak berkompromi.
Ben hanya dipercayakan mengelola hotel tersebut. Ben adalah putra satu-satunya yang menjadi kebanggan Albert.
"Esok hari saja, aku pastikan aku tidak akan ingkar janji. Beritahu itu pada Tuan Albert mu itu. Hari ini aku masih ada urusan lain." Kemudian bangun dari kursinya, berjalan melewati Mark. Yang kemudian mengekor di belakangnya keluar dari ruangan itu.
Mengenakan kacamata hitam, Ben melangkah panjang menyusuri koridor. Sepanjang ia berjalan, setiap karyawan yang berpapasan dengannya langsung menundukkan wajahnya, setengah membungkuk memberi hormat. Setelah Ben berlalu dari hadapan, barulah mereka bisa mengangkat wajahnya.
Tiba di lobi, Ben tiba-tiba dikejutkan oleh seseorang yang menabrak punggungnya.
"Maaf, maafkan aku, Tuan." Jane gelagapan begitu menyadari siapa orang yang ditabrak Elea hanya dengan melihat asistennya saja. Cepat, Jane menundukkan wajahnya, lalu meraih belakang kepala Elea. Menekannya paksa, agar wanita itu pun menunduk.
"Ceroboh sekali kalian," tegur Mark menatap sedikit garang.
"Maaf, Tuan. Kami tidak sengaja. Lain kali kami akan berhati-hati," ucap Jane membungkuk-bungkukkan badannya.
"Kenapa harus kau yang meminta maaf, Jane. Aku yang menabrak Tuan ini. Jadi akulah yang seharusnya meminta maaf," protes Elea mengangkat wajahnya pada akhirnya. Sebab ia tak tega melihat Jane meminta maaf untuk kesalahannya.
Sementara Ben yang mendengar suara Elea, tertegun detik itu juga. Posisi Ben saat ini memunggungi Elea dan Jane.
"Bukankah kau karyawan baru?" tanya Mark menatap Elea.
"Iya, Tuan. Aku yang sudah menabrak Tuan ini. Jadi, aku mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahanku ini. Kedepannya aku janji akan lebih berhati-hati lagi."
Ben masih tertegun mendengar suara Elea. Suara yang terdengar itu seperti tak asing lagi di telinganya
Sementara Elea, memandangi punggung Ben dengan dahi berkerut. Elea tertegun sejenak memandangi punggung lebar itu. Jika dilihat-lihat, punggung lebar Ben mengingatkan Elea pada seseorang.
"Tundukkan pandanganmu, Nona." Mark memberi peringatan kepada Elea. Namun Elea tak mengindahkan.
"Kenapa? Kenapa aku harus menundukkan pandanganku? Bukankah aku sudah meminta maaf?"
Mendengar kalimat protes Elea, Ben merasa penasaran. Ben pun akhirnya menoleh, lalu memutar tubuhnya berhadapan dengan Elea.
Melihat hal itu, dengan cepat Jane mengulurkan tangannya meraih tengkuk Elea. Menekannya kuat sampai kepala Elea tertunduk.
"Kau?"
Elea tertegun begitu mendengar suara Ben.
*
Hai hai ....
Selamat datang di novel author abal-abal. Mohon tinggalkan jejak kalian, berupa like dan komentar. Kalian bebas berkomentar di sini, tapi yang sopan ya☺️ Jangan lupa masukin daftar favorit kalian ya dengan cara tap ❤️ atau tekan titik tiga di samping kanan atas. Lalu pilih favorit.
Selamat membaca jika kalian suka dengan cerita receh ini.
Happy reading guys☺️☺️☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Wanda Harahap
cukup menarik😘😘
2023-05-18
0
Mama Una
semoga jadi awal yg baik
2023-05-09
1
sizih
suka
awalnya aja sudah keren
2022-12-17
2