NovelToon NovelToon

In Your Memories

Chap 1. Tundukkan Pandanganmu

Chap 1. Tundukkan Pandanganmu

"Tidak!"

Ben terbangun dari tidurnya dengan napas tak beraturan, wajah pucat, lengkap dengan bulir-bulir keringat di dahinya.

"Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Ben sembari bangun berdiri dari kursi hipnoterapi itu.

"Dua jam," jawab Julian, seorang ahli hipnoterapi yang sering didatanginya belakangan ini.

"Kenapa kau tidak membangunkanku?"

"Maaf, tapi kulihat tidurmu pulas. Jadi kubiarkan saja kau tidur. Karena memang itu yang paling kau butuhkan saat ini sejak kau kembali."

Ben membuang napasnya pelan. Kemudian merapikan kemejanya yang tampak kusut.

Benedict Cartier, pria 32 tahun. Berparas tampan, berperawakan tinggi dengan bentuk tubuh proporsional, dan berkulit putih itu dua tahun belakangan ini sering mendatangi ahli hipnoterapi. Itu pun jika ia memilik waktu luang.

Bukan atas keinginan Ben sendiri, melainkan atas desakan orangtuanya. Dengan alasan untuk membuat Ben lupa akan sebuah tragedi buruk yang menimpanya dua tahun lalu. Yang nyaris meninggalkan trauma bagi Ben sendiri.

Namun tanpa Ben sadari, bukan hanya sebuah kenangan buruk saja yang perlahan ia lupakan. Sebuah kenangan manis pun ikut terhapus dari memorinya secara perlahan. Sebuah kenangan manis yang datang berbarengan dengan sebuah kejadian buruk yang menimpanya dua tahun silam itu.

Belakangan ini, Ben sering mengalami mimpi buruk tentang sebuah tragedi kecelakaan pesawat yang dialaminya.

"Apakah mimpi buruk itu masih mengganggumu?" tanya Julian, pria yang berusia dua tahun diatasnya itu tidak lain adalah saudara sepupunya sendiri. Seorang hipnoterapi yang cukup ternama di kota Paris.

Ben mengangguk. "Terkadang."

"Carilah kegiatan lain, semisal liburan ke pantai. Buatlah dirimu dan pikiranmu itu rileks sebentar. Aku yakin, mimpi buruk itu tidak akan datang lagi mengganggumu."

Namun Ben menggeleng. "Tidak, tidak. Aku tidak ingin ke pantai. Kau tahu apa yang pernah aku alami berkaitan dengan pantai." Wajah Ben terlihat gusar. Tak ingin lagi ia mengingat kenangan buruknya akan pantai.

Dua tahun lalu Ben mengalami kecelakaan pesawat. Ben yang saat itu hendak ke London untuk meresmikan pembukaan cabang Benedict Star Hotel, tanpa terduga nasib naas justru menimpanya.

Pesawat yang Ben tumpangi saat itu terbakar di ketinggian 36.000 kaki. Lalu jatuh di perairan selat Inggris. Semua penumpang ketika itu dikabarkan tewas.

Namun siapa sangka sebuah keberuntungan masih berpihak kepada Ben. Ben yang beberapa hari terombang-ambing di lautan, lalu terdampar di sebuah pesisir pantai, tanpa sengaja ditemukan oleh seseorang.

Oleh sebab itulah, lautan selalu menyisakan kenangan buruk untuk Ben.

"Maaf, aku lupa soal itu. Oh ya ..." Julian bangun dari tempat duduknya, lalu membetulkan kacamatanya. Ia membawa langkahnya menghampiri Ben.

"Wanita itu, apa kau masih mengingatnya?" tanya Julian kemudian.

Ben menghela napas sejenak, menghembuskannya perlahan. Sejenak, tatapannya terlihat kosong. Namun detik kemudian, Ben menggeleng. Lalu mengendikkan bahu.

"Entahlah," sahut Ben singkat.

"Namanya, kau masih ingat?"

Ben membisu, menatap Julian datar. Kemudian ia kembali menggeleng pelan. Memang wajah dan nama wanita yang ditanyakan Julian kepadanya itu ia sudah melupakannya. Namun suaranya, entah mengapa masih terngiang di telinganya, walaupun samar.

...

Di sisi lain kota Paris.

"Hotel ini adalah hotel ternama di negeri ini. Memiliki cabang di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia. Kamu sangat beruntung Elea, bisa diterima bekerja di hotel pusat ini," ujar Jane sambil merapikan tempat tidur yang baru dipasangi seprai.

Sementara Eleanor, yang sering disapa Elea itu membantu Jane. Elea baru saja diterima bekerja sebagai Housekeeping di Benedict Star Hotel dengan bantuan Jane. Benedict Star Hotel merupakan salah satu hotel bergengsi di Paris.

Kedatangan Eleanor Wisse, wanita berusia 28 tahun ke Paris adalah untuk mencari pekerjaan. Sekaligus mencari seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya, hanya dengan bermodalkan sebuah foto dan sebuah nama yang tak lengkap.

"Semua juga berkat mu, Jane. Jika bukan tanpa bantuan mu, mana mungkin aku bisa diterima bekerja di hotel ini," ungkap Elea tulus.

"Karena kau baru di tempat ini, aku ingin memberitahu mu satu hal."

"Apa itu?"

"Tuan Ben, pemilik hotel ini tidak suka bila ditatap langsung oleh karyawannya."

"Ben?" Nama itu mengingatkan Elea akan seseorang yang membuatnya gundah dua tahun belakangan ini. Seseorang yang membuatnya nekat datang ke kota besar seorang diri hanya demi menemukannya. Tetapi sayangnya, Elea tidak mengetahui persis nama lengkap pria tersebut. Bahkan Elea tidak mengantongi alamat pria tersebut.

Yang Elea tahu, pria itu adalah pria sederhana, lembut dan baik hati. Pria yang pernah ditolongnya sewaktu terdampar di pesisir pantai dua tahun lalu. Namun malah menjalin kasih dengannya seiring waktu berjalan.

"Jangan menyebut namanya seperti itu. Panggil Tuan Ben. Jika Tuan Ben datang nanti, sebisa mungkin tundukkan pandangan mu. Jangan menatapnya secara langsung. Terkecuali jika Tuan Ben sendiri yang memintanya," terang Jane mengingatkan Elea tentang atasan mereka yang dikenal bersifat dingin.

"Orang seperti apa dia itu? Sombong sekali. Kenapa kita tidak boleh melihat wajahnya? Atau jangan-jangan wajahnya jelek?"

"Ssst! Jangan bicara sembarangan. Kalau kau tidak mau berurusan dengannya, jangan pernah berkata sesuatu yang buruk tentangnya. Tuan Ben orang yang sulit ditebak. Bisa-bisa kau malah dipecat."

"Ups!" Elea mempraktekkan gaya mengunci mulutnya sendiri. Kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya bersama Jane. Namun dalam hati ia begitu penasaran dengan atasan mereka itu. Namanya mirip dengan nama seseorang yang ia cari.

...

Usai bertemu Julian, Ben kembali ke Benedict Star Hotel. Di ruangannya ia duduk termenung dengan tatapan kosong menatap ke luar jendela.

Wanita itu, apa kau masih mengingatnya?

Pertanyaan Julian masih terngiang di telinganya. Hipnoterapi yang dijalaninya hanya sekedar untuk melupakan sebuah tragedi buruk yang terus mengganggunya saja. Namun sayangnya sebuah kenangan manis pun ikut terhapus dari ingatannya.

Samar-samar bayangan wanita itu datang dalam mimpinya belakangan ini. Siapa wanita itu, ia mungkin sudah melupakannya. Sebab wanita itu mungkin saja bukan siapa-siapa baginya.

"Kenapa bayanganmu terus saja datang menggangguku. Siapa kau sebenarnya?" gumam Ben dalam keresahannya.

Dalam waktu yang sama ponsel Ben berdenting. Sebuah pesan chat masuk ke ponselnya. Ben segera meraih ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya, lalu membuka isi pesan tersebut.

Camila

[Aku sangat merindukanmu, Dear. Bisakah kita bertemu malam ini? Tolong luangkan waktu untukku]

Ben mendesahkan napasnya berat begitu membaca isi pesan tersebut. Entah mengapa ada rasa enggan dalam hati untuk memenuhi permintaan Camila. Wanita yang telah menjadi kekasihnya setahun ini. Dan tidak lama lagi akan bertunangan dengannya.

Benedict

[Sesuai permintaanmu. Aku usahakan untuk meluangkan waktu]

Camila

[Harus itu. Jangan sampai kau lupa. Sampai jumpa nanti malam. Aku mencintaimu]

Ben kembali mendesahkan napasnya berat. Entah mengapa kalimat terakhir Camila itu seakan  membuatnya tak senang.

Ben hendak bangun dari kursinya saat pintu ruangannya di dorong terbuka dari luar oleh seseorang. Dari pintu itu datang Mark, asistennya.

"Rapat evaluasi karyawannya sebentar lagi dimulai. Anda harus menghadirinya, Tuan," ucap Mark mengingatkan.

"Jadwalkan esok hari saja. Hari ini aku tidak bisa." Sembari memutar kursi ke posisi semula.

"Tapi, Tuan. Tuan Albert mendesak ku agar rapat evaluasi karyawan yang sering tertunda itu segera Anda laksanakan. Karena tidak lama lagi pesta pertunangan Anda akan diselenggarakan di hotel ini. Apalagi, baru-baru ini kami menerima karyawan baru. Jadi kita harus mengevaluasi tugas karyawan lama maupun karyawan baru. Tuan Albert hanya tidak mau kalau sampai terjadi kesalahan di pesta pertunangan Anda nantinya," terang Mark panjang lebar. Membuat Ben menghembuskan napasnya panjang.

Albert Cartier adalah pemilik Benedict Star Hotel, ayah kandung Ben. Albert adalah sosok ayah yang tegas, keras, disiplin, namun murah hati. Tetapi sayangnya, bila menyangkut masa depan hotel sekaligus masa depan putranya, seorang Albert tidak bisa diajak berkompromi.

Ben hanya dipercayakan mengelola hotel tersebut. Ben adalah putra satu-satunya yang menjadi kebanggan Albert.

"Esok hari saja, aku pastikan aku tidak akan ingkar janji. Beritahu itu pada Tuan Albert mu itu. Hari ini aku masih ada urusan lain." Kemudian bangun dari kursinya, berjalan melewati Mark. Yang kemudian mengekor di belakangnya keluar dari ruangan itu.

Mengenakan kacamata hitam, Ben melangkah panjang menyusuri koridor. Sepanjang ia berjalan, setiap karyawan yang berpapasan dengannya langsung menundukkan wajahnya, setengah membungkuk memberi hormat. Setelah Ben berlalu dari hadapan, barulah mereka bisa mengangkat wajahnya.

Tiba di lobi, Ben tiba-tiba dikejutkan oleh seseorang yang menabrak punggungnya.

"Maaf, maafkan aku, Tuan." Jane gelagapan begitu menyadari siapa orang yang ditabrak Elea hanya dengan melihat asistennya saja. Cepat, Jane menundukkan wajahnya, lalu meraih belakang kepala Elea. Menekannya paksa, agar wanita itu pun menunduk.

"Ceroboh sekali kalian," tegur Mark menatap sedikit garang.

"Maaf, Tuan. Kami tidak sengaja. Lain kali kami akan berhati-hati," ucap Jane membungkuk-bungkukkan badannya.

"Kenapa harus kau yang meminta maaf, Jane. Aku yang menabrak Tuan ini. Jadi akulah yang seharusnya meminta maaf," protes Elea mengangkat wajahnya pada akhirnya. Sebab ia tak tega melihat Jane meminta maaf untuk kesalahannya.

Sementara Ben yang mendengar suara Elea, tertegun detik itu juga. Posisi Ben saat ini memunggungi Elea dan Jane.

"Bukankah kau karyawan baru?" tanya Mark menatap Elea.

"Iya, Tuan. Aku yang sudah menabrak Tuan ini. Jadi, aku mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahanku ini. Kedepannya aku janji akan lebih berhati-hati lagi."

Ben masih tertegun mendengar suara Elea. Suara yang terdengar itu seperti tak asing lagi di telinganya

Sementara Elea, memandangi punggung Ben dengan dahi berkerut. Elea tertegun sejenak memandangi punggung lebar itu. Jika dilihat-lihat, punggung lebar Ben mengingatkan Elea pada seseorang.

"Tundukkan pandanganmu, Nona." Mark memberi peringatan kepada Elea. Namun Elea tak mengindahkan.

"Kenapa? Kenapa aku harus menundukkan pandanganku? Bukankah aku sudah meminta maaf?"

Mendengar kalimat protes Elea, Ben merasa penasaran. Ben pun akhirnya menoleh, lalu memutar tubuhnya berhadapan dengan Elea.

Melihat hal itu, dengan cepat Jane mengulurkan tangannya meraih tengkuk Elea. Menekannya kuat sampai kepala Elea tertunduk.

"Kau?"

Elea tertegun begitu mendengar suara Ben.

*

Hai hai ....

Selamat datang di novel author abal-abal. Mohon tinggalkan jejak kalian, berupa like dan komentar. Kalian bebas berkomentar di sini, tapi yang sopan ya☺️ Jangan lupa masukin daftar favorit kalian ya dengan cara tap ❤️ atau tekan titik tiga di samping kanan atas. Lalu pilih favorit.

Selamat membaca jika kalian suka dengan cerita receh ini.

Happy reading guys☺️☺️☺️

Chap 2. Ingatkan Aku Kembali

Chap 2. Ingatkan Aku Kembali

Dengan kepala tertunduk, Elea memandangi ujung sepatu pantofel Ben yang mengkilap. Begitu cepat Jane meraih tengkuknya, membuatnya menunduk. Sehingga lenyap kesempatannya untuk melihat wajah Ben.

Beberapa jam lalu Jane berkata kepadanya bahwa atasan mereka itu samasekali tidak suka bila ditatap secara langsung oleh bawahannya. Hal itu membuat Elea penasaran seperti apa gerangan wajah atasan mereka itu. Dan mengapa orang itu tidak ingin bawahannya menatapnya secara langsung.

Terlalu sombong orang ini, pikir Elea.

"Kau?"

Suara Ben yang terdengar membuat Elea tertegun. Suara itu seperti tak asing lagi di telinganya. Meski sudah lama tidak mendengar suara itu lagi, tetapi Elea masih mengenali suara itu. Mungkinkah orang yang ia cari adalah ...

"Sebaiknya perhatikan jalanmu dengan benar. Sekali lagi kau menabrakku, maka aku tidak akan segan memecatmu," tegas Ben dengan intonasi penekanan.

Elea meneguk ludahnya kasar mendengar peringatan bernada ancaman dari atasan yang membuatnya penasaran itu. Ia akan menerima bila dipecat dari pekerjaannya. Namun bukan sekarang. Sebab ia masih belum menemukan seseorang yang ia cari.

Elea akan pergi, kembali ke kotanya bila keinginannya telah tercapai. Elea hanya ingin mendapatkan kepastian juga status yang jelas mengenai hubungannya dengan seseorang. Yang telah pergi meninggalkannya begitu saja. Bersama dengan kenangan yang telah mereka ukir berdua.

"Maafkan aku, Tuan." Kalimat itu yang Elea ucapkan ditengah rasa penasarannya akan pria yang berdiri di hadapannya itu. Pria yang hanya bisa ia lihat sepatu mengkilapnya saja.

Wajahnya pasti jelek.

Elea bergumam dalam hati. Menerka-nerka bila pria tersebut berwajah buruk. Sebab entah apa sebabnya, pria tersebut tidak ingin ada yang menatap wajahnya. Bukankah hal itu menjadi pertanda bahwa pria tersebut buruk rupa?

Ben menatap Elea yang tengah menunduk. Suara Elea membuat Ben tertegun untuk sesaat. Sebab suara Elea seperti sudah tak asing lagi di telinganya. Seakan ia pernah mendengar suara itu.

Tapi di mana?

Menurunkan pandangan dari kepala, kini pandangan Ben jatuh pada name tag di dada sebelah kanan Elea. Dari balik kacamata hitamnya, Ben bisa membaca jelas nama yang tertera.

Eleanor

Menyebut nama itu dalam hati, entah mengapa malah membuat hati Ben berdebar tiba-tiba. Ben lantas membawa satu tangannya memegangi dadanya. Rasa yang muncul tanpa tahu sebabnya itu membuatnya bingung. Mengapa nama itu membuat perasaannya tak menentu?

"Kau ini terlalu ceroboh sekali, Nona. Apakah kau tahu siapa orang yang berdiri di hadapanmu ini?" tanya Mark bernada tak ramah.

Elea menggeleng. Sebetulnya ia sudah bisa menebak siapa pria itu. Namun orang sombong seperti pria itu, apa salahnya bila dikerjai sesekali. Paling tidak membuat pria itu merasa kesal.

Pria sombong seperti atasannya itu adalah tipe seorang pria yang dibencinya. Bagi Elea, semua manusia di muka bumi ini adalah sama. Sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Yang membedakan hanyalah takdir dan nasib seseorang saja. Ada yang beruntung, adapula yang kurang beruntung. Lalu apa yang patut di sombongkan?

Selama mereka masih sesama manusia, mengapa tidak saling menghargai? Walaupun pria itu adalah atasan, tidak bisakah sedikit bersikap ramah terhadap bawahan?

"Keterlaluan sekali kau. Tidak adakah yang memberitahumu siapa Tuan Ben ini?" Mark naik pitam. Bagaimana bisa seorang karyawan tidak mengetahui atasannya. Benar-benar.

Elea kembali menggeleng. Membuat Mark jengkel.

"Elea!" Jane memanggil Elea setengah berbisik. Namun Elea tak mengacuhkannya. Padahal Jane sudah memberitahu Elea bila Ben adalah atasan mereka. Lalu mengapa Elea malah berpura-pura tidak mengenali Ben?

"Tuan Ben ini adalah atasanmu, Nona. Tuan Benedict Cartier, pemilik hotel ini." Mark memberitahu dengan nada tegas.

Elea mengangguk-angguk. "Maafkan aku tidak mengetahui hal itu." Kemudian membungkukkan badannya. Masih dengan pandangan tertunduk.

"Sekarang kau sudah tahu siapa Tuan Ben. Lain kali, lebih berhati-hati lagi."

"Baik, Tuan. Tapi, bisakah aku melihat wajahnya?" Entah keberanian dari mana yang mendorong Elea melayangkan kalimat tanya tersebut.

"Hei, kau! Lancang sekali kau, Nona!" Mark semakin gerak dibuatnya.

Sementara Jane berkali-kali memanggil Elea pelan, sambil mendelikkan matanya. Namun Elea sedikitpun tak menghiraukannya.

Rasa penasaran yang menggunung itu membuat Elea berani melayangkan pertanyaan tersebut. Sebab bila dilihat dari postur, dan didengar dari suaranya, Tuan Ben ini hampir menyerupai seseorang yang ia cari. Seorang pria yang bernama serupa.

Atau mungkinkah Tuan Ben yang ini adalah ...

"Bagaimana aku bisa mengenali Tuan ini adalah atasanku bila aku tidak pernah melihat wajahnya? Bukankah seseorang itu bisa dikenali dari wajahnya?" Elea masih menunduk berkata demikian. Ia hanya ingin melihat bagaimana reaksi Ben.

"Berani sekali kau berkata seperti itu, Nona. Apa kau ingin dipecat dari pekerjaanmu?" Mark menakuti Elea dengan sedikit ancaman.

"Sudahlah, Mark. Perempuan ini hanya membuang-buang waktuku saja. Jika nanti dia melakukan kesalahan seperti ini lagi, pecat saja dia." Kemudian Ben beranjak meninggalkan Elea dan Jane. Menyusul Mark mengekorinya. Lalu mensejajarkan diri berjalan di sampingnya.

Cepat Elea mengangkat wajahnya sebelum hilang kesempatannya untuk melihat wajah Ben. Namun sayangnya, Elea hanya bisa melihat punggung pria itu saja yang semakin menjauh.

"Hufffft ..." Elea membuang napasnya panjang. Merasa kecewa rak bisa memergoki wajah atasannya yang terkesan disembunyikan tersebut. Entah dengan alasan apa pria tersebut tak ingin bawahannya melihat wajahnya secara langsung.

"Sial!" Elea mengumpat kesal.

"Elea, apa kau sudah gila? Kau mau mati? Bagaimana kalau Tuan Ben benar-benar memecatmu? Apa kau mau kembali ke London tanpa uang sepeserpun?" Jane mengomeli sahabatnya itu sambil mereka berjalan. Apa yang dilakukan Elea itu membuat Jane ketakutan. Takut bila terkena imbasnya. Bagaimana bila Tuan Ben itu memecatnya juga? Mau mencari pekerjaan ke mana lagi ia di kota Paris ini?

"Tenang saja. Aku tidak akan membuatmu terkena masalah. Aku hanya penasaran seperti apa wajah Tuan Ben itu. Aku sangat yakin, Tuan Ben itu berwajah jelek."

"Kata siapa? Dari yang aku dengar, Tuan Ben itu sangat tampan. Bahkan aku pernah melihat wajahnya."

"Oh ya? Kau yakin?" Elea meninggikan kedua alisnya. Ia semakin penasaran tentang Ben.

"Emmm ... Sebenarnya aku hanya sempat melihatnya dari samping. Itu pun dalam jarak yang cukup jauh. Dan saat itu dia memakai kacamata hitam." Jane mengingat-ingat saat ia hampir melihat wajah Ben. Meski hanya dari arah samping, itu pun hanya beberapa detik saja.

Setiap kali ada rapat dengan karyawan, Ben mewakilkan kehadirannya kepada Mark. Selama ini Albert Cartier lah yang sering bertatap muka langsung dengan karyawannya. Sedangkan Ben, entah dimana keberadaan pria tersebut.

"Kau mungkin salah lihat, Jane. Atau bisa saja matamu rabun. Mana mungkin Tuan Ben mu itu berwajah tampan. Aku sangat yakin, dia itu berwajah jekek." canda Elea kemudian tertawa-tawa sembari merangkul pundak Jane.

"Kalau menurutmu seperti itu, maka aku menantangmu. Jika kau berhasil melihat wajahnya nanti, kau tidak akan terpesona  dan jatuh cinta padanya."

"Tidak akan pernah, Jane. Aku tidak akan terpesona pada Tuan Ben mu itu. Apalagi jatuh cinta. Karena aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai. Seseorang yang aku cari jauh-jauh sampai ke kota ini. Doakan saja semoga aku cepat bertemu dengannya,' tutur Elea penuh percaya diri.

...

Julian memperbaiki letak kacamatanya. Kemudian bangun dari kursinya menghampiri Ben yang telah menempati kursi hipnoterapi itu.

Ben memutuskan untuk kembali menemui Julian. Bayangan wanita itu masih saja mengganggunya. Wanita yang pernah hadir dalam hidupnya. Namun menghilang dan tak tahu rimbanya. Ben bahkan kehilangan seluruh memorinya tentang wanita itu.

Begitu kembali dari London, setelah dijemput paksa oleh orangtuanya, Ben bahkan tidak diijinkan kembali ke London walau hanya sekedar untuk meninjau dan mengevaluasi perkembangan cabang hotel di London. Orangtuanya bahkan memaksanya untuk melakukan hipnoterapi. Padahal, ia baik-baik saja saat itu.

"Alasan apa kira-kira yang membuatmu kembali?" tanya Julian sembari mengambil duduk di sebuah bangku kecil di sebelah Ben.

"Aku mau kau melakukan sesuatu untukku."

"Apa itu?" Sebelumnya Julian telah memberitahu Nyonya Roberta, ibu kandung Ben setelah Ben menghubunginya, meminta untuk bertemu kembali. Dan Nyonya Roberta jauh sebelumnya telah mewanti-wantinya agar membuat memori Ben akan kenangan wanita itu menghilang untuk selamanya. Wanita yang membuat Ben tak kembali ke Paris berbulan-bulan lamanya pasca kecelakaan pesawat dua tahun silam.

Orangtua Ben frustasi saat dikabarkan semua penumpang pesawat tewas saat itu. Namun saat mayat Ben dikabarkan tidak ditemukan, orangtua Ben pun akhirnya berinisiatif mencarinya sendiri. Mereka berharap Ben masih hidup.

Dengan mengerahkan bantuan detektif-detektif handal, seta dibantu tim SAR khusus, mereka mencari Ben di semua penjuru kota London selama berbulan-bulan lamanya.

Ben pun akhirnya ditemukan dalam keadaan selamat dan tinggal bersama seorang wanita yang menolongnya. 

Namun sayangnya, Ben malah telah menjalin kasih dengan wanita tersebut. Sehingga membuat orangtuanya murka. Mereka lalu memaksa Ben kembali ke Paris dengan segala cara.

Di Paris, Nyonya Roberta bersikeras memaksa Ben untuk melakukan hipnoterapi. Beruntung, Julian seorang ahli hipnoterapi adalah kerabat dekat mereka. Sehingga dengan bantuan Julian, memori Ben dihapus perlahan-lahan. Termasuk memori Ben tentang wanita itu.

"Apa yang harus kulakukan untukmu, Ben?" tanya Julian kembali.

Ben membaringkan tubuhnya di kursi tersebut. Ia lantas mulai memejamkan matanya, lalu ia berkata,

"Ingatkan aku kembali tentang wanita itu!"

*

Chap 3. Aku Istrimu

Chap 3. Aku Istrimu

"Ingatkan aku kembali tentang wanita itu!"

Julian terdiam mendengar permintaan Ben. Ia menimbang-nimbang sejenak, walaupun pada akhirnya ia tidak akan menuruti permintaan Ben. Sebab ia tahu resiko apa yang akan ia hadapi bila menuruti permintaan saudara sepupunya itu. Yaitu kemarahan Nyonya Roberta.

"Aku ingin wanita itu hadir kembali dalam memoriku. Aku ingin tahu siapa dia, dan apa hubungannya denganku," sambung Ben masih dengan mode mata terpejam. Menunggu Julian melakukan apa yang ia minta.

"Apa kau yakin?" Bukannya Julian meragukan Ben. Hanya saja Julian enggan melakukannya. Lantaran Nyonya Roberta kerap mewanti-wanti agar supaya menghapus keseluruhan memori Ben tentang wanita itu. Wanita yang dicintai Ben. Wanita yang sedikitpun tidak pantas menjadi pendamping Ben, menurut Nyonya Roberta. Sebab wanita itu berasal dari kalangan rendah.

"Lebih dari yakin."

"Emm ... Tapi Ben ..."

Ben sontak membuka matanya, lalu menoleh.

"Kau tidak mau melakukannya?" tanya Ben menelisik ekspresi wajah Julian. Yang terlihat gusar, seperti tengah mencemaskan sesuatu.

"Kau takut pada ibuku?" tebak Ben. 99 persen, tebakan Ben itu sudah benar. Sebab yang terlalu ngotot memintanya melakukan hipnoterapi adalah ibunya sendiri. Hanya untuk sebuah alasan yang tidak masuk akal. Namun tetap ia turuti. Karena ia pun merasa sedikit terganggu oleh mimpi buruk kecelakaan pesawat tersebut.

Julian menggeleng. "Tidak, bukan seperti itu."

"Lalu?"

"Kenapa tiba-tiba kau ingin mengingatnya kembali?"

Ben diam sejenak. Lalu perlahan satu tangannya ia bawa memegangi dadanya. "Di sini, rasanya sangat berbeda di sini bila bayangannya muncul."

"Maksudmu?"

"Hatiku berdebar-debar."

Giliran Julian yang terdiam. Percuma saja ia menghapus memori Ben tentang wanita itu dari kepalanya bila ia tak bisa menghapusnya dari hati Ben.

Bila sudah begini Julian harus melakukan apa? Haruskah ia turuti permintaan Ben untuk mengembalikan memorinya tentang wanita itu?

Lalu bila memori Ben kembali, lantas bagaimana dengan Camila? Kekasih yang akan bertunangan dengannya tidak lama lagi?

Kenangan memang bisa dilupakan. Namun perasaan yang pernah hadir mengisi relung hatinya, Ben masih bisa merasakannya.

Mungkin saja ada cerita yang tidak Julian ketahui tentang Ben dengan wanita itu. Sehingga, meskipun kenangan itu dipaksa terkubur, namun perasaannya masih tetap hidup di dalam sanubarinya.

Julian menghembuskan napasnya panjang. Otaknya bekerja keras bagaimana caranya mengelabui Ben. Agar Ben tidak dapat menemukan ingatannya tentang wanita itu.

"Kau mau melakukannya untukku?" tanya Ben memastikan. Sebab dilihatnya Julian kelihatan enggan. Atau mungkin hanya perasaannya saja.

"Baiklah. Kita coba pelan-pelan. Tapi jika kau tidak bisa menemukannya kembali dalam ingatanmu, maka sebaiknya kau berhenti. Lupakan saja dia. Aku akan melakukan yang terbaik yang aku bisa. Tapi aku tidak berjanji, akan mengembalikan seluruh ingatanmu tentangnya. Kau harus ingat, kau sudah memiliki Camila."

Ben menghembuskan napasnya resah.

Camila, mengapa pula Julian mengingatkannya tentang Camila. Wanita yang membuatnya gundah. Gundah ingin menjauh, tetapi langkahnya tersendat.

...

Elea telah selesai dengan pekerjaannya. Shift nya telah berakhir, begitu juga dengan Jane. Mereka tengah mengganti pakaian dengan pakaian biasa di ruang ganti. Tak lama, Elea telah selesai.

Sembari merapikan loker nya, Elea berkata, "Aku lapar, kau mau makan denganku?" tanyanya kemudian menutup dan mengunci loker. Lalu mengalungkan sling bag nya.

"Kita belum gajian. Dan aku sedang berhemat, Elea. Jadi, kau makan saja sendiri," sahut Jane sembari menghampiri.

"Tenang saja, aku yang traktir."

"Kau juga perlu berhemat, Elea. Tinggal di kota ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bukankah kau juga harus membayar sewa kamar?"

Elea menghembuskan napasnya pelan. Kemudian tersenyum. Apa yang dikatakan Jane ada benarnya. Ia datang ke kota ini hanya berbekal sedikit uang saja, yang hanya cukup untuk biaya makannya sehari-hari.

Beruntung ia memiliki Jane, sehingga untuk tinggal di kota ini ia menumpang di kamar sewa milik Jane. Untuk bulan depan ia harus menyewa kamar sendiri. Sebab pemilik tempat hanya mengijinkannya sebulan saja menumpang di kamarnya Jane. Itu pun dengan membayar setengah dari harga biasanya.

"Baiklah, Jane. Kalau begitu biar aku mentraktirmu minuman dingin saja. Bagaimana?" usulnya kemudian.

"Bolehlah. Ayo." Mereka kemudian keluar dari ruang ganti bersama-sama.

...

"Ben ... Ben ..."

"Aku mencintaimu, Ben."

"Apa kau bisa berjanji padaku?"

"Berjanjilah, Ben. Kalau kau takkan pernah pergi dariku. Jika kau pergi, aku akan mencarimu sampai ke ujung dunia sekalipun."

"Aku Eleanor, aku sangat mencintaimu Ben."

Ckiiiiiit!

Ben mengerem mendadak mobilnya di tengah jalan. Beruntung kendaraan sore itu sedang lengang. Sehingga tak terjadi kecelakaan beruntun yang bisa membahayakan nyawa.

Ben terlihat tegang, wajahnya pucat, lengkap dengan bulir-bulir keringat yang mulai mengembun di dahinya. Ben mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Ia lantas melepas dasi yang ia kenakan. Kemudian membuka dua kancing teratas kemejanya, yang membuat napasnya serasa sesak saja.

Suara seorang gadis terngiang-ngiang di telinga Ben sepulangnya ia dari tempat Julian. Suara itu seolah terdengar jelas, menggema memenuhi ruang di kepalanya. Ben memejamkan matanya, mencoba membayangkan kembali rupa gadis yang sering datang mengganggu pikirannya itu. Tetapi sayangnya, bayangan gadis itu terlihat samar.

"Siapa kau?" gumam Ben resah. Berusaha mengingat gadis itu.

Piiip Piiip Piiip

Suara klakson yang saling bersahutan di belakang mobil itu pun membuyarkan lamunan Ben yang mulai melambung. Ben tersentak, kemudian buru-buru menepikan mobilnya di depan sebuah mini market. Begitu Ben menepi, arus lalu lintas pun kembali lancar.

Ben menghembuskan napasnya panjang. Ia lalu menoleh, melihat ke luar jendela. Detik berikutnya, Ben turun dari mobil. Ia hendak membeli minuman dingin di minimarket tersebut. Selama berada di tempat Julian sampai detik ini, ia belum mengisi perutnya. Dengan sebotol minuman dingin dan sebungkus roti mungkin bisa mengganjal perutnya.

Sembari melangkahkan kakinya, Ben mengambil ponsel dari saku celana bahannya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya.

Camila

[Aku berharap kau tidak melupakan janjimu bertemu denganku malam ini]

Ben masih berjalan dengan kepala menunduk, memandangi ponselnya. Sehingga ia kurang memperhatikan jalan. Sampai tiba-tiba ...

Bugh!

"Aw!"

Tanpa sengaja Ben menabrak punggung seorang wanita. Membuat wanita itu terdorong ke depan. Sehingga beberapa barang belanjaan wanita itu jatuh ke lantai.

Sontak Ben pun mengalihkan pandangannya. Dipandanginya punggung wanita itu yang tengah membungkuk, memunguti belanjaannya yang terjatuh.

"Dasar sial! Kenapa hari ini aku sangat sial. Tadi siang aku menabrak punggung seseorang. Dan sekarang malah punggungku yang ditabrak." Terdengar wanita itu menggerutu sambil memungut belanjaannya.

Suara wanita itu membuat Ben mengerutkan dahi. Sebuah suara yang seolah tak asing lagi di telinganya. Dipandanginya terus wanita itu sampai wanita itu berdiri.

Pandangan lekat Ben terus tertuju kepada wanita itu. Bahkan sampai wanita itu memutar tubuh menghadap ke arahnya.

Wanita itu terdiam menatap Ben lekat.

...

Tengah asik memilih cemilan, Elea dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba menabrak punggungnya kuat. Sehingga beberapa cemilan yang sudah berada di tangannya itu jatuh berserakan di lantai.

"Dasar sial! Kenapa hari ini aku sangat sial. Tadi siang aku menabrak punggung seseorang. Dan sekarang malah punggungku yang ditabrak." Sambil membungkuk memunguti cemilan itu Elea menggerutu.

Elea kemudian memutar tubuhnya begitu cemilan sudah berada di tangan. Namun dalam detik itu juga Elea terdiam dengan tatapan terpaku kepada Ben.

Pria tampan yang berdiri di hadapannya itu menatapnya dingin. Tetapi anehnya, jantung Elea berdegup kencang saat menatap pria itu.

"Kau sangat ceroboh, Nona." Ben mengatai Elea. Tanpa meminta maaf, Ben pun bergegas keluar dari minimarket, padahal belum sempat ia membeli cemilan dan minuman dingin.

"Ben?" gumam Elea dengan mata mulai berkaca-kaca. Pandangannya mengikuti kemana Ben berjalan. Sekian lama ia mencari, ia tak menyangka bertemu pria itu di tempat ini.

Tak ingin kehilangan, Elea pun bergegas menyusul Ben. Tak dihiraukannya Jane yang memanggil namanya berkali-kali. Belanjaan yang ada di tangannya malah ia berikan kepada Jane yang termangu melihat keanehannya.

Ben hendak membuka pintu mobil saat tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil namanya.

"Ben?"

Tangan Ben terhenti. Ditariknya kembali tangan itu yang sempat menarik tuas. Ia kemudian berbalik. Dan mendapati seorang wanita yang tengah menatapnya berkaca-kaca.

Ben bergegas keluar dari minimarket dikarenakan jantungnya yang mendadak berdebar-debar aneh saat menatap Elea. Ditambah lagi saat mendengar suara Elea, darahnya berdesir. Suara Elea terdengar mirip dengan suara yang terngiang-ngiang di kepalanya.

"Ben?" Elea memastikan bila penglihatannya tidak salah. Pria yang berdiri di hadapannya saat ini adalah pria yang membuatnya nekat datang ke kota ini seorang diri.

"Kau siapa?" tanya Ben memicing tajam.

"Kau tidak mengenalku?"

"Kenapa aku harus mengenalmu, sedangkan kau hanya orang asing."

Elea terkejut. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya mulai berjatuhan. "Ben, kau sungguh tidak mengenalku?"

"Sudahlah, kau membuang waktuku." Ben berbalik. Ditariknya tuas, pintu mobil telah terbuka. Ia hendak naik, namun kakinya terhenti di udara saat Elea memberitahu hal yang membuatnya terdiam.

"Aku istrimu, Ben!"

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!