Chap 5. Tidak Pantas
Memandangi langit-langit kamar, Elea begitu sulit memejamkan matanya. Bayangan Ben masih senantiasa mengusik pikirannya. Membuatnya resah dan gelisah. Terlebih saat pertemuan mereka sore tadi di minimarket. Mencuatkan tanya dan rasa penasaran Elea yang begitu tinggi tentang pria tersebut.
Berulangkali Elea meyakinkan dirinya bahwa yang bertemu dengannya beberapa saat lalu itu adalah Ben, suaminya. Tapi mengapa Ben malah tak mau mengakuinya. Bahkan Ben berpura-pura tidak mengenalinya.
Apakah sesuatu telah terjadi kepada Ben?
Elea masih ingat betul sewaktu ia pulang bekerja, ia tak mendapati Ben berada di rumah. Ben menghilang tiba-tiba. Ia tahu hal itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Sebab Ben bukan berasal dari kota tempat ia tinggal.
Elea hanya tahu bahwa Ben adalah pria yang baik, sederhana. Ben tidak pernah bercerita banyak tentang identitasnya, siapa dia sebenarnya. Ben hanya memberinya keyakinan bahwa Ben tulus mencintainya.
Selama tinggal bersamanya, Ben selalu memperlihatkan perilakunya yang baik. Hingga membuatnya jatuh hati, bahkan berani menerima disaat Ben melamarnya. Kendati pun ia kurang mengenal baik jati diri Ben yang sesungguhnya saat itu. Yang ia tahu, mereka saling mencintai.
"Kau belum tidur, El?" tanya Jane begitu melihat Elea tengah memandangi langit-langit kamar. Elea terlihat gelisah, seperti sedang mencemaskan sesuatu.
"Aku tidak bisa tidur, Jane. Kepalaku rasanya sakit."
"Kau sedang memikirkan apa?"
"Ben."
"Laki-laki misterius yang menikahimu dua tahun lalu itu? Untuk apa kau memikirkannya lagi, Elea. Bukankah laki-laki itu sudah pergi meninggalkanmu? Laki-laki seperti itu tidak pantas mendapatkan perhatian darimu, El." Jane mengomel, ikut merasakan sakit yang dirasakan Elea ketika Ben pergi meninggalkannya di London. Dan hanya meninggalkan secarik kertas yang berisikan pesan agar Elea tidak perlu mencarinya.
"Aku bertemu dengannya hari ini," ungkap Elea jujur. Dan entah yang bertemu dengannya itu Ben suaminya atau bukan.
"Apa? Di-di mana?" Spontan Jane bangun dari posisi berbaringnya, memandangi Elea dengan wajah terkejut.
"Di minimarket tadi."
"Oh ya? Lalu?"
Elea menghela napas sejenak, menghembuskannya perlahan kemudian. "Dia tidak mengenaliku, Jane," ucapnya dengan wajah sedih. Mengingat suami yang dicintainya mengabaikannya bahkan tak mau mengakuinya.
"Benarkah?"
Elea mengangguk lesu. "Dia bahkan tidak mau mengakui aku istrinya. Katanya dia sudah punya kekasih. Dan tidak lama lagi mereka akan bertunangan."
"Sudah kuduga. Laki-laki itu memang tidak pantas untukmu, Elea. Laki-laki brengsek seperti itu hanya pantas mendapatkan perempuan ******. " Jane mendesah kecewa mendengar penuturan sahabatnya.
Jane masih tak bisa mempercayai, sahabatnya itu malah mau-maunya menikahi lelaki yang tidak dikenalnya dengan baik hanya karena saling mencintai. Begitu mudahnya sahabatnya itu mempercayai orang asing. Bagaimana kalau lelaki itu adalah seorang te ro ris yang sedang menyamar? Atau seorang pembunuh bayaran? Jane hanya bisa turut prihatin dengan nasib sahabatnya itu.
"Lupakan saja laki-laki itu mulai sekarang. Kalau kau bertemu dengannya lagi, buat perhitungan. Kalau perlu, minta cerai darinya. Kau tidak pantas bersama laki-laki itu. Mengerti?" cecar Jane merasa kesal.
Elea hanya menghembuskan napasnya panjang, menatap lesu sahabatnya yang kembali berbaring dan memunggunginya.
Meminta cerai dari Ben?
Oh astaga! Bagaimana caranya?
Pernikahan mereka di sebuah gereja di London dua tahun lalu itu bahkan hanya disaksikan oleh seorang pendeta saja. Lalu bagaimana cara Elea meyakinkan Ben bila mereka adalah suami istri?
Apalagi untuk meminta cerai dari Ben? Ben saja tidak mau mengakuinya. Mungkin saja Ben akan mengatainya orang gila.
Tidak!
Di dalam hatinya, Elea masih mencintai Ben. Ia sungguh ingin tahu mengapa Ben berpura-pura tidak mengenalnya. Elea harus bisa meyakinkan Ben, bahwa mereka sudah menikah dua tahun lalu.
Harus!
...
Di lain tempat, di malam yang sama.
Membawa Ben ke sebuah kamar hotel menjadi pilihan Camila malam ini. Ben tak bisa lagi menahan gejolak gai rah dalam dirinya begitu menghabiskan minuman yang dipesan Camila untuknya.
Setelah meminum minuman itu, tubuh Ben bereaksi cepat, mendadak tubuhnya mulai kepanasan. Ada hasrat membuncah dalam dirinya yang ingin segera terlampiaskan. Hal itu dimanfaatkan oleh Camila untuk menaklukkan Ben. Membuat pria itu seutuhnya menjadi miliknya.
Malam ini akan menjadi malam yang sangat berkesan bagi Camila. Persetan dengan nama baik yang disandangnya saat ini. Yang terpenting baginya adalah memiliki dan menguasai Ben seutuhnya.
Camila mengerti akan gai rah yang kian bergejolak dalam diri Ben saat ini. Tanpa menunggu pergerakan dari Ben, Camila mengambil inisiatif lebih dulu. Jemari lentik Camila kini mulai bergerak nakal membuka tautan kancing kemeja Ben satu per satu.
Tatapan Ben kepadanya sepenuhnya telah diselimuti api gai rah yang siap membakar jiwanya. Kini jemari lentiknya mulai mengelana, menyapu lembut seluruh permukaan dada Ben. Membuat hasrat membuncah Ben kian bergejolak.
"Aku tahu apa yang kau rasakan saat ini, Ben." Sembari jemarinya mulai nakal, perlahan-lahan turun ke bawah, Camila tidak melepaskan tatapannya dari sepasang mata elang Ben.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ben ditengah gejolaknya. Akal sehat dan gejolak hasratnya saling bertentangan. Antara ingin menolak, namun sesuatu dalam dirinya sangat menuntut ingin terlampiaskan. Napasnya mulai memburu kala Camila mulai mendekatkan wajahnya. Dimatanya entah mengapa malam ini Camila terlihat begitu mempesona. Membuat detak jantungnya berpacu serta aliran darahnya berdesir.
"Milikilah aku malam ini, Ben. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Aku tidak akan menghalangimu. Karena aku sepenuhnya milikmu," bisik Camila merayu. Membuat sekujur tubuh Ben gemetaran. Lalu tanpa sengaja membangunkan sesuatu milik Ben yang sedari awal berdiam diri di bawah sana. Pesonanya mampu meruntuhkan pendirian Ben malam ini.
"Kau_" Kalimat Ben terhenti saat bibir manis Camila menyapu lembut permukaan bibirnya tiba-tiba. Membuat Ben tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti hasrat di jiwanya yang mulai menggebu.
Camila begitu pandai mengekspresikan dirinya. Wanita itu terlalu berani menunjukkan keagresifannya. Membuat Ben tak bisa berkutik. Dan hanya bisa menuruti permainan Camila. Membiarkan wanita itu mengeksplor rongga mulutnya dengan beringas.
Seiring ciuman yang kian memanas itu, perlahan tubuh keduanya pun beringsut mendekati tempat tidur. Sampai keduanya jatuh terbaring di tempat tidur itu, dengan posisi Ben mengungkung Camila di bawahnya.
Ben pun membalas setiap lum atan Camila dengan sama rakusnya. Dorongan hasrat yang kian menggebu dalam dirinya tak bisa lagi Ben membendungnya. Pengaruh minuman itu teramat besar dalam dirinya. Sehingga membuat akal sehatnya tergerus hingga ke dasarnya akibat gejolak gai rah yang kian membakar jiwanya.
Camila begitu lihai memainkan perannya dan memanfaatkan keadaan. Dalam sekejap mata, tubuh Camila pun kini tampak polos. Hanya tinggal menyisakan kain berenda yang membungkus dua asetnya saja. Serta si kain segitiga yang menutupi aset lainnya.
"Oh, Ben." Camila meracau dan melenguh kala Ben mulai beringas menciumi setiap inci bagian tubuhnya. Efek minuman yang telah ia beri obat perang sang itu sangat dahsyat, membuat Ben rakus memuaskan dahaga yang melandanya.
Ben betul-betul telah hilang kendali. Reaksi obat itu membuat tubuhnya tak bisa menolak. Perasaannya yang hambar untuk Camila terlupa dalam sekejap. Ia terus saja menggempur, membuat Camila kewalahan mengimbangi permainannya.
Namun meskipun begitu, Camila merasa senang. Ia merasa telah memenangkan segalanya. Camila tak peduli meski image nya sebagai putri perdana menteri tercoreng. Setidaknya hal itu terjadi hanya di mata Ben saja. Sedangkan di mata banyak orang, ia masih tetap putri perdana menteri yang disanjung dan dihormati.
Terlebih, Nyonya Roberta, ibunda Ben yang begitu terobsesi ingin berbesanan dengan orang ternama di negeri ini serta memiliki kekuasaan. Nyonya Roberta menjadi salah satu yang memberi dukungan penuh terhadap hubungannya dengan Ben.
"Ahhh ..." Erangan panjang keduanya pun terdengar kala nikmat berpacu telah mencapai puncaknya. Tubuh Ben ambruk menimpa Camila. Yang disambut Camila dengan senyum puas.
Namun sayangnya, senyum kepuasan Camila mendadak luntur. Sebab satu nama didesahkan Ben begitu pria itu turun dari atas tubuhnya dan berbaring disamping, memunggunginya. Pria itu mulai memejamkan matanya.
"Eleanor, aku merindukanmu."
Entah Ben sadar atau tidak, namun nama itu sukses menorehkan kekecewaan di hati Camila. Rupanya percuma usahanya selama ini. Memberi usul kepada Nyonya Roberta untuk menghapus ingatan Ben. Semata-mata untuk melenyapkan kenangan indah Ben bersama seorang wanita yang bernama Eleanor.
Camila menoleh, menatap punggung Ben dengan wajah kecewa. Kemudian perlahan ia memiringkan tubuhnya, menarik selimut menutupi tubuh polos mereka. Kemudian mengalungkan sebelah lengannya di pinggang Ben. Sembari ia berucap,
"Mulai saat ini kau milikku, Ben. Kau tidak akan pernah menyebut nama itu lagi mulai sekarang. Karena kau hanya milikku. Milikku!"
*
...Eleanor Wisse...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
taburan like 👍👍👍👍
2022-11-05
2
Fhatt Trah (fb : Fhatt Trah)
bisa sih kak☺️ tp alurnya bklan beda. soalnya kerangkanya dah terususun rapi
2022-11-04
0
ainatul hasanah
kenapa kejadian sih...? cukup kecewa Thor..... dibuat gagal kan bisa Thor....
2022-11-04
2