Chap 3. Aku Istrimu
"Ingatkan aku kembali tentang wanita itu!"
Julian terdiam mendengar permintaan Ben. Ia menimbang-nimbang sejenak, walaupun pada akhirnya ia tidak akan menuruti permintaan Ben. Sebab ia tahu resiko apa yang akan ia hadapi bila menuruti permintaan saudara sepupunya itu. Yaitu kemarahan Nyonya Roberta.
"Aku ingin wanita itu hadir kembali dalam memoriku. Aku ingin tahu siapa dia, dan apa hubungannya denganku," sambung Ben masih dengan mode mata terpejam. Menunggu Julian melakukan apa yang ia minta.
"Apa kau yakin?" Bukannya Julian meragukan Ben. Hanya saja Julian enggan melakukannya. Lantaran Nyonya Roberta kerap mewanti-wanti agar supaya menghapus keseluruhan memori Ben tentang wanita itu. Wanita yang dicintai Ben. Wanita yang sedikitpun tidak pantas menjadi pendamping Ben, menurut Nyonya Roberta. Sebab wanita itu berasal dari kalangan rendah.
"Lebih dari yakin."
"Emm ... Tapi Ben ..."
Ben sontak membuka matanya, lalu menoleh.
"Kau tidak mau melakukannya?" tanya Ben menelisik ekspresi wajah Julian. Yang terlihat gusar, seperti tengah mencemaskan sesuatu.
"Kau takut pada ibuku?" tebak Ben. 99 persen, tebakan Ben itu sudah benar. Sebab yang terlalu ngotot memintanya melakukan hipnoterapi adalah ibunya sendiri. Hanya untuk sebuah alasan yang tidak masuk akal. Namun tetap ia turuti. Karena ia pun merasa sedikit terganggu oleh mimpi buruk kecelakaan pesawat tersebut.
Julian menggeleng. "Tidak, bukan seperti itu."
"Lalu?"
"Kenapa tiba-tiba kau ingin mengingatnya kembali?"
Ben diam sejenak. Lalu perlahan satu tangannya ia bawa memegangi dadanya. "Di sini, rasanya sangat berbeda di sini bila bayangannya muncul."
"Maksudmu?"
"Hatiku berdebar-debar."
Giliran Julian yang terdiam. Percuma saja ia menghapus memori Ben tentang wanita itu dari kepalanya bila ia tak bisa menghapusnya dari hati Ben.
Bila sudah begini Julian harus melakukan apa? Haruskah ia turuti permintaan Ben untuk mengembalikan memorinya tentang wanita itu?
Lalu bila memori Ben kembali, lantas bagaimana dengan Camila? Kekasih yang akan bertunangan dengannya tidak lama lagi?
Kenangan memang bisa dilupakan. Namun perasaan yang pernah hadir mengisi relung hatinya, Ben masih bisa merasakannya.
Mungkin saja ada cerita yang tidak Julian ketahui tentang Ben dengan wanita itu. Sehingga, meskipun kenangan itu dipaksa terkubur, namun perasaannya masih tetap hidup di dalam sanubarinya.
Julian menghembuskan napasnya panjang. Otaknya bekerja keras bagaimana caranya mengelabui Ben. Agar Ben tidak dapat menemukan ingatannya tentang wanita itu.
"Kau mau melakukannya untukku?" tanya Ben memastikan. Sebab dilihatnya Julian kelihatan enggan. Atau mungkin hanya perasaannya saja.
"Baiklah. Kita coba pelan-pelan. Tapi jika kau tidak bisa menemukannya kembali dalam ingatanmu, maka sebaiknya kau berhenti. Lupakan saja dia. Aku akan melakukan yang terbaik yang aku bisa. Tapi aku tidak berjanji, akan mengembalikan seluruh ingatanmu tentangnya. Kau harus ingat, kau sudah memiliki Camila."
Ben menghembuskan napasnya resah.
Camila, mengapa pula Julian mengingatkannya tentang Camila. Wanita yang membuatnya gundah. Gundah ingin menjauh, tetapi langkahnya tersendat.
...
Elea telah selesai dengan pekerjaannya. Shift nya telah berakhir, begitu juga dengan Jane. Mereka tengah mengganti pakaian dengan pakaian biasa di ruang ganti. Tak lama, Elea telah selesai.
Sembari merapikan loker nya, Elea berkata, "Aku lapar, kau mau makan denganku?" tanyanya kemudian menutup dan mengunci loker. Lalu mengalungkan sling bag nya.
"Kita belum gajian. Dan aku sedang berhemat, Elea. Jadi, kau makan saja sendiri," sahut Jane sembari menghampiri.
"Tenang saja, aku yang traktir."
"Kau juga perlu berhemat, Elea. Tinggal di kota ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bukankah kau juga harus membayar sewa kamar?"
Elea menghembuskan napasnya pelan. Kemudian tersenyum. Apa yang dikatakan Jane ada benarnya. Ia datang ke kota ini hanya berbekal sedikit uang saja, yang hanya cukup untuk biaya makannya sehari-hari.
Beruntung ia memiliki Jane, sehingga untuk tinggal di kota ini ia menumpang di kamar sewa milik Jane. Untuk bulan depan ia harus menyewa kamar sendiri. Sebab pemilik tempat hanya mengijinkannya sebulan saja menumpang di kamarnya Jane. Itu pun dengan membayar setengah dari harga biasanya.
"Baiklah, Jane. Kalau begitu biar aku mentraktirmu minuman dingin saja. Bagaimana?" usulnya kemudian.
"Bolehlah. Ayo." Mereka kemudian keluar dari ruang ganti bersama-sama.
...
"Ben ... Ben ..."
"Aku mencintaimu, Ben."
"Apa kau bisa berjanji padaku?"
"Berjanjilah, Ben. Kalau kau takkan pernah pergi dariku. Jika kau pergi, aku akan mencarimu sampai ke ujung dunia sekalipun."
"Aku Eleanor, aku sangat mencintaimu Ben."
Ckiiiiiit!
Ben mengerem mendadak mobilnya di tengah jalan. Beruntung kendaraan sore itu sedang lengang. Sehingga tak terjadi kecelakaan beruntun yang bisa membahayakan nyawa.
Ben terlihat tegang, wajahnya pucat, lengkap dengan bulir-bulir keringat yang mulai mengembun di dahinya. Ben mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Ia lantas melepas dasi yang ia kenakan. Kemudian membuka dua kancing teratas kemejanya, yang membuat napasnya serasa sesak saja.
Suara seorang gadis terngiang-ngiang di telinga Ben sepulangnya ia dari tempat Julian. Suara itu seolah terdengar jelas, menggema memenuhi ruang di kepalanya. Ben memejamkan matanya, mencoba membayangkan kembali rupa gadis yang sering datang mengganggu pikirannya itu. Tetapi sayangnya, bayangan gadis itu terlihat samar.
"Siapa kau?" gumam Ben resah. Berusaha mengingat gadis itu.
Piiip Piiip Piiip
Suara klakson yang saling bersahutan di belakang mobil itu pun membuyarkan lamunan Ben yang mulai melambung. Ben tersentak, kemudian buru-buru menepikan mobilnya di depan sebuah mini market. Begitu Ben menepi, arus lalu lintas pun kembali lancar.
Ben menghembuskan napasnya panjang. Ia lalu menoleh, melihat ke luar jendela. Detik berikutnya, Ben turun dari mobil. Ia hendak membeli minuman dingin di minimarket tersebut. Selama berada di tempat Julian sampai detik ini, ia belum mengisi perutnya. Dengan sebotol minuman dingin dan sebungkus roti mungkin bisa mengganjal perutnya.
Sembari melangkahkan kakinya, Ben mengambil ponsel dari saku celana bahannya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Camila
[Aku berharap kau tidak melupakan janjimu bertemu denganku malam ini]
Ben masih berjalan dengan kepala menunduk, memandangi ponselnya. Sehingga ia kurang memperhatikan jalan. Sampai tiba-tiba ...
Bugh!
"Aw!"
Tanpa sengaja Ben menabrak punggung seorang wanita. Membuat wanita itu terdorong ke depan. Sehingga beberapa barang belanjaan wanita itu jatuh ke lantai.
Sontak Ben pun mengalihkan pandangannya. Dipandanginya punggung wanita itu yang tengah membungkuk, memunguti belanjaannya yang terjatuh.
"Dasar sial! Kenapa hari ini aku sangat sial. Tadi siang aku menabrak punggung seseorang. Dan sekarang malah punggungku yang ditabrak." Terdengar wanita itu menggerutu sambil memungut belanjaannya.
Suara wanita itu membuat Ben mengerutkan dahi. Sebuah suara yang seolah tak asing lagi di telinganya. Dipandanginya terus wanita itu sampai wanita itu berdiri.
Pandangan lekat Ben terus tertuju kepada wanita itu. Bahkan sampai wanita itu memutar tubuh menghadap ke arahnya.
Wanita itu terdiam menatap Ben lekat.
...
Tengah asik memilih cemilan, Elea dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba menabrak punggungnya kuat. Sehingga beberapa cemilan yang sudah berada di tangannya itu jatuh berserakan di lantai.
"Dasar sial! Kenapa hari ini aku sangat sial. Tadi siang aku menabrak punggung seseorang. Dan sekarang malah punggungku yang ditabrak." Sambil membungkuk memunguti cemilan itu Elea menggerutu.
Elea kemudian memutar tubuhnya begitu cemilan sudah berada di tangan. Namun dalam detik itu juga Elea terdiam dengan tatapan terpaku kepada Ben.
Pria tampan yang berdiri di hadapannya itu menatapnya dingin. Tetapi anehnya, jantung Elea berdegup kencang saat menatap pria itu.
"Kau sangat ceroboh, Nona." Ben mengatai Elea. Tanpa meminta maaf, Ben pun bergegas keluar dari minimarket, padahal belum sempat ia membeli cemilan dan minuman dingin.
"Ben?" gumam Elea dengan mata mulai berkaca-kaca. Pandangannya mengikuti kemana Ben berjalan. Sekian lama ia mencari, ia tak menyangka bertemu pria itu di tempat ini.
Tak ingin kehilangan, Elea pun bergegas menyusul Ben. Tak dihiraukannya Jane yang memanggil namanya berkali-kali. Belanjaan yang ada di tangannya malah ia berikan kepada Jane yang termangu melihat keanehannya.
Ben hendak membuka pintu mobil saat tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil namanya.
"Ben?"
Tangan Ben terhenti. Ditariknya kembali tangan itu yang sempat menarik tuas. Ia kemudian berbalik. Dan mendapati seorang wanita yang tengah menatapnya berkaca-kaca.
Ben bergegas keluar dari minimarket dikarenakan jantungnya yang mendadak berdebar-debar aneh saat menatap Elea. Ditambah lagi saat mendengar suara Elea, darahnya berdesir. Suara Elea terdengar mirip dengan suara yang terngiang-ngiang di kepalanya.
"Ben?" Elea memastikan bila penglihatannya tidak salah. Pria yang berdiri di hadapannya saat ini adalah pria yang membuatnya nekat datang ke kota ini seorang diri.
"Kau siapa?" tanya Ben memicing tajam.
"Kau tidak mengenalku?"
"Kenapa aku harus mengenalmu, sedangkan kau hanya orang asing."
Elea terkejut. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya mulai berjatuhan. "Ben, kau sungguh tidak mengenalku?"
"Sudahlah, kau membuang waktuku." Ben berbalik. Ditariknya tuas, pintu mobil telah terbuka. Ia hendak naik, namun kakinya terhenti di udara saat Elea memberitahu hal yang membuatnya terdiam.
"Aku istrimu, Ben!"
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Wanda Harahap
ceritanya bagus
kenapa baru ketemu😘😘
2023-05-18
1