Chap 11. Masalah Jane
"Siapa itu Eleanor?"
Julian termangu sendiri mendengar pertanyaan Ben, yang entah bagaimana ia harus menjawabnya. Sebab sedari awal, sejak dua tahun lalu saat Ben kembali dari London dengan dijemput paksa oleh keluarganya, sejak saat itulah Nyonya Roberta memintanya menghapus ingatan Ben tentang seorang wanita yang bernama Eleanor.
"Kenapa kau hanya diam saja? Ayo, cepat lakukan. Aku tidak punya banyak waktu. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan," desak Ben tak sabaran.
"Em ... Ben. Sejujurnya aku tidak bisa berbuat banyak untukmu. Pertama, kau sudah memiliki calon tunangan. Tidak sepantasnya aku membantumu dalam hal yang bisa merusak hubunganmu dengan calon tunanganmu. Dan yang kedua, kau tidak mengenal Eleanor."
"Benarkah aku tidak mengenalnya?"
"Ya."
"Lalu kenapa nama itu tiba-tiba saja muncul dalam ingatanku?"
"Kau mungkin tanpa sengaja mendengar nama itu lalu tersimpan di alam bawah sadarmu."
"Oh ya?" Ben mengangkat alis tak percaya. Dan Julian mengangguk pelan.
Ben tersenyum tipis. Dari raut wajah Julian yang terlihat, ia merasa Julian sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Kemarin ia meminta kepada Julian untuk mengembalikan memori masa lalunya malah tak membuahkan hasil yang memuaskan. Mungkin saja Julian tidak maksimal melakukannya.
Dan kali ini, Ben sungguh ingin memori masa lalunya kembali.
"Hari ini aku bertemu dengan seorang wanita yang bernama Eleanor. Kau tahu apa yang dia katakan padaku?"
Julian menggeleng, lalu membetulkan letak kacamatanya.
"Katanya aku sudah menikahinya dua tahun lalu."
Julian terdiam. Ucapan Nyonya Roberta pun terngiang seketika di telinganya.
"Jangan sampai Ben mengingat kembali perempuan kampungan itu. Lakukan tugasmu dengan baik jika kau tidak ingin aku meminta kembali apa yang sudah aku berikan padamu."
Seperti itulah ucapan setengah mengancam Nyonya Roberta kepada Julian, keponakannya sendiri. Sehingga membuat Julian kembali berpikir panjang untuk membantu Ben. Sebab bila memori Ben telah kembali, otomatis bukan hanya pertunangan saja, bahkan pernikahan Ben dengan Camila bisa dipastikan gagal total.
"Lalu kau percaya?" tanya Julian kemudian dengan hati cemas. Tamatlah riwayatnya bila Ben mengingat kembali semuanya. Obsesi Nyonya Roberta untuk berbesanan dengan perdana menteri pun pupus sudah.
"Tentu saja tidak. Mana mungkin aku mempercayainya begitu saja tanpa bukti."
Huft!
Julian pun bernapas lega. Posisinya masih dalam keadaan aman saat ini. Dan semoga saja Nyonya Roberta hanya bermain-main dengan ancamannya.
"Lakukan sekarang juga," titah Ben menatap Julian dengan serius.
"Kau yakin bisa mengingat semuanya kembali?" Julian mencoba mengulur-ulur waktu.
"Kenapa tidak? Kan ada kau yang akan membantuku?"
"Em ... Ben, aku sarankan lebih baik kau jangan memaksakan dirimu. Karena akibatnya bisa fatal. Kau mungkin bisa kehilangan keseluruhan memorimu." Julian bahkan mencoba menakut-nakuti Ben.
Ben malah tersenyum mendengarnya. "Ayolah, lalu untuk apa aku punya saudara sepertimu. Seorang hipnoterapi handal. Aku tidak mencemaskan apa pun selagi masih ada kau. Ayo, lakukan sekarang."
Julian menghela napasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun bangun dari duduknya, menghampiri meja kerjanya, mengambil swinging watch dari dalam laci meja. Lantas ia kembali mengambil duduk di samping Ben.
"Baiklah, kita mulai sekarang. Tapi aku ingatkan sekali lagi, jangan terlalu memaksakan diri," ucap Julian.
Julian pun mulai melakukan tugasnya, meminta Ben mengikuti instruksinya. Memandangi swinging watch yang bergerak teratur ke kiri dan ke kanan itu membuat Ben perlahan mulai tertidur. Julian mulai memberikan instruksi melalui alam bawah sadar Ben, menuntun Ben menemukan memori masa lalunya.
...
Benedict Star Hotel.
Elea memicing, memasang telinga dengan baik, mencoba menguping pembicaraan Jane via telepon dengan seseorang. Elea berpura-pura menyibukkan diri mengelap meja, perabot yang ada di kamar hotel itu.
"Tolong beri aku sedikit waktu lagi. Aku janji akan segera aku lunasi begitu aku mendapatkan uang." Begitulah kalimat yang terlontar dari mulut Jane, yang sampai ke telinga Elea.
"Aku janji Tuan, aku akan segera melunasinya. Aku mohon beri aku waktu lagi." Jane terdengar memelas, memohon-mohon pada si penelepon. Yang entah memiliki hubungan apa dengan Jane.
Jane terlihat cemas begitu menutup telepon. Bahkan tampak seperti ketakutan. Elea memperhatikannya teliti, mulai dari raut wajahnya, rona wajahnya yang memucat, bahkan tangan Jane terlihat gemetaran.
"Jane?" Merasa penasaran, Elea pun akhirnya menghampiri.
Jane tersentak, refleks ia merubah raut wajahnya cepat agar tidak mengundang kecurigaan Elea.
"Kau sudah selesai El?" Jane salah tingkah. Bergegas ia beranjak, hendak menjauhi Elea yang tengah menatapnya curiga.
"Sudah aku selesaikan semuanya Jane. Tidak ada lagi yang harus kau kerjakan," ucap Jane demi mencegah Jane menghindarinya.
"Seprai yang kau pasang ini sepertinya kurang rapi. Akan aku perbaiki sekarang." Buru-buru Jane mengantongi ponselnya lalu mulai merapikan seprai yang memang sudah dalam keadaan rapi.
Tingkah Jane tersebut sangat kentara di mata Elea bila sahabatnya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Tak ingin bertahan dengan rasa penasarannya, Elea kembali menghampiri Jane yang masih bertingkah aneh.
"Jane?" Elea menyentuh pundak Jane lembut.
"Tolong jangan menyembunyikan apa pun dariku," sambung Elea. Yang membuat Jane menghentikan pekerjaannya, lalu memutar tubuhnya menghadap Elea.
"Katakan padaku apa yang terjadi, Jane," pinta Elea sekali lagi.
Jane terlihat gusar, menghela napasnya resah sebelum akhirnya menyahuti ucapan Elea.
"Tidak ada apa-apa, El. Aku tidak apa-apa."
"Jane, kau adalah sahabatku. Di kota ini kita tidak punya siapa-siapa. Tolong jangan menyembunyikan apa pun dariku. Sebagai sahabatmu aku akan selalu membantu jika kau berada dalam masalah. Kau sudah banyak membantuku, Jane. Kali ini tolong biarkan aku membantumu."
"Aku sungguh tidak apa-apa Elea. Jangan mencemaskan aku. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Aku hanya tidak mau merepotkanmu."
"Jane, tolong. Biarkan aku membantumu."
Jane menghela napasnya sejenak. Kemudian kembali berkata, "Aku punya hutang yang banyak. Dan aku harus segera melunasinya. Jika tidak ..." Jane menjeda kalimatnya sejenak, membuat Elea semakin ingin tahu dengan permasalahan yang menimpa sahabatnya itu.
"Jika tidak?" Elea menuntut Jane menyelesaikan kalimatnya dengan tatapan serius.
"Jika tidak nyawaku dalam bahaya."
Elea terperanjat. Ia mengira selama berada di Paris sahabatnya itu tidak menemui masalah selama ini. Namun nyatanya masalah besar justru tengah dihadapinya.
"Aku meminjam uang dari rentenir. Sampai detik ini aku masih belum bisa melunasinya. Bunganya terlalu tinggi, dan aku benar-benar tidak sanggup membayarnya," ucap Jane pelan dengan wajah sedih.
"Memangnya berapa banyak uang yang kau pinjam dari rentenir itu?"
"Dua puluh lima ribu Euro."
"Apa?" Sekali lagi Jane terperanjat kaget mendengarnya. Ia tahu, Jane berasal dari keluarga berkekurangan seperti dirinya. Yang tentu saja membutuhkan banyak biaya hidup. Apalagi di London, ayah Jane dalam keadaan sakit keras. Wajar jika Jane membutuhkan banyak uang. Terlebih lagi dalam keluarganya, Jane adalah satu-satunya tulang punggung keluarganya.
"Kau tenanglah, aku akan membantumu mendapatkan uang itu. Dan kau akan segera melunasi hutangmu. Jangan takut." Elea menepuk pelan pundak Jane. Mencoba memberinya ketenangan.
"Memangnya dari mana kau bisa mendapatkan uang sebanyak itu El?"
"Akan aku pikirkan bagaimana caranya. Kau tidak perlu cemas."
"Jangan Elea. Aku tidak membutuhkan bantuanmu. Biar aku saja yang mencari cara bagaimana mendapatkan uangnya."
"Jane, percayalah padaku. Aku ini sahabatmu, biarkan aku membantumu. Hm?"
"Tapi dari mana kau bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Di kota ini kita tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa yang bisa membantu kita. Tolonglah El, jangan menyusahkan dirimu."
"Tidak, Jane. Aku akan tetap membantumu. Bagaimana caranya, biar itu menjadi urusanku. Aku hanya tidak mau terjadi apa-apa padamu."
Jane pun tidak bisa membantah sahabatnya itu. Jane hanya bisa diam namun hati diliputi kecemasan.
Sementara Elea, terus memutar otak, memikirkan bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang itu. Dan yang terlintas di benaknya saat ini hanyalah Ben.
Elea teringat beberapa jam lalu Ben mengira ia berniat menipu Ben dengan mengaku-ngaku sebagai istrinya hanya demi uang. Mungkin Ben lah satu-satunya orang yang bisa membantunya.
Sementara di sisi lain kota Paris.
Ben terbangun, membuka matanya refleks oleh karena suara-suara menggema yang mengganggunya. Suara seorang wanita yang memanggil-manggil namanya.
"Eleanor?" Anehnya nama itu yang terucap dari bibir Ben begitu membuka matanya. Membuat Julian terpaku dan mengakhiri instruksinya dalam mempengaruhi alam bawah sadar Ben.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Esther Nelwan
luar biasa ni novel...
2023-01-07
2
Khafida II
keren bgt karyanya
2022-11-12
1
ainatul hasanah
sudah ingatkah?!!
2022-11-11
1