Chap 17. Pekerjaan Baru
"Eleanor? Nama yang cantik. Kenalkan, aku Julian." Sembari tersenyum, Julian mengulurkan tangannya. Yang langsung disambut baik Elea sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Sekali lagi Julian tertegun menatap senyum manis Elea, yang membuat paras Elea tampak cantik jelita. Rambut hitam panjang, bola mata berwarna abu-abu dengan bulu mata lentik, hidung lancip, serta kulit seputih susu. Sungguh sempurna kecantikan Elea di mata seorang Julian.
"Sekaki lagi aku minta maaf sudah menginjak kakimu, Tuan," ucap Elea malu-malu.
"Julian. Panggil saja Julian."
"Ya, Julian. Maaf. Tapi jika seandainya kakimu ada yang luka, kau tidak usah sungkan memberitahukannya padaku. Aku akan membayar ganti rugi. Bila perlu aku akan menemanimu ke dokter. Aku ..." Mendadak wajah Elea berubah suram. Membuat Julian mengernyit, meneliti raut wajah Elea.
"Maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa membawamu ke dokter karena aku tidak punya biaya. Aku baru saja dipecat. Sekali lagi, maaf." Elea tersenyum miris mengingat nasibnya yang buruk.
Sedangkan Julian justru tersenyum manis dengan sorot mata berbinar menatap Elea yang kini tengah memasang wajah murung.
"Tidak apa-apa. Lagipula kakiku baik-baik saja. Tidak ada yang luka. Kau cukup berat juga untuk ukuran sepertimu." Julian tertawa kecil mencandai Elea.
Melihat Julian yang malah tertawa membuat Elea sedikit bisa lega. Setidaknya ia tidak akan dituntut ganti rugi atas kecerobohannya itu.
"Maaf. Kenapa aku malah mencurahkan isi hatiku padamu? Maafkan aku ya?"
"Ha ha ha ... Kau sangat lucu. Kau menyenangkan." Julian sudah terpesona pada pandangan pertama. Wajahnya berseri-seri dan tatapannya tak pernah lepas dari wajah Elea. Bahkan senyumnya pun tak pernah surut. Dimatanya Elea adalah wanita yang mempesona.
"Sudah berapa kali kau meminta maaf? Tanpa kau mengucapkannya pun aku sudah memaafkanmu, Eleanor. Kau wanita yang menyenangkan. Oh ya, katamu tadi kau baru saja dipecat?" sambung Julian bertanya.
Elea pun salah tingkah. Sembari menggaruk tengkuknya, mengulas senyum kikuk, ia mengangguk.
"Iya. Aku baru saja dipecat. Padahal aku baru beberapa jam saja bekerja di tempat itu. Semua ini gara-gara si ..." Kalimat Elea terhenti. Ia teringat Ben yang tetiba bersikap aneh terhadapnya. Yang mendadak emosional melihatnya dalam tampilan mencolok tak ubahnya seorang wanita malam.
Elea merasa aneh dengan perubahan sikap Ben yang mendadak tersebut. Ben bersikap seolah-olah ia memiliki hak terhadap dirinya. Apakah ini pertanda bahwa ...
"Tidak mungkin. Aku harus memastikannya sendiri." Elea membatin. Hati kecilnya tak henti berbisik, bila Ben atasannya itu adalah Ben suaminya. Maka dari itu ia hanya perlu membuktikannya. Dengan cara yang bagaimana, maka biarlah semua mengalir begitu saja.
"Eleanor?" panggil Julian memperhatikan Elea yang mendadak diam melamun.
"Eh, i-iya? Maaf, aku tiba-tiba teringat sesuatu."
"Oh ya. Kau bilang kau baru saja dipecat. Aku ingin menawarkan sesuatu padamu. Tapi aku ragu mungkin kau tidak akan menyukainya."
"Apa itu kalau boleh aku tahu?"
"Apakah kau membutuhkan pekerjaan?"
"Ya. Aku sangat membutuhkan pekerjaan."
"Sebenarnya di tempatku ada lowongan pekerjaan. Kalau kau tidka keberatan, kau bisa bekerja di sana. Tapi pekerjaannya mungkin tidak akan sesuai denganmu." Julian terlihat ragu sembari menyapukan pandangan dari kaki sampai kepala Elea.
"Pekerjaan apa pun itu akan aku lakukan, Tuan. Asalkan aku bisa bekerja, akan aku lakukan apa pun itu pekerjaannya." Elea langsung sumringah, menatap Julian berbinar-binar.
"Pekerjaannya sebenarnya cukup mudah. Hanya bersih-bersih saja ..."
"Cleaning Service maksud Anda, Tuan?" sela Elea cepat saking senangnya.
"Ya. Bisa dibilang begitu. Apa kau bisa?"
"Bisa, bisa. Aku sangat bisa kalau hanya untuk pekerjaan itu. Tapi aku hanya waktu sore sampai malam hari."
"Ya sudah. Kalau begitu besok kau sudah bisa bekerja di tempatku. Kau bebas, terserah pukul berapa pun kau datang. Tidak ada patokan waktu kau harus bekerja dari pukul berapa sampai pukul berapa. Terserah sesuai waktumu saja."
Elea tercengang mendengarnya. Kali ini ia sungguh beruntung bertemu dengan orang seperti Julian. Yang mau menawarinya pekerjaan tanpa memberatkannya dari segi waktu. Semoga saja secepatnya ia bisa mengumpulkan uang untuk membantu melunasi hutang Jane.
"Benarkah, Tuan?" tanya Elea tak percaya.
Julian mengangguk sembari mengulum senyum.
"Ya. Tentu saja."
"Waaah ... Terimakasih banyak, Tuan. Kau sungguh sangat baik." Saking girangnya, Elea meraih tangan Julian. Menggenggamnya sebagai bentuk rasa terimakasihnya.
Dan hal tersebut malah membuat Julian semakin terpesona melihat Elea dalam ekspresi bahagianya.
Sementara di luar minimarket tersebut, seseorang senantiasa mengawasi Elea dari balok jendela mobil yang terparkir di seberang jalan yang tak jauh dari minimarket tersebut.
Di dalam mobil berwarna hitam itu, Ben tak pernah melepas pandangannya dari pintu minimarket. Menunggu-nunggu Elea keluar dari sana.
Tak berapa lama, Elea pun terlihat keluar dari pintu minimarket tersebut sambil tersenyum-senyum bahagia. Dan Elea tidak terlihat sendiri. Elea sedang berbincang bersama Julian. Dari gambaran yang terlihat, mereka tampak akrab satu sama lain.
Di dalam mobilnya, Ben geram sendiri melihat pemandangan tersebut. Ben seolah tak suka melihat keakraban Elea dengan pria lain. Meski pun itu adalah Julian, saudara sepupunya sendiri.
...
Pulang dari minimarket, begitu turun dari minimarket Elea langsung masuk ke dalam kamar kontrakan Jane. Namun Elea langsung dikejutkan oleh pemandangan kamar yang berantakan.
Dan di satu sudut kamar itu Jane tengah meringkuk, memeluk lutut dengan rambutnya yang acak-acakan. Jantung Elea pun berdetak lebih cepat, terkejut setengah mati mendapati sahabatnya itu babak belur begitu ia menghampiri.
Tak hanya babak belur, hidung dan bibir Jane bahkan berdarah.
"Jane, apa yang terjadi padamu?" tanya Elea panik.
Jane tidak menjawab pertanyaan Elea. Dengan mata yang sembab, wajah yang dipenuhi lebam, Jane menoleh menatap Elea sayu.
"Katakan padaku, Jane. Apa yang terjadi padamu? Siapa yang tega melakukan ini padamu Jane? Katakan padaku."
Bukannya menjawab Jane justru menangis sesenggukan. Elea pun segera meraih Jane ke dalam dekapannya.
"Kau harus melaporkan ini pada polisi Jane. Bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu?"
Namun Jane masih saja diam tak berkata-kata. Jane hanya tak mau membebani Elea dengan masalahnya.
"Tolong katakan padaku siapa yang melakukan ini padamu, Jane? Ayolah, aku tidak ingin sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi padamu. Bukankah aku sudah berjanji akan membantumu?"
Jane menggeleng. "Tidak El. Aku tidak ingin menambah masalahmu. Aku juga tidak ingin kau ikut terkena imbasnya."
"Tapi lihatlah dirimu, Jane. Kau babak belur, kau terluka. Bagimana aku bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini? Katakanlah padaku siapa yang melakukan ini padamu? Biar kulaporkan di ke polisi."
Jane kembali menggeleng. "Tidak. Jangan, Elea. Kau tidak perlu melaporkannya ke polisi. Yang melakukan ini padaku adalah orang-orang suruhan rentenir itu. Mereka datang menagih hutangnya. Besok hutangku sudah harus lunas. Jika tidak, nyawaku yang akan jadi taruhannya."
"Astaga. Kenapa bisa begitu? Kenapa kau tidak menghubungiku saat rentenir itu datang?"
"Aku tidak ingin kau terlibat masalah, El."
"Kau tenanglah. Biar aku pikirkan jalan keluarnya. Kau jangan takut." Elea semakin mempererat dekapannya demi memberikan ketenangan kepada sahabatnya. Sembari ia berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan uang dalam jumlah besar.
...
Tak puas mengawasi Elea, Ben rupanya mengikuti Elea diam-diam sampai ke tempat kontrakannya. Di seberang jalan, di bawah pohon yang rindang, Ben menepikan mobilnya. Dari balik jendela mobil itu, Ben mengawasi tempat kontrakan Elea dan Jane.
Ben pun lantas mengambil ponselnya dan mulai menghubungi seseorang.
"Halo, Mark? Bagaimana? Kau sudah menyelidikinya?" tanya Ben.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments