Chap 8. Tidur Denganku
Bertemu wanita aneh yang mengaku-ngaku sebagai istrinya seperti ini, tentu saja Ben tidak mempercayainya dengan mudah. Meskipun ia kehilangan sebagian memori masa lalunya, ia tetap tidak boleh mempercayai begitu saja apa pun yang dikatakan orang kepadanya. Termasuk ucapan Elea yang mengaku-ngaku sebagai istrinya.
Lagipula, sejak kapan ia menikah?
Bahkan pertunangannya dengan Camila saja masih belum terlaksana.
"Bukti?" Elea mengulang kata itu.
"Bagaimana aku bisa mempercayai omonganmu jika tanpa bukti?" Kalimat yang dilontarkan Ben terkesan menuntut.
Dan tentu saja Elea tahu betul bila omongannya itu tidak akan mudah dipercayai Ben tanpa adanya bukti. Bukti bila mereka telah menikah.
"Kau tidak bisa membuktikannya padaku?" tuntut Ben menajamkan tatapannya. Ben meyakini, bila Elea hanyalah wanita aneh yang mungkin berniat menipu dan hendak mengambil keuntungan darinya.
"Kau mau menipuku, Nona? Kau_"
"Aku punya buktinya." Cepat Elea menyela kalimat Ben. Sebelum Ben mengatainya seorang penipu.
Ben diam sejenak sambil terus menatap Elea. Entah mengapa sepasang matanya serasa enggan berpaling, ingin rasanya terus menatap wajah Elea sedekat ini.
"Ini buktinya." Elea mengangkat jemari kanannya. Menunjukkannya di depan Ben, dimana jari manisnya tersemat sebuah cincin. Bukan cincin bermata berlian, hanya sebuah cincin polos, terkesan biasa-biasa saja. Dan bahkan hanya sebuah cincin murah mungkin.
Ben menggulirkan tatapannya pada cincin yang melingkar di jari manis Elea. Senyuman sinisnya pun terukir tiba-tiba. Sebuah senyum yang meremehkan.
"Kau menjadikan cincin murahan ini sebagai buktinya?" cibir Ben menunjuk cincin tersebut dengan tatapan sinis dan meremehkan.
"Cincin seperti itu banyak dijual di pasaran. Kau mau coba-coba menipuku, Nona? Apa yang kau inginkan dariku? Uang?" sambung Ben semakin meremehkan Elea.
Sakit hati Elea mendengar ucapan tajam Ben, yang semakin melukai perasaannya. Tak hanya melukai perasaan, ucapan tajam Ben itu bahkan hendak menjatuhkan harga dirinya.
Lama tak bertemu mengapa Ben berubah se-drastis ini? Apa sebenarnya yang terjadi dengan Ben?
"Cincin ini bukan sekedar cincin biasa. Tapi cincin ini adalah cincin pernikahan kita." Elea berusaha membela.
"Cincin pernikahan kita?" Ben meninggikan kedua alisnya. Raut wajahnya kemudian tampak seperti sedang menahan tawa.
"Iya. Ini cincin pernikahan kita. Cincin ini memang terlihat biasa-biasa saja. Tapi bagiku cincin ini sangat berarti. Cincin yang membuatku selalu merasa dekat dengan Ben."
"Ben? Maksudmu aku?" Ben menunjuk dirinya sendiri, masih dengan ekspresi tak percaya juga sok-sok terkejut.
"Apakah di dunia ini ada dua Ben dengan kemiripan yang hampir seratus persen?" Elea malah seakan menantang Ben. Bila apa yang diutarakannya itu masuk akal. Meskipun kedengarannya sangat konyol bagi Ben.
"Hampir seratus persen kan? Bukan seratus persen. Jadi ada kemungkinan ada orang lain yang mirip denganku. Dan itu artinya aku ini bukan Ben suamimu," tegas Ben dengan memberi intonasi penekanan pada kalimat terakhirnya.
Elea menghela napasnya panjang, menghembuskannya perlahan kemudian. Elea lalu melepas cincin yang tersemat di jari manisnya itu dan menunjukkannya pada Ben. Yang membuat Ben mengerutkan dahinya bingung.
"Di cincin ini terukir namamu. Lihat." Elea lebih mendekatkan cincin itu kepada Ben. Menunjukkan di bagian dalam cincin itu memang terukir nama Ben.
Menajamkan penglihatan, Ben memperhatikannya dengan seksama. Dan wanita yang dianggapnya aneh itu ternyata tidak berbohong. Ada nama 'Ben' terukir di cincin itu. Tetapi, apakah mungkin bila itu namanya? Jika memang benar, lalu kapan ia telah menikahi wanita aneh itu?
"Dan kau juga memiliki cincin yang sama. Kita sudah menikah dua tahun yang lalu," terang Elea.
Ben menelan salivanya payah, lalu mengusap wajahnya gusar. Entah mengapa belakangan ini harinya selalu buruk. Bahkan seringnya ia merasa bernasib sial.
Baru saja ia merutuki kebodohannya karena telah tanpa sadar meniduri Camila. Dan kini ia malah dihadapkan dengan seorang wanita aneh, yang mengaku-ngaku istrinya. Bahkan wanita aneh itu adalah pegawainya.
Dan apa yang dikatakan wanita aneh itu barusan? Ia memiliki cincin yang sama?
Ben terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba saja hal ini menjadi lucu baginya. Entah dari mana pula datangnya wanita gila ini.
"Cincin murahan seperti itu aku aku tidak punya. Dan lihat ..." Ben mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan kepada Elea bila di kedua jemari tangannya tidak tersemat cincin satu pun.
Elea memperhatikan jari-jemari Ben yang tampak polos dengan dahi mengerut. Bagaimana bisa Ben tidak mengenakan cincin pernikahan mereka? Apakah Ben sengaja melepasnya? Ataukah pria itu memang bukan Ben, suaminya?
"Kau lihat, aku tidak mengenakan cincin murahan seperti itu. Jadi kau, sebaiknya jangan mencari masalah denganku. Kau tentu tahu siapa aku bukan?Kalau kau masih saja menggangguku dan mengaku-ngaku sebagai istriku, maka aku bisa memecatmu secara tidak hormat dan tanpa pesangon kapanpun aku mau. Kau dengar?" sambung Ben mengancam sambil menatap tajam Elea.
Dan dalam sekejap bulir-bulir air mata pun berjatuhan dari pelupuk mata Elea. Jika buka suaminya yang berdiri di hadapannya saat ini? Lalu di manakah dia?
Elea pun menundukkan wajahnya, menghapus air matanya. Perasaannya terluka mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan Ben.
Elea menghela napasnya sejenak, sebelum ia berkata, "Maafkan aku yang sudah mengganggumu, Tuan. Kau benar, aku mungkin salah orang. Kau bukan suamiku. Maafkan aku." Elea membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf sekaligus sebagai rasa hormat. Kemudian Elea berbalik, hendak meninggalkan ruangan Ben tanpa diperintahkan terlebih dahulu.
Namun dalam hati Elea masih belum bisa menerimanya begitu saja. Pasalnya, ia masih belum membuktikan bila Ben atasan mereka itu adalah Ben, suaminya. Ia hanya perlu satu bukti saja untuk membenarkan kecurigaannya. Yaitu, bekas luka yang dimiliki Ben. Yang santer katanya berada pada wajahnya. Tetapi nyatanya, wajah Ben dalam keadaan baik-baik saja.
Rasa penasaran Elea pun beralih kepada gaya berpakaian Ben. Yang selalu menutupi bagian lehernya dengan turtleneck yang dikenakannya. Mungkinkah Ben sedang menyembunyikan sesuatu dibalik kerah tinggi pakaiannya?
Elea hendak memutar handle pintu saat tiba-tiba terdengar seruan Ben, yang menghentikan gerakan tangannya seketika.
"Bukankah kau mengaku-ngaku sebagai istriku? Hal apa yang membuatmu yakin kalau aku ini adalah suamimu."
Elea terdiam mendengarnya. Sembari menghela napasnya panjang, Elea pun akhirnya memutar tubuhnya berhadapan kembali dengan Ben yang memandanginya lurus namun penuh makna.
Tetapi sayangnya, Elea tak bisa memahami makna dari tatapan Ben kali ini.
"Wajahmu, suaramu, senyumanmu, tawamu, semua yang ada padamu sangat mirip dengan suamiku. Kalian bahkan memiliki nama yang sama," sahut Elea tetap berdiri di tempatnya.
Dan malah Ben yang datang menghampiri Elea. Entah mengapa, tiba-tiba saja perasaan Ben seakan tak ingin Elea meninggalkan ruangannya. Dorongan aneh dari hatinya tak bisa ia abaikan. Sehingga dengan cepat ia menghentikan Elea, sebelum wanita itu benar-benar meninggalkan ruangannya.
Langkah Ben terhenti tepat di hadapan Elea, dalam jarak yang cukup dekat. Jarak yang cukup membuat jantung Ben berdebar tak karuan.
"Nama lengkap suamimu, kau tahu?" tanya Ben menatap Elea lekat. Pancaran sinar mata Elea seakan mengandung medan magnet, yang selalu menarik mata Ben untuk menatapnya.
Elea menggeleng pelan. "Aku tidak tahu."
"Bagaimana bisa kau mengira aku ini suamimu, bahkan nama lengkap suamimu saja kau tidak tahu. Ck, sayang sekali."
Elea menundukkan wajahnya, menghindari tatapan Ben yang semakin lama semakin dalam menikam jantungnya.
"Maafkan aku, Tuan," ucap Elea parau.
"Eleanor. Itukah namamu?"
Elea mengangguk pelan, masih dalam mode menunduk.
"Benar, Tuan."
"Dari mana asalmu?"
"London, Tuan."
"London?" Seiring debaran jantungnya, ingatan Ben pun seketika menerawang jauh. London termasuk salah satu kota yang jarang lagi dikunjunginya belakangan ini. Nyonya Roberta, ibunya, melarang bila ia ingin ke London untuk meninjau kinerja manajemen hotelnya di sana. Untuk alasannya, ia sering bertanya-tanya. Namun Nyonya Roberta enggan memberitahunya.
"Eleanor ..." Ben menjeda ucapannya sejenak. Diperhatikannya Elea dengan tatapan menelisik dari ujung kaki sampai ke ujung kepala Elea.
"Seandainya benar bila aku ini adalah suamimu, maukah kau tidur denganku?"
Sontak Elea pun mengangkat wajahnya terkejut.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
ainatul hasanah
apa ini maksudnya?!! dasar Ben....
2022-11-07
2