Chap 20. Temani Aku
"Di bagian mana?" Sembari Elea memeriksa tubuh Ben.
"Hatiku."
Seketika Elea pun terdiam. Ia terpaku dengan hati berdebar menatap mata Ben. Yang menatapnya berbeda kali ini, tidak seperti sebelum-sebelumya.
Dari cara Ben menatapnya kali ini, Elea merasa seperti menemukan Ben nya dalam diri seorang Benedict. Yang pada kenyataannya, Ben yang berada di depan matanya saat ini adalah Ben yang ia cari selama ini.
"Kau sedang mempermainkanku, Tuan?" selidik Elea.
"Kau melukai hatiku, Eleanor."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
Ben menghela napas sejenak. Ingin sekali ia memberitahu Elea, jika ia adalah Ben, pria yang sedang Elea cari-cari saat ini. Pria yang menikahinya dua tahun lalu, namun pergi meninggalkannya dengan sejuta tanya yang Elea sendiri tidak mengerti.
Ingin rasanya Ben memeluk Elea. Namun bila teringat foto-foto Elea bersama laki-laki lain itu membuat Ben sakit hati juga marah.
"Aku terluka karena menolongmu dari preman-preman itu. Lalu sekarang kau mau pergi begitu saja? Sungguh kau membuatku kecewa," kata Ben.
"Aku sudah mengobati lukamu kan? Sekarang tugasku sudah selesai. Dan aku harus pergi. Sahabatku sedang membutuhkan bantuanku saat ini. Dia sedang terluka."
"Tugasmu memang sudah selesai, tapi tanggung jawabmu belum selesai, Eleanor."
"Maksudmu?"
Ben melepas genggamannya dari pergelangan Elea. Ia lalu membetulkan posisi duduknya, dan mulai menghidupkan mesin mobil.
"Apa yang kau lakukan, Tuan?" Elea mulai panik. Ia bahkan belum sempat membuka pintu mobil. Dan Ben malah mengunci pintu mobilnya.
"Diam di tempatmu. Dan jangan banyak tanya."
"Kau mau membawaku ke mana, Tuan?" Elea semakin panik saat Ben mulai menjalankan mobilnya.
"Ke bar."
"Tapi aku sudah dipecat."
"Kau hanya perlu menemaniku minum di sana, bukan untuk bekerja."
"Tapi, Tuan ..."
"Kau bicara sepatah kata lagi, maka aku tidak akan segan-segan memecatmu dari hotelku. Jadi, silahkan kau pilih. Dipecat atau temani aku."
Elea pun terdiam. Tentu saja Elea tidak ingin dipecat dari pekerjaannya. Maka kesempatannya untuk menemukan Ben nya bisa hilang begitu saja. Terlebih lagi, mencari pekerjaan di Paris bukan perkara yang mudah. Apalagi ia membutuhkan biaya hidup. Ditambah lagi ia harus membantu Jane melunasi hutangnya. Jika tidak, nyawa Jane berada dalam bahaya.
Tiba di bar yang sebelumnya Elea datangi, ia tidak banyak bersuara selain menuruti saja keinginan Ben. Bahkan saat Ben membawanya masuk ke dalam ruang VIP yang sebelumnya.
"Hai kawan. Ke mana saja kau tadi?" tanya Chris begitu memasuki ruang VIP tersebut.
Ben yang baru saja mendudukkan diri di sofa, berdiri seraya menyambut kepalan tinju Chris.
"Dahimu kenapa Ben? Kau terluka?" Chris terkejut begitu saat melihat plester luka di dahi Ben.
"Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil."
"Elea? Sedang apa kau di tempat ini? Bukankah aku sudah memecatmu?" Chris kembali terkejut saat melihat Elea yang berdiri di samping sofa. Ia enggan mengambil duduk di sebelah Ben.
"Aku yang membawanya kembali. Dia sudah banyak merugikanku. Untuk itu, aku menuntut ganti rugi darinya." Ben tersenyum tipis sambil melirik Elea yang berdiri dengan wajah tertunduk.
"Baiklah. Kalau begitu aku keluar dulu. Kalau kau butuh minuman lagi, kau tinggal memberitahuku. Oke?" Chris pun beranjak pergi. Namun sebelum itu Chris berbisik di telinga Ben.
"Semoga sukses, kawan. Aku sarankan jangan terlalu mabuk, agar kau bisa menikmati waktumu. Hm?" bisik Chris tersenyum menggoda sambil melirik-lirik nakal ke arah Elea. Kemudian Chris pun bergegas keluar dari ruangan itu.
"Kau akan berdiri di situ sepanjang malam?" celetuk Ben sembari menghempaskan tubuhnya di sofa. Lalu membuka blazer yang ia kenakan, menaruhnya asal di sofa itu.
Elea terkejut mendengar celetukan Ben. "A-apa katamu, Tuan? Se-sepanjang malam?"
"Tidak usah kaget seperti itu. Duduklah." Ben menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya sambil menatap Elea.
"Tidak. Aku harus pulang sekarang. Jane sedang terluka, dan aku harus mengobatinya. Oh ya, sekalian aku mau minta ijin padamu. Besok Jane tidak bisa bekerja karena dia sedang sakit. Semua pekerjaannya biar aku yang kerjakan. Permisi, Tuan. Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik." Elea melenggang hendak meninggalkan ruangan itu.
Namun, tangan kekar Ben menahan pergelangan tangannya tiba-tiba. Lalu menariknya kuat sampai ia jatuh di atas sofa, di bawah kungkungan Ben.
"Tuan, kau ..." Elea menahan napasnya kuat, jantungnya berdetak kencang lantaran wajah Ben yang berada terlalu dekat dengan wajahnya.
Dalam seketika sorot mata keduanya saling bertemu, saling menatap dalam. Ben memberi sinyal melalui tatapannya, agar Elea mengenalinya.
Dari pancaran sorot mata Ben, juga dari cara Ben menatapnya, ada getaran dalam jiwanya. Getaran yang sama saat ia menatap suaminya dari jarak dekat seperti ini. Bahkan cara Ben menatapnya sama persis dengan cara suaminya menatapnya.
Sementara Ben, masih menatap lekat Elea yang berada di bawah kungkungannya. Ingin rasanya Ben memberitahu Elea, bahwa ia adalah suami yang pergi meninggalkannya dua tahun lamanya. Akan tetapi, Ben masih menahan dirinya. Akan ada saat ia membuka semuanya di depan Elea nanti.
"Setelah membuatku rugi, lalu sekarang kau ingin pergi begitu saja?" ucap Ben sinis.
"Apa yang kau inginkan dariku? Aku sudah mengobati lukamu, aku juga sudah meminta maaf padamu. Lalu apa lagi yang harus aku lakukan?"
"Kau belum mengobati lukaku yang lain, Eleanor."
"Luka yang mana?"
"Apa kau lupa? Kau sudah melukai hatiku." Ben masih saja mengingat foto Elea yang sedang berpelukan dengan seorang laki-laki. Lebih tepatnya foto Elea yang sedang dipeluk oleh seorang laki-laki. Ben masih sakit hati bila mengingatnya.
"Aku tidak mengerti. Kau ..." Kalimat Elea terhenti, refleks Elea menutup matanya dan berpaling muka saat Ben semakin mendekatkan wajahnya. Ia tak ingin yang terjadi beberapa jam lalu di ruangan ini terulang kembali. Dimana Ben tak bisa menahan diri.
Namun Ben malah berbisik di telinga Elea, "Tuangkan aku minuman. Dan kau temani aku di sini sampai batas waktu yang aku inginkan. Setelah aku bosan denganmu, kau boleh pergi."
Elea terperangah mendengarnya. Ingin melawan, namun ia terancam akan dipecat dari Benedict Hotel. Dan jika ia turuti, entah apa yang akan dilakukan Ben kepadanya. Dalam keadaan sadar saja Ben hampir lupa diri. Lalu bagaimana bila Ben dalam keadaan mabuk?
Sambil tersenyum sinis Ben pun bangun dari posisinya. Lalu menyandarkan punggung sambil berpangku kaki, menunggu Elea menuangkan minumannya.
Bangun dari posisinya, Elea segera melakukan permintaan Ben, menuangkan wine ke dalam gelas yang telah ia beri es batu. Setelahnya gelas itu ia sodorkan kepada Ben.
Ben pun mengulurkan tangannya hendak meraih gelas itu saat tiba-tiba ponselnya berdering. Alhasil, Ben pun urung meraih gelas tersebut dan memilih mengambil ponsel dari dalam saku celananya.
Layar ponsel Ben yang menyalakan terang itu menampilkan nama Camila sebagai penelepon. Ben membuang napasnya kasar. Ia biarkan saja ponselnya berdering tanpa berniat menjawab panggilan yang masuk dari Camila. Yang akhirnya berakhir dengan panggilan tak terjawab.
Untuk kedua kalinya Camila kembali menghubungi Ben. Namun Ben masih saja enggan menjawabnya, lalu melempar ponsel itu ke meja.
"Ponselmu berdering, Tuan. Mungkin saja penting," ucap Elea menyarankan agar Ben menjawab panggilan yang masuk.
"Hanya telepon tidak penting dari orang yang tidak penting."
"Mungkin itu dari calon tunanganmu, Tuan." Elea melirik ponsel Ben yang tergeletak di meja dan berakhir dengan panggilan tak terjawab untuk kedua kalinya.
"Itu sebabnya aku bilang tidak penting. Sekarang berikan padaku." Ben mengulurkan tangannya meminta minumannya.
Elea pun menyodorkan kembali gelas itu ke tangan Ben. Namun bukannya gelas, malah pergelangan tangannya yang digenggam Ben erat. Membuat Elea terperanjat.
"Kau berhutang banyak penjelasan padaku, Eleanor. Katakan padaku, siapa laki-laki itu."
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
lanjut 😍
2022-11-24
2