Chap 6. Ben?
Sinar mentari pagi yang menembus celah-celah jendela kamar jatuh menerpa wajah, membangunkan Ben dari tidur lelapnya, mengusik mimpi-mimpi indahnya yang nyaris serasa nyata dikala matanya terpejam.
Ben mengucek matanya pelan, lalu menatap nanar ke seisi ruangan. Dahinya kemudian mengerut karena tak mengenali ruangan dimana ia berada kini.
"Aku di mana ini?" gumam Ben mengingat-ingat apa yang semalam terjadi kepadanya. Pandangannya lalu turun, dan ia terkejut begitu mendapati tubuhnya dalam keadaan polos dibalik selimut tebal yang ⁰menutupinya.
Kesadaran Ben belum pulih sepenuhnya saat terdengar suara decitan pintu terbuka. Pandangan Ben lalu bergulir ke arah kamar mandi, dimana seorang wanita dengan jubah mandi serta handuk yang membungkus kepalanya keluar dari kamar mandi tersebut. Yang membuat keterkejutannya bertambah.
"Selamat pagi, Sayang." Sembari mengulas senyum, Camila menghampiri. Lalu mendudukkan diri di tepian ranjang, menghadap Ben.
Dengan wajah bingung Ben bangun. Dipandanginya Camila yang tersenyum menatapnya.
"Kau?" Ben berusaha mengingat apa yang terjadi dengannya. Serta mengapa ia bisa berada di kamar hotel bersama Camila. Seingatnya mereka sedang makan malam di restoran. Lalu bagaimana bisa mereka berada di kamar hotel ini? Bahkan tubuhnya dalam keadaan tanpa sehelai benangpun?
"Kenapa kau bisa berada di sini? Apa yang kau lakukan?" tanya Ben bingung.
"Kau sungguh sudah lupa?" Camila balik bertanya dengan ukiran senyum di wajahnya.
"Memangnya apa yang terjadi?"
Camila pun bangun dari tepian tempat tidur sembari membuka handuk yang membungkus kepalanya. Handuk itu ia gunakan untuk mengeringkan rambut basahnya.
"Katamu kau merindukanku. Dan kau mengajakku ke hotel ini."
"Tidak, tidak. Seingatku, kita sedang makan malam." Ingatan Ben belum sepenuhnya pulih soal yang terjadi semalam diantara mereka. Sepenggal-sepenggal ingatan itu melintasi benaknya.
Camila tertawa kecil. Masih dengan jubah mandi membungkus raganya, Camila menghampiri Ben. Duduk kembali di tepian tempat tidur, menatap Ben dengan seksama.
"Kau benar-benar lupa dengan apa yang kau lakukan padaku semalam?" Camila tersenyum menggoda, memicingkan matanya. Ia tahu kesadaran Ben belum terlalu pulih akibat dosis obat perang sang yang ia bubuhkan ke dalam minuman Ben itu terlalu tinggi.
"Ups! Bukan yang kau lakukan, tapi yang kita lakukan semalam. Kau terlalu menggebu Sayang. Aku sampai kewalahan mengimbangimu. Apa kau begitu merindukanku, Ben. Sampai-sampai kau tak bisa menahan dirimu?" sambung Camila merayu sembari mendekatkan wajahnya perlahan, berusaha memikat Ben dengan pesonanya.
Ben menatap lekat sepasang bola mata Camila. Ia berusaha menajamkan ingatan, menemukan kembali kepingan ingatannya tentang semalam. Ia pun terhenyak, begitu menyadari apa yang terjadi semalam dengan melihat keadaan dirinya yang polos. Sekaligus melihat Camila yang baru saja membersihkan diri. Ditambah lagi, tempat dimana mereka berada saat ini, membuat kesadaran Ben pulih seketika.
Ben membuang muka cepat, menghindari tatapan Camila.
"Sial!" Ben hanya bisa merutuki kebodohannya sendiri, yang terlalu mudah terpedaya oleh rayuan Camila.
Memang status mereka saat ini adalah sepasang kekasih. Dan tidak lama lagi mereka akan bertunangan. Tetapi perasaan Ben terhadap Camila itu masih belum bisa dikatakan cinta. Sebab Ben menerima hubungan itu hanya karena desakan ibunya. Sebab kata sang ibu, Camila lah yang paling berjasa menemukan dirinya saat hilang sewaktu kecelakaan itu.
Setahun menjalin hubungan, sekalipun Ben belum pernah menyentuh Camila. Jangankan meniduri Camila, menciumnya pun bahkan Ben belum pernah.
Hal tersebut membuat Camila hampir menggila. Sehingga membuat Camila nekat melakukan hal di luar nalarnya. Camila terlalu mencintai Ben. Cinta Camila yang sangat besar untuk Ben, membuat Camila sanggup melakukan apapun untuk membuat Ben seutuhnya hanya miliknya seorang. Termasuk menjebak Ben dengan memberinya obat perrrangsang.
"Oh ya, hari ini aku mau mengunjungi panti asuhan. Apa kau mau ikut denganku?" tanya Camila kemudian sembari bangun dari tepian tempat tidur.
"Tidak."
"Ayolah, Ben. Tidak lama lagi kita akan bertunangan. Jadi apa salahnya jika kita tampil di depan publik sebagai pasangan? Bukankah sudah banyak juga yang tahu kalau kita ini sepasang kekasih?"
Sepasang kekasih?
Ah, mengapa dada ini serasa sesak mendengarnya?
Ben menghela napasnya panjang, dan menghembuskannya perlahan kemudian. Entah mengapa sejak pertamakali menjalin hubungan dengan Camila, sedikitpun dihatinya tak pernah ada perasaan tenteram. Hampir setiap malamnya ia seperti dihantui perasaan bersalah. Bersamaan dengan datangnya bayangan wanita misterius itu.
Ben merasa seolah ada yang hilang darinya selain ingatannya. Hatinya merasakan rindu yang amat dalam. Namun entah untuk siapa rindu itu.
"Tidak, Camila. Hari ini aku ada banyak pekerjaan."
Camila mendesah kecewa. Lagi dan lagi Ben menolak ajakannya untuk berkencan, alih-alih pergi ke sebuah acara amal. Seringkali mereka bertemu hanya sebentar saja. Jika bukan di restoran, mereka hanya akan bertemu di rumah Ben sendiri. Dan Camila lah orang yang sering menyambangi Ben di rumahnya.
Dan malam tadi adalah kemenangan besar bagi Camila, karena telah berhasil mendapatkan Ben seutuhnya. Meskipun dengan cara curang.
Namun agaknya kali ini, ia masih harus bersabar sebelum Ben benar-benar menjadi miliknya seutuh-utuhnya, hanya untuknya seorang. Ia sudah berhasil membuat Ben melupakan masa lalunya. Dan keberhasilannya tinggal selangkah lagi untuk memiliki Ben.
"Baiklah, tidak apa-apa. Lain waktu kita bisa pergi bersama-sama." Akhirnya Camila hanya bisa pasrah dengan penolakan Ben. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya. Pelan-pelan saja sampai ia bisa memenangkan hati Ben.
...
Ben melangkah panjang menuju aula dimana seluruh karyawannya telah menunggu. Mark memberitahunya bahwa evaluasi kinerja karyawan dipercepat. Mengingat baru-baru ini ada seorang tamu hotel yang melayangkan keluhannya terkait pelayanan hotel. Hal tersebut tentu saja akan berimbas kepada kepada kemajuan hotel nantinya.
Jika citra pelayanan tamu hotel buruk, maka sudah tentu orang-orang akan berpikir untuk menginap di hotelnya.
Bersama Mark, Ben memasuki aula tersebut. Begitu Ben masuk, semua yang ada di aula tersebut langsung menundukkan wajahnya. Diantara mereka ada Elea, yang masih penasaran dengan atasan mereka itu.
"Tuan Ben sudah menerima keluhan tamu hotel. Aku harap kalian menyimak dengan baik apa yang akan disampaikan oleh Tuan Ben." Mark memulai, sembari menyapukan pandangannya pada satu per satu karyawan yang tengah menunduk.
"Silahkan, Tuan," sambung Mark mempersilahkan.
Sembari memperhatikan karyawannya, Ben menghela napas sejenak.
"Seharusnya keluhan seperti ini tidak ada lagi. Hampir setiap bulan kita melakukan evaluasi, lalu kenapa masih saja ada tamu yang mengeluhkan pelayanan hotel?" ucap Ben dengan menjaga intonasi. Agar terdengar tegas dan berwibawa.
"Baru-baru ini hotel menerima beberapa orang karyawan baru dan masih dalam masa training ..." sambung Ben menggantung sejenak kalimatnya.
Mendengar suara Ben, membuat Elea berdebar-debar tiba-tiba. Pasalnya suara Ben seperti tak asing lagi di telinganya. Suara itu ...
"Aku tidak ingin menyalahkan karyawan baru atas pelayanan yang buruk ini. Tapi ketahuilah, hotel ini dikenal karena pelayanannya yang memuaskan, tidak pernah mengecewakan tamu. Untuk itu, aku mengharapkan kerjasama kalian dengan baik," sambung Ben memandangi karyawannya satu per satu.
Di barisan paling belakang ada Elea dan Jane. Elea diliputi rasa penasaran yang tinggi akan sosok Ben. Suara Ben yang terdengar itu mengingatkannya pada seseorang yang bernama serupa.
Apakah Ben yang berdiri di hadapan mereka saat ini adalah Ben yang dikenalnya?
"Sekarang, aku ingin mendengar keluhan kalian terlebih dahulu. Aku ingin dengar seperti apa tanggapan kalian mengenai disiplin kerja yang diterapkan pihak manajemen hotel. Silahkan," tambah Ben.
Salah seorang karyawan mengangkat tangannya. Namun tetap dengan mode menunduk.
"Silahkan." Mark mempersilahkan.
"Maaf, Tuan. Baru-baru ini kami diberitahu bahwa pertunangan Anda dipercepat. Oleh karena itu, kami semua disibukkan dengan persiapan pesta pertunangan Anda. Nyonya meminta kami melakukan yang terbaik untuk pertunangan Anda nanti. Jika terjadi kesalahan, maka pekerjaan kami yang akan jadi taruhannya. Kami mohon maaf jika karena ini kami jadi sedikit mengabaikan tamu."
"Pertunangan dipercepat?" Ben mengulang kalimat itu sembari menoleh ke arah Mark, yang terlihat salah tingkah begitu ditatap Ben.
Mark belum memberitahukan hal tersebut kepada Ben. Wajar bila Ben bertanya-tanya. Bahkan ibu dan ayahnya pun tidak pernah memberitahukan hal tersebut kepadanya.
"Mark?" panggil Ben pelan. Ingin Mark memberi penjelasan akan informasi yang baru ia dengar tersebut.
"Maaf, Tuan. Nyonya Roberta memintaku untuk tidak memberitahu hal ini kepada Anda. Nyonya juga sangat cemas, karena Anda tidak pulang semalam," ucap Mark menundukkan wajahnya.
Ben membuang napasnya kasar. Sengaja Ben mengulur-ulur waktu, berharap pertunangan itu dibatalkan. Sebab dalam hatinya ia tidak mencintai Camila. Entah mengapa ia merasa sulit membuka hati untuk wanita itu.
"Untuk hari ini kita akhiri dulu sampai di sini. Tetap jaga kinerja kalian dengan baik. Untuk masalah persiapan pesta pertunangan, tidak perlu kalian ambil pusing. Utamakan dulu tamu hotel. Mengerti?" ucap Ben sebelum mengambil langkah keluar dari aula.
"Mengerti, Tuan." Serentak karyawan menyahuti ucapan Ben.
Ben pun mulai melangkahkan kakinya hendak keluar dari aula tersebut. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Dengan ekor matanya, ia sempat melihat ada salah seorang karyawan yang mengangkat wajahnya. Seorang karyawan yang berdiri di barisan paling belakang.
Ben pun menoleh ke arah karyawan tersebut. Yang membuat tatapannya terpaku.
"Ben?" Elea mematung di tempatnya dengan tatapan tertuju kepada Ben. Diantara mereka hanya Elea yang berani mengangkat wajahnya, hendak mengintip seperti apa rupa Ben. Lantaran di dorong oleh rasa penasarannya akan sosok Ben.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments