Chap 2. Ingatkan Aku Kembali
Dengan kepala tertunduk, Elea memandangi ujung sepatu pantofel Ben yang mengkilap. Begitu cepat Jane meraih tengkuknya, membuatnya menunduk. Sehingga lenyap kesempatannya untuk melihat wajah Ben.
Beberapa jam lalu Jane berkata kepadanya bahwa atasan mereka itu samasekali tidak suka bila ditatap secara langsung oleh bawahannya. Hal itu membuat Elea penasaran seperti apa gerangan wajah atasan mereka itu. Dan mengapa orang itu tidak ingin bawahannya menatapnya secara langsung.
Terlalu sombong orang ini, pikir Elea.
"Kau?"
Suara Ben yang terdengar membuat Elea tertegun. Suara itu seperti tak asing lagi di telinganya. Meski sudah lama tidak mendengar suara itu lagi, tetapi Elea masih mengenali suara itu. Mungkinkah orang yang ia cari adalah ...
"Sebaiknya perhatikan jalanmu dengan benar. Sekali lagi kau menabrakku, maka aku tidak akan segan memecatmu," tegas Ben dengan intonasi penekanan.
Elea meneguk ludahnya kasar mendengar peringatan bernada ancaman dari atasan yang membuatnya penasaran itu. Ia akan menerima bila dipecat dari pekerjaannya. Namun bukan sekarang. Sebab ia masih belum menemukan seseorang yang ia cari.
Elea akan pergi, kembali ke kotanya bila keinginannya telah tercapai. Elea hanya ingin mendapatkan kepastian juga status yang jelas mengenai hubungannya dengan seseorang. Yang telah pergi meninggalkannya begitu saja. Bersama dengan kenangan yang telah mereka ukir berdua.
"Maafkan aku, Tuan." Kalimat itu yang Elea ucapkan ditengah rasa penasarannya akan pria yang berdiri di hadapannya itu. Pria yang hanya bisa ia lihat sepatu mengkilapnya saja.
Wajahnya pasti jelek.
Elea bergumam dalam hati. Menerka-nerka bila pria tersebut berwajah buruk. Sebab entah apa sebabnya, pria tersebut tidak ingin ada yang menatap wajahnya. Bukankah hal itu menjadi pertanda bahwa pria tersebut buruk rupa?
Ben menatap Elea yang tengah menunduk. Suara Elea membuat Ben tertegun untuk sesaat. Sebab suara Elea seperti sudah tak asing lagi di telinganya. Seakan ia pernah mendengar suara itu.
Tapi di mana?
Menurunkan pandangan dari kepala, kini pandangan Ben jatuh pada name tag di dada sebelah kanan Elea. Dari balik kacamata hitamnya, Ben bisa membaca jelas nama yang tertera.
Eleanor
Menyebut nama itu dalam hati, entah mengapa malah membuat hati Ben berdebar tiba-tiba. Ben lantas membawa satu tangannya memegangi dadanya. Rasa yang muncul tanpa tahu sebabnya itu membuatnya bingung. Mengapa nama itu membuat perasaannya tak menentu?
"Kau ini terlalu ceroboh sekali, Nona. Apakah kau tahu siapa orang yang berdiri di hadapanmu ini?" tanya Mark bernada tak ramah.
Elea menggeleng. Sebetulnya ia sudah bisa menebak siapa pria itu. Namun orang sombong seperti pria itu, apa salahnya bila dikerjai sesekali. Paling tidak membuat pria itu merasa kesal.
Pria sombong seperti atasannya itu adalah tipe seorang pria yang dibencinya. Bagi Elea, semua manusia di muka bumi ini adalah sama. Sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Yang membedakan hanyalah takdir dan nasib seseorang saja. Ada yang beruntung, adapula yang kurang beruntung. Lalu apa yang patut di sombongkan?
Selama mereka masih sesama manusia, mengapa tidak saling menghargai? Walaupun pria itu adalah atasan, tidak bisakah sedikit bersikap ramah terhadap bawahan?
"Keterlaluan sekali kau. Tidak adakah yang memberitahumu siapa Tuan Ben ini?" Mark naik pitam. Bagaimana bisa seorang karyawan tidak mengetahui atasannya. Benar-benar.
Elea kembali menggeleng. Membuat Mark jengkel.
"Elea!" Jane memanggil Elea setengah berbisik. Namun Elea tak mengacuhkannya. Padahal Jane sudah memberitahu Elea bila Ben adalah atasan mereka. Lalu mengapa Elea malah berpura-pura tidak mengenali Ben?
"Tuan Ben ini adalah atasanmu, Nona. Tuan Benedict Cartier, pemilik hotel ini." Mark memberitahu dengan nada tegas.
Elea mengangguk-angguk. "Maafkan aku tidak mengetahui hal itu." Kemudian membungkukkan badannya. Masih dengan pandangan tertunduk.
"Sekarang kau sudah tahu siapa Tuan Ben. Lain kali, lebih berhati-hati lagi."
"Baik, Tuan. Tapi, bisakah aku melihat wajahnya?" Entah keberanian dari mana yang mendorong Elea melayangkan kalimat tanya tersebut.
"Hei, kau! Lancang sekali kau, Nona!" Mark semakin gerak dibuatnya.
Sementara Jane berkali-kali memanggil Elea pelan, sambil mendelikkan matanya. Namun Elea sedikitpun tak menghiraukannya.
Rasa penasaran yang menggunung itu membuat Elea berani melayangkan pertanyaan tersebut. Sebab bila dilihat dari postur, dan didengar dari suaranya, Tuan Ben ini hampir menyerupai seseorang yang ia cari. Seorang pria yang bernama serupa.
Atau mungkinkah Tuan Ben yang ini adalah ...
"Bagaimana aku bisa mengenali Tuan ini adalah atasanku bila aku tidak pernah melihat wajahnya? Bukankah seseorang itu bisa dikenali dari wajahnya?" Elea masih menunduk berkata demikian. Ia hanya ingin melihat bagaimana reaksi Ben.
"Berani sekali kau berkata seperti itu, Nona. Apa kau ingin dipecat dari pekerjaanmu?" Mark menakuti Elea dengan sedikit ancaman.
"Sudahlah, Mark. Perempuan ini hanya membuang-buang waktuku saja. Jika nanti dia melakukan kesalahan seperti ini lagi, pecat saja dia." Kemudian Ben beranjak meninggalkan Elea dan Jane. Menyusul Mark mengekorinya. Lalu mensejajarkan diri berjalan di sampingnya.
Cepat Elea mengangkat wajahnya sebelum hilang kesempatannya untuk melihat wajah Ben. Namun sayangnya, Elea hanya bisa melihat punggung pria itu saja yang semakin menjauh.
"Hufffft ..." Elea membuang napasnya panjang. Merasa kecewa rak bisa memergoki wajah atasannya yang terkesan disembunyikan tersebut. Entah dengan alasan apa pria tersebut tak ingin bawahannya melihat wajahnya secara langsung.
"Sial!" Elea mengumpat kesal.
"Elea, apa kau sudah gila? Kau mau mati? Bagaimana kalau Tuan Ben benar-benar memecatmu? Apa kau mau kembali ke London tanpa uang sepeserpun?" Jane mengomeli sahabatnya itu sambil mereka berjalan. Apa yang dilakukan Elea itu membuat Jane ketakutan. Takut bila terkena imbasnya. Bagaimana bila Tuan Ben itu memecatnya juga? Mau mencari pekerjaan ke mana lagi ia di kota Paris ini?
"Tenang saja. Aku tidak akan membuatmu terkena masalah. Aku hanya penasaran seperti apa wajah Tuan Ben itu. Aku sangat yakin, Tuan Ben itu berwajah jelek."
"Kata siapa? Dari yang aku dengar, Tuan Ben itu sangat tampan. Bahkan aku pernah melihat wajahnya."
"Oh ya? Kau yakin?" Elea meninggikan kedua alisnya. Ia semakin penasaran tentang Ben.
"Emmm ... Sebenarnya aku hanya sempat melihatnya dari samping. Itu pun dalam jarak yang cukup jauh. Dan saat itu dia memakai kacamata hitam." Jane mengingat-ingat saat ia hampir melihat wajah Ben. Meski hanya dari arah samping, itu pun hanya beberapa detik saja.
Setiap kali ada rapat dengan karyawan, Ben mewakilkan kehadirannya kepada Mark. Selama ini Albert Cartier lah yang sering bertatap muka langsung dengan karyawannya. Sedangkan Ben, entah dimana keberadaan pria tersebut.
"Kau mungkin salah lihat, Jane. Atau bisa saja matamu rabun. Mana mungkin Tuan Ben mu itu berwajah tampan. Aku sangat yakin, dia itu berwajah jekek." canda Elea kemudian tertawa-tawa sembari merangkul pundak Jane.
"Kalau menurutmu seperti itu, maka aku menantangmu. Jika kau berhasil melihat wajahnya nanti, kau tidak akan terpesona dan jatuh cinta padanya."
"Tidak akan pernah, Jane. Aku tidak akan terpesona pada Tuan Ben mu itu. Apalagi jatuh cinta. Karena aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai. Seseorang yang aku cari jauh-jauh sampai ke kota ini. Doakan saja semoga aku cepat bertemu dengannya,' tutur Elea penuh percaya diri.
...
Julian memperbaiki letak kacamatanya. Kemudian bangun dari kursinya menghampiri Ben yang telah menempati kursi hipnoterapi itu.
Ben memutuskan untuk kembali menemui Julian. Bayangan wanita itu masih saja mengganggunya. Wanita yang pernah hadir dalam hidupnya. Namun menghilang dan tak tahu rimbanya. Ben bahkan kehilangan seluruh memorinya tentang wanita itu.
Begitu kembali dari London, setelah dijemput paksa oleh orangtuanya, Ben bahkan tidak diijinkan kembali ke London walau hanya sekedar untuk meninjau dan mengevaluasi perkembangan cabang hotel di London. Orangtuanya bahkan memaksanya untuk melakukan hipnoterapi. Padahal, ia baik-baik saja saat itu.
"Alasan apa kira-kira yang membuatmu kembali?" tanya Julian sembari mengambil duduk di sebuah bangku kecil di sebelah Ben.
"Aku mau kau melakukan sesuatu untukku."
"Apa itu?" Sebelumnya Julian telah memberitahu Nyonya Roberta, ibu kandung Ben setelah Ben menghubunginya, meminta untuk bertemu kembali. Dan Nyonya Roberta jauh sebelumnya telah mewanti-wantinya agar membuat memori Ben akan kenangan wanita itu menghilang untuk selamanya. Wanita yang membuat Ben tak kembali ke Paris berbulan-bulan lamanya pasca kecelakaan pesawat dua tahun silam.
Orangtua Ben frustasi saat dikabarkan semua penumpang pesawat tewas saat itu. Namun saat mayat Ben dikabarkan tidak ditemukan, orangtua Ben pun akhirnya berinisiatif mencarinya sendiri. Mereka berharap Ben masih hidup.
Dengan mengerahkan bantuan detektif-detektif handal, seta dibantu tim SAR khusus, mereka mencari Ben di semua penjuru kota London selama berbulan-bulan lamanya.
Ben pun akhirnya ditemukan dalam keadaan selamat dan tinggal bersama seorang wanita yang menolongnya.
Namun sayangnya, Ben malah telah menjalin kasih dengan wanita tersebut. Sehingga membuat orangtuanya murka. Mereka lalu memaksa Ben kembali ke Paris dengan segala cara.
Di Paris, Nyonya Roberta bersikeras memaksa Ben untuk melakukan hipnoterapi. Beruntung, Julian seorang ahli hipnoterapi adalah kerabat dekat mereka. Sehingga dengan bantuan Julian, memori Ben dihapus perlahan-lahan. Termasuk memori Ben tentang wanita itu.
"Apa yang harus kulakukan untukmu, Ben?" tanya Julian kembali.
Ben membaringkan tubuhnya di kursi tersebut. Ia lantas mulai memejamkan matanya, lalu ia berkata,
"Ingatkan aku kembali tentang wanita itu!"
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Esther Nelwan
kereeeeen
2023-01-07
0
Fhatt Trah (fb : Fhatt Trah)
maksih dah mampir☺️
aku otw menuju karyamu
2022-11-04
0
R.F
2like hadir k. semangat like balik iya
2022-11-04
2